05.14
0

Ditulis oleh : Bekti B. Zaenuddin, Drs., M.Pd.I
A. Pendahuluan
Problematika pendidikan adalah masalah hidup dan kehidupan manusia. Dalam kehidupannya, manusia akan selalu memerlukan pendidikan agar ia mampu mempertahankan hidup atau dapat mencapai kehidupannya agar lebih baik.
Dalam sejarah, pendidikan sudah dimulai sejak adanya makhluk bernama manusia, ini berarti pendidikan itu tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan proses perkembangan dan kehidupan manusia.
Usaha untuk menciptakan suatu sistem pendidikan yang dapat memindahkan nilai-nilai kebudayaan yang dikehendaki tersebut belum sepenuhnya dapat mencapai hasil yang maksimal serta memuaskan. Dengan kata lain, sistem pendidikan yang benar-benar mapan dapat diterima secara universal, bentuk nilai-nilai filosofis, serta serasi dengan fitrah manusia dan tatanan masyarakat masih belum ditemui.2
Hal itu terlihat dari kenyataan hasil yang telah dicapai oleh pendidikan model Barat yang lebih menonjolkan aspek rasional manusia. Pendidikan memang telah menghasilkan kemajuan dibidang ilmu pengetahuan. Namun pendidikan model ini belum sepenuhnya mampu menyentuh kebutuhan hakiki dari manusia secara sempurna yaitu kebutuhan nilai-nilai kemanusiaan, baik dari aspek jasmani maupun rohani.
Beberapa kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah mampu memberikan kehidupan lebih mudah dan nyaman tersebut, justru telah menimbulkan permasalahan baru, keraguan, keresahan dan rasa tidak aman,

semakin dirasakan manusia. Bahkan kemajuan tersebut telah berubah manjadi bencana yang sewaktu-waktu dapat mengancam kelangsungan hidup manusia.3
Kelemahan-kelemahan seperti telah disebutkan diatas, bukan tidak disadari oleh pakar pendidikan barat. Tetapi usaha untuk mengatasi kelemahan itu belum ditemukan kelanjutannya. Hal ini telah mendorong para filosof untuk mencari kebenaran lain yang dapat dijadikan dasar bagi sistem pendidikan. Pergulatan berlangsung sedemikian rupa hingga pada akhirnya para ilmuwan tersebut mau tidak mau kembali menoleh kepada hakikat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Para filosof dan ilmuwan dituntut untuk mencari jawaban dari beberapa pertanyaan prinsipil, pertanyaan itu, menurut Jacques Maritain, -- sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin--, mengarah kepada pemikiran filsafat pendidikan, yaitu siapa manusia, dimana dan kemana manusia akan pergi, apa yang menjadi tujuan hidup manusia, semua hal ini dikaji dalam bentuk penciptaannya.4
Salah satu tema sentral filsafat pendidikan adalah pembahasan tentang masalah manusia. Hai ini disebabkan karena keterlibatan manusia dalam proses pendidikan sangatlah jelas. Dimana dalam pendidikan, manusia berperan sebagai subjek sekaligus objek pendidikan5. Sementara itu dalam dunia pendidikan, pemahaman tentang manusia sangatlah penting, As-Syaibani menyatakan bahwa penentuan sikap dan tanggapan tentang manusia sangat penting dan vital, tanpa sikap dan tanggapan yang jelas, pendidikan akan meraba-raba.6 Apabila pemahaman tentang manusia tidak jelas, maka berakibat tidak baik pada proses pendidikan itu sendiri.
Persoalan yang kemudian muncul adalah cara pandang atau konsep manusia yang digunakan menentukan konsep-konsep lanjutan pada suatu

disiplin ilmu atau aliran tertentu. Begitu juga apabila menelaah pendidikan, maka setiap aliran, teori atau sistem pendidikan berakar pada sebuah pandangan falsafah manusia yang digunakan.
Sebagai contoh apa yang terjadi dalam tradisi pendidikan di Barat yang berdasarkan pada filsafat positivistik sehingga pendidikan menjadi bebas nilai. Manusia dalam pendidikan dipandang sebagai objek yang tidak jauh berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Perbedaannya hanya dalam fungsi berfikir, kemudian dikatakanlah bahwa manusia adalah binatang yang berfikir (al-insanu al-hayawan an-natiq). Kemudian pemikiran ini melahirkan pandangan dan sikap hidup materialisme. Puncak kepuasan manusia terletak pada pemuasan materi. Materialisme dan sekuler (isme) berjalan seiring dan jalin berkelindan satu sama lain.7
Kesalahan pemahaman yang telah dilakukan ilmuwan dalam memandang manusia berakibat pada manusia itu sendiri. Karena pada kenyataannya tidak semua kehidupan manusia dapat dirasionalkan. Banyak bagian dari kehidupan manusia yang hadir dalam bentuk cinta, seni, kematian dan sebagainya.
Pandangan yang bersifat antroposentris ini jauh berbeda dengan pandangan Islam dalam melihat manusia dari segi hakikat jati diri atau substansi manusia. Manusia adalah makhluk yang mempunyai berbagai keistimewaan yang berbeda dengan makhluk lain. Manusia memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi jasmani, rohani dan roh.8 Roh (bukan unsur rohani) menurut Hasan Langgulung, didefinisikan dengan unsur fitrah ketauhidan pada diri manusia. Tuhan memberi manusia potensi yang sejalan dengan sifat-sifat-Nya dalam kadar terbatas.9 Aspek ruhani inilah yang tidak tersentuh oleh pendidikan yang berlangsung di Barat.

Dasar yang melandasi pemikiran pendidikan Islam adalah konsep filsafat pendidikan yang menyatakan bahwa segala yang ada terwujud melalui proses penciptaan (creation ex nihilo) bukan terwujud dengan sendirinya. Konsep yang bersifat Antroporeligiocentris inilah yang mendasari konsep-konsep dasar pendidikan Islam lainnya, seperti tentang hakikat manusia, tujuan pendidikan yang kemudian akan mengarahkan kepada pelaksanaan pendidikan Islam.10 Memahami kondisi demikian, maka diperlukan konsep baru tentang manusia yang mempunyai landasan kuat dan jelas, sehingga manusia dipandang dan ditempatkan secara benar dalam arti sesungguhnya.
B. Pembahasan
1. Manusia dalam Pandangan Islam
Secara garis besar melalui pendekatan historis sosiologis, pendidikan Islam dapat ditinjau dari dua segi, yaitu dari sudut pandang masyarakat dan dari sudut pandang individu. Masyarakat memandang pendidikan sebagai pewarisan kebudayaan atau nilai-nilai budaya baik yang bersifat intelektual, keterampilan, dan keahlian dari generasi sebelumnya kepada generasi sekarang agar masyarakat tersebut terpelihara kelangsungan hidupnya atau tetap memelihara kepribadiannya. Adapun dari segi individu pendidikan berarti upaya pengembangan potensi-potensi yang dimiliki individu yang masih terpendam agar teraktualisasikan secara kongkret, sehingga hasilnya bisa dinikmati individu dan masyarakat.11
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa pendidikan itu mempunyai fungsi ganda. Pada satu sisi pendidikan berfungsi untuk memindahkan nilai-nilai menuju pemilikan nilai (internalisasi atau personalisasi) untuk memelihara kelangsungan hidup (survive) suatu masyarakat dan peradaban, pada sisi yang

lain pendidikan berfungsi untuk mengaktualisasikan fitrah manusia agar dapat hidup secara optimal, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat, serta mampu memikul tanggung jawab atas segala perbuatannya sehingga memperoleh kebahagiaan dan kehidupan yang sempurna.
Pendidikan Islam sebagai suatu proses spiritual, akhlaq, dan sosial sudah barang tentu berusaha membimbing manusia dan memberinya nilai-nilai prinsip dan teladan ideal dalam kehidupan yang bertujuan mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat.12
Menurut Hasan Langgulung ada lima sumber nilai yang diakui dalam Islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai sumber yang asal. Kemudian qiyas, artinya membandingkan masalah yang disebut oleh Al-Qur’an atau Sunnah dengan masalah yang dihadapi umat Islam tetapi nash yang tegas dalam Al-Qur’an tidak ada. Kemudian kemashlahatan umum yang tidak bertentangan dengan nash. Sedangkan sumber kelima adalah ijma’ ulama dan ahli fikir Islam yang sesuai dengan sumber dasar Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.13
Falsafah pendidikan Islam berasal dari falsafah hidup Islam mencakup kebenaran (truth) yang bersifat spekulatif dan praktikal yang menolong untuk menafsirkan tentang manusia, sifat-sifat ilahiyah-Nya, nasib kesudahannya, dan keseluruhan hakikat (reality). 14 Konsep manusia sangat penting artinya di dalam suatu sistem pemikiran dan di dalam kerangka berfikir seorang tokoh intelektual atau pemikir. Konsep tentang manusia menjadi penting karena ia termasuk bagian dari pandangan hidup seseorang.15 Dibawah ini penulis paparkan sekilas mengenai beberapa tema pokok dalam konsep manusia dalam falsafah pendidikan Islam.

a. Hakikat Penciptaan Manusia

Penciptaan adalah proses mewujudkan gagasan dalam pernyataan. Penciptaan adalah suatu aktivitas yang sangat menentukan bagi adanya eksistensi. Eksistensi Tuhan sepenuhnya melekat pada penciptaan, karenanya dalam ciptaan Tuhan termuat eksistensi diri Tuhan. Kesempurnaan dan keteraturan serta keseimbangan yang terkandung dalam ciptaan Tuhan adalah merupakan wujud dari kesempurnaan Tuhan. Sedangkan penciptaan bagi manusia adalah aktivitas yang menentukan eksistensinya di dunia ini. 16
Dalam Al-Qur’an penciptaan manusia disebutkan dengan memakai kata khalaqa yang artinya menciptakan atau pembentuk. kata “khalaqa” menunjuk pada pengertian menciptakan sesuatu yang baru, tanpa ada contoh terlebih dahulu atau dapat juga menunjuk pada pengertian sesuatu ketentuan atau ukuran yang tepat.17
Dalam Al-Qur’an manusia disebut dengan berbagai nama antara lain : al-basyar, al-insan, bani adam, al-ins, abdillah dan khalifatullah.18 Dibawah ini akan diuraikan pengertian manusia dalam berbagai kata dan istilah yang dipakai dalam Al-Qur’an.
1) Konsep Al-Basyar
Manusia dalam konsep al-basyar, dipandang dari pendekatan biologis pada hakikatnya tidak berbeda dengan makhluk lain yang terdiri dari unsur biotik lainnya walaupun strukturnya berbeda.19
Manusia memerlukan makanan dan mengalami pertumbuhan dan perkembangan dalam mencapai tingkat kematangan dan kedewasaan. Selain itu manusia memerlukan pasangan hidup untuk melanjutkan keturunannya.

2) Konsep Al-Insan
Manusia sebagai makhluk psikis (al-insan) mempunyai potensi rohani seperti fitrah, kalbu dan akal. Potensi itu menjadikan manusia sebagai makhluk yang mempunyai kedudukan tinggi dan berbeda dengan makhluk lainnya.20 Apabila manusia tidak menjalankan fungsi psikisnya ia tidak ubahnya seperti binatang bahkan lebih hina. Selain itu manusia termasuk makhluk yang lalai, sehingga sering lupa akan tugas dan tanggung jawabnya.21 sehingga mengakibatkan manusia terjerumus dalam penderitaan hidup.
3) Konsep Al-Nas
Manusia adalah makhluk sosial, ia diciptakan sebagai makhluk yang bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan wanita, kemudian berkembang biak menjadi suku bangsa untuk saling mengenal.22
Peranan manusia dititikberatkan pada upaya untuk menciptakan keharmonisan hidup bermasyarakat. Sedangkan masyarakat dalam ruang lingkup yang paling sederhana adalah keluarga, hingga keruang lingkup yang lebih luas yaitu antar negara dan bangsa.
4) Konsep Bani Adam
Manusia selaku bani adam dikaitkan dengan gambaran peran Nabi Adam As. saat awal diciptakan. Dikala Adam As akan diciptakan para malaikat seakan mengkhawatirkan kehadiran makhluk ini. Mereka memperkirakan dengan penciptaannya, manusia akan jadi biang kerusakan dan pertumpahan darah. Kemudian terbukti bahwa Adam As bersama istrinya Siti Hawa dikeluarkan karena terjebak hasutan syetan.
Mengacu dari latar belakang penciptaannya, tampak manusia selaku bani Adam memiliki peluang untuk digoda syetan. Namun lebih dari itu

konsep Bani Adam dalam bentuk menyeluruh menitikberatkan pada upaya pembinaan hubungan persaudaraan antara sesama manusia. Menyatukan visi bahwa manusia pada hakikatnya berawal dari nenek moyang yang sama, yaitu Nabi Adam As. dengan demikian apapun latar belakang sosial kultural, agama, bangsa dan bahasa harus dihargai dan dimuliakan.23
5) Konsep Khalifatullah
Hakikat penciptaan manusia dimuka bumi salah satunya adalah sebagai khalifatullah. Manusia sebagai khalifah Allah, menjadi wakil Tuhan di muka bumi, yang memegang mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi.24
Sebagai wakil Tuhan, maka Tuhan telah mengajarkan kepada manusia tentang kebenaran-kebenaran dalam segala ciptaan-Nya, dan melalui pemahaman serta penguasaan terhadap hukum-hukum kebenaran yang terkandung dalam ciptaan-Nya – semua yang ada dalam alam ini – maka manusia dapat menyusun konsep-konsep serta melakukan rekayasa membentuk wujud baru dalam alam kebudayaan.
Tugas kekhalifahan pada dasarnya adalah tugas kebudayaan yang berciri kreatif agar selalu dapat menciptakan sesuatu yang baru sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Manusia dianugerahkan kelebihan dan kemampuan dalam hal pengetahuan konseptual (berfikir), kemampuannya menerima pelajaran tentang nama-nama benda dan kemampuannya menegaskan nama-nama tersebut. Tujuannya adalah untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan hidup dimuka bumi ini.25

6) Konsep Abdillah
Kata ábd disamping mempunyai arti budak, dalam pengertian negatif, ia juga mengandung pengertian yang positif, yaitu dalam hubungan antara manusia dengan penciptanya. Seorang hamba Tuhan artinya orang yang taat dan patuh terhadap perintah-Nya . Kata ‘abid dalam Al-Qur’an dipakai untuk menyebut semua manusia dan jin.
Kata “ibadah” diartikan sebagai sesuatu kegiatan penyembahan, atau pengabdian kepada Allah. dalam pengertian sempit, kata ibadah hanya menunjuk pada segala aktifitas pengabdian yang sudah digariskan oleh syariat Islam, baik bentuknya, caranya, waktunya serta syarat dan rukunnya.26
Sedang dalam pengertian luas, ibadah tidak hanya terbatas pada hal-hal yang disebutkan diatas, namun mencakup segala aktivitas pengabdian yang ditujukan kepada Allah semata.
Ibadah dalam Islam lebih merupakan amal saleh dan latihan spiritual yang berakar dan diikat oleh makna yang hakiki dan bersumber dari fitrah manusia. 27
Dapat disimpulkan, bahwa hakikat penciptaan manusia dimuka bumi sebagai khalifah Allah dan juga sebagai ‘abd Allah, bukanlah dua hal yang bertentangan, tetapi merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Kekhalifahannya adalah realisasi dari pengabdiannya kepada Tuhan yang menciptakannya. Kedudukan manusia sebagai khalifah dan ‘abd pada dasarnya merupakan kesatuan pembentuk kebudayaan. Kebudayaan dibentuk oleh adanya pemikiran terhadap alam sekitarnya dan pemahaman terhadap hukum-hukumnya yang kemudian diwujudkan dalam tindakan.28

b. Kebebasan Manusia
Menurut Imam Al-Ghazali perbuatan merupakan suatu gerak, apabila dihubungkan dengan perbuatan manusia terdiri atas gerak yang tidak disadari (al-thabi’iyat) dan gerak yang disadari (al-iradiyat). Perbuatan juga terdiri atas kedua bentuk tersebut. Perbuatan yang disadari ini disebut perbuatan bebas (al-ikhtiyari). Perbuatan semacam ini terjadi setelah melalui tiga tahap peristiwa dalam diri manusia, yaitu pengetahuan (al-‘ilm), kemauan (al-iradat), dan kemampuan (al-qudrat). Adapun yang lebih dekat diantara ketiga tahap itu dengan wujud perbuatan adalah al-qudrat yaitu jiwa penggerak dari jiwa sensitif (al-muharrikat), yaitu makna yang tersimpan dalam otot-otot. Fungsi al-qudrat adalah menggerakan otot.
Meskipun perbuatan manusia yang bersifat ikhtiyari tidak memperlihatkan kebebasan manusia dan efektivitasnya dalam perwujudan perbuatan-perbuatan itu, namun perbuatan ikhtiyari senantiasa mempunyai prinsip, sarana dan tujuan.
Dalam memilih perbuatan “baik” dari yang “buruk” memerlukan al-ta’yid atau penguatan dari Tuhan, yaitu bagian dari inayat dan ta’lif dari Tuhan. Disini Tuhan sangat berkuasa dalam menetapkan wujud dan menentukan wujud perbuatan manusia, karena yang menciptakan gerak dan kekuasaan adalah Tuhan.
c. Fitrah Manusia.
Kata “fitrah” berasal dari kata kerja (fi’il) fathara yang berarti “menjadikan”. Secara etimologis fitrah berarti : kejadian, sifat semula jadi, potensi dasar, kesucian. Didalam kamus munjid ditemukan bahwa fitrah mempunyai arti yaitu sifat yang menyifati segala yang ada pada saat selesai di ciptakan.29.
Para ulama telah memberikan berbagai interpretasi tentang fitrah. Muzayyin menyimpulkan bahwa fitrah adalah suatu kemampuan dasar berkembang menusia yang dianugerahkan Allah kepadanya. Didalamnya

terkandung berbagai komponen psikologis yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menyempurnakan bagi hidup manusia.30
Salah satu fitrah di antara sekian banyak jenis fitrah adalah fitrah beragama. Dengan fitrah beragama itu manusia menerima Allah sebagai Tuhannya; atau dengan kata lain manusia dari asal kejadiannya mempunyai kecenderungan beragama, sebab agama itu sebagian dari fitrahnya.
2. Penciptaan Manusia dan implikasinya terhadap pendidikan Islam
Apabila dilihat dari proses kejadian manusia secara khusus, maka nuthfah merupakan titik awal yang terus berproses menjadi manusia sempurna (kejadiannya) secara fisik/materi. M. Quraish Shihab sewaktu menyitir ayat Al-Mu’minun ayat 12-14, beliau menyimpulkan bahwa proses kejadian manusia secara fisik/ materi ada lima tahap, yaitu (1) nuthfah; (2) ‘alaqah ; (3) mudlghah atau pembentuk organ-organ penting ; (4) ‘idham (tulang); dan (5) lahm (daging).31
Menurut Muhaimin, dalam proses kejadian manusia dapat ditemukan nilai-nilai pendidikan yang perlu dikembangkan dalam proses pendidikan Islam,32 yaitu :
(1) Salah satu cara yang ditempuh oleh Al-Qur’an dalam menghantarkan manusia untuk menghayati petunjuk-petunjuk Allah ialah dengan cara memperkenalkan jati diri manusia itu sendiri, bagaimana asal kejadiannya, darimana datangnya dan bagaimana ia hidup. Hal ini sangat perlu untuk diingatkan kepada manusia melalui proses pendidikan, sebab gelombang hidup dan kehidupan seringkali menyebabkan manusia lupa diri.
(2) Ayat-ayat yang berkaitan dengan penciptaan secara implisit mengungkapkan pula kehebatan, kebesaran dan keagungan Allah Swt.

dalam menciptakan manusia. Pendidikan dalam Islam antara lain diarahkan kepada peningkatan iman, pengembangan wawasan atau pemahaman serta penghayatan secara mendalam terhadap tanda-tanda keagungan dan kebesaran Allah sebagai Sang Khaliq.
(3) Proses kejadian manusia dalam Al-Qur’an melalui dua proses dengan enam tahap, yaitu proses fisik/materi/jasadi (dengan lima tahap),dan proses non fisik/immateri dengan satu tahap tersendiri yaitu tahap penghembusan/peniupan roh pada diri manusia oleh Tuhan. Pada saat itu manusia memiliki berbagai potensi, fitrah, hikmah yang hebat dan unik, baik lahir dan batin. Untuk itu pendidikan dalam Islam, antara lain diarahkan kepada pengembangan jasmani dan rohani secara harmonis, serta pengembangan fitrah manusia secara terpadu dan holistik.
(4) Proses kejadian manusia yang tertuang dalam Al-Qur’an ternyata semakin diperkuat oleh penemuan-penemuan ilmiah, sehingga memperkuat keyakinan manusia akan kebenaran Al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah Swt, bukan buatan atau ciptaan Nabi Muhammad Saw. Maka dengan hal ini pendidikan dalam Islam antara lain diarahkan kepada pengembangan semangat ilmiah untuk mencari dan menemukan kebenaran ayat-ayat-Nya.
Perbedaan tujuan pendidikan Islam dengan tujuan-tujuan pendidikan modern ala barat seperti pada mazhab kemanusiaan yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai perwujudan diri (self-actualization) sebagai tujuan tertinggi pendidikan, sedang menurut Islam pengembangan fitrah secara sempurna adalah salah satu aspek utama tujuan pendidikan Islam. Perkembangan spiritual (ruh), kebebasan kemauan dan akal (‘aql) adalah aspek-aspek lain yang perlu dikembangkan disamping perkembangan jasmani dan ruhani. 33Apabila dikaitkan pada tujuan pendidikan Islam, Al-Abrasyi membagi

tujuan pendidikan dalam Islam kepada dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus,34 yaitu :
a. Tujuan umum pendidikan Islam
1. untuk mengadakan pembentukan akhlak yang mulia
2. untuk mempersiapkan untuk kehidupan dunia dan akhirat
3. untuk mempersiapkan dalam mencari penghidupan yang baik, yaitu dalam segi profesional
4. untuk menumbuhkan semangat ilmiah pada pelajar/mahasiswa dan memuaskan keingin tahuan dan memungkinkan ia mengkaji ilmu itu sendiri.
b. Tujuan khusus pendidikan Islam
Yang dimaksud dengan tujuan khusus adalah perubahan-perubahan yang diinginkan. Dengan kata lain , gabungan pengetahuan, keterampilan, pola-pola tingkah laku, sikap nilai-nilai dan kebiasaan yang terkandung dalam tujuan akhir atau tujuan umum.
Diantara tujuan-tujuan khusus yang mungkin dapat diambil adalah menanamkan iman yang kuat kepad Allah pada diri peserta didik, perasaan dan semangat keagamaan dan akhlak pada diri dan menyuburkan hati mereka dengan rasa cinta, zikir, takwa, dan takut kepada Allah.
Menurut Muhaimin, implikasinya terhadap fungsi pendidikan Islam, antara lain untuk membimbing dan mengarahkan manusia agar mampu mengemban amanah dari Allah, yaitu menjalankan tugas-tugas hidupnya di muka bumi, baik sebagai ‘abdullah (hamba yang harus selalu tunduk dan taat terhadap segala peraturan dan kehendak-Nya serta mengabdi hanya kepada-Nya), maupun sebagai ,khalifatullah , yang menyangkut pelaksanaan tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri, dalam keluarga, dalam masyarakat, dan tugas kekhalifahan terhadap alam.35

C. Penutup
Pendidikan dan manusia selamanya tak kan pernah terpisah dan hilang dalam peradaban manapun dan kapan pun. Oleh karenanya diskursus mengeni keduanya merupakan sebuah kemestian untuk terus dikaji dan ditelaah secara komprehensif sehingga menciptakan keserasian ketika antara keduanya saling berinteraksi dalam dinamikanya. Pendidikan Islam jika dilihat sebagai suatu metode dan tujuan yaitu untuk mengenal dan mengembangkan fitrah manusia sebagai khalifatullah fi al-ard sudah selayaknya akan selalu mencerna semua perubahan disetiap peradaban yang terdapat dalam masa dan tempat yang berbeda.
Konsep manusia dalam pandangan Islam terdiri dari berbagai konsep-konsep dasar meliputi konsep khalifah Allah di muka bumi yang mengandung potensi seperti fitrah manusia, roh disamping pemenuhan kebutuhan jasmani, kebebasan kemauan manusia dan potensi akal pikiran. Adapun mengenai implikasi konsep manusia, pada intinya pendidikan Islam dalam tujuan akhirnya (ultimate aim) adalah pembentukan pribadi khalifah bagi anak didik yang ciri-cirinya terkandung dalam konsep ibadah dan amanah yaitu memiliki fitrah, roh disamping badan, kemauan yang bebas, dan akal. Dengan kata lain tugas pendidikan adalah mengembangkan keempat aspek ini pada manusia agar ia dapat menempati kedudukan sebagai khalifah.
Pendidikan dalam Islam tidak semata-mata pencarian keilmuan yang bersifat positivistik an sich, lebih dari itu sebuah pendidikan merupakan aktifitas ibadah dalam pembangunan akhlaq al-karimah yang mendorong manusia untuk bisa menempuh kehidupan yang bertauhid dan sesuai dengan norma-norma Islam. Oleh karena itu pendidikan dalam Islam bukan merupakan suatu tujuan akan tetapi suatu metode yang bertujuan untuk kebenaran (haq) dan kebahagiaan manusia itu sendiri.
Wallahu a’ lam bish showaab.



1 Pembantu Ketua I Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Tasikmalaya
2 Jalaluddin, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta : Raja Grafindo, 1994), hlm. 13
3 Syed Hussen, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam,(Crisis Muslim Education), terj. Rahman A,(Bandung: Gema Risalah, 1994) hlm. 58
4 Jalaluddin , Filsafat Pendidikan, Op.Cit. hlm. 14
5 Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Suatu Tinjauan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1997), hlm.12
6 Omar Muhammad At-Toumi Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), hlm. 10
7 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, pengantar kepada metafisika buku ke tiga, (Jakarta :Bulan Bintang, 1996) hlm. 150.
8 At-Toumi As-Syaibani, Op.Cit, hlm. 11
9 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidian, Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: AL Husna Zikra, 1986) hlm.5
10 Chabib Thoha, dkk, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Semarang: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 286
11 Hasan Langgulung, Asas-Asas pendidikan Islam, (Jakarta : Al-Husna Zikra, 2000), hlm. 1
12 Abdul Khaliq, dkk, Pemikiran pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) hlm.
13 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang pendidikan Islam, (Bandung :Pustaka AL-Ma’arif, 1995), hlm. 93
14 Hasan Langgulung, Manusia dan pendidikan ,Op.cit.hlm.3
15 Muhammad Yasir Nasution, op.cit hlm. 1
16 Musa Asy’ari, op.cit, hlm. 55
17 Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab (Mesir: Dar al-Misriyah li at-Ta’lif wa at-Tarjamah, 1968),
jilid 1,p.889
18 Jalaluddin, Teologi Pendidikan,(Jakarta: Rajawali Press, 2000) hlm. 18
19 Muhaimin, dan Abdul Mudjib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka dasar Operasionalnya.( Bandung : Tri Genta, 1993) hlm 10
20 Ibid, hlm. 11
21 Jalaluddin,Op.Cit. hlm. 21
22 Ibid, hlm.22
23 Ibid
24 Musa Asy’ari, op.cit. hlm. 43
25 ibid
26 Abu Tauhid, op.cit. hlm 28
27 Abdurrahman An Nahlawy, Pendidikan Islam di Rumah dan Masyarakat, (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hlm. 62
28 H. Musa Asyari,op.cit, hlm. 49
29 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam , ( Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hlm. 201
30 Muzayyin Arifin, Pendidikan Islam dan Arus Dinamika Masyarakat, (Jakarta:Golden Trayon Press, tt) hlm.54
31 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Jakarta, Mizan, 1995, hlm.
32 Muhaimin, Op.cit, , hlm. 11
33 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan . Op.cit, hlm. 58-59
34 Athiyah Al-Abrasyi, Al-Tarbiyah Al-Islamiyah wa Falasifatuha, Kahisan : Issa al-Babi al-Halabi, 1969, hlm. 70
35 Drs. Muhaimin, Paradigma..., Op.cit, hlm. 24
Sumber

0 komentar:

Posting Komentar