A. Pendahuluan
Pemikiran
tentang hakikat manusia sejak zaman dahulu kala sampai zaman modern sekarang
ini juga belum berakhir dan munkin tak akan pernah berakhir. Ternyata orang
menyelidiki manusia itu dari berbagai sudut pandang. Ada yang menyelidiki manusia
dari segi fisik yaitu antropologi fisik, adapula yang menyelidiki dengan sudut
pandang budaya yaitu antropologi budaya. Sedangkan yang menyelidiki manusia
dari sisi hakikatnya disebut antropologi filsafat.
Memikirkan
dan membicarakan hakikat manusia inilah yang menyebabkan orang tak
henti-hentinya berusaha mencari jawaban yang memuaskan tentang pertanyaan yang
mendasar tentang manusia itu sendiri, yaitu apa dari mana dan mau kemana
manusia itu.
Oleh
karena itu pada makalah ini kami akan membahas tentang hakikat manusia dalam
filsafat pendidikan islam yang meliputi hakikat Allah menciptakan manusia, apa
hakikat manusia, mengapa manusia memerlukan pendidikan, dan mengapa manusia
bisa di didik. Semoga dengan pembhasan ini dapat menambah wawasan bagi kita
dalam memahami hakikat diri kita sebagai manusia di muka bumi ini.
B. Hakikat Allah Menciptakan Manusia
Manusia
disisi Allah adalah sebagai salah satu ciptaan (makhluk) Allah. Sebagaimana
dalam QS. 96 : 2“Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.” QS. 2 :
21“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertakwa.”
Makna
yang paling mendasar yang dapat diambil dari hal ini (manusia sbg makhluk)
adalah bahwa manusia memiliki kekurangan dan keterbatasan. Sesungguhnya semua
yang diciptakan oleh Allah memiliki kekurangan dan keterbatasan. Sedangkan
Allah Maha Sempurna, tidak memiliki kekurangan, keterbatasan atau
kelemahan.Yang menunjukkan hal tersebut adalah ucapan “Subhanallah”, “Maha Suci
Allah dari serba kekurangan dan keterbatasan”. Oleh karena itu tidaklah pantas
manusia sebagai ciptaan untuk menyombongkan dirinya. Allahlah yang pantas untuk
sombong, karena Allah adalah Dzat Yang Maha Sempurna.
Allah
swt memeberikan keutamaan lebih kepada manusia dari pada makhluk yang lain.
Manusia dilantik menjadi Abdullah dan Khalifatullah dimuka bumi ini untuk
memakmurkannya. Oleh karena itu dibebenkan kepada manusia amanah Attaklif, dan
diberikankan pula kebebasan dan tanggung jawab memiliki serta memelihara
nilai-nilai kemuliaan.
Kemuliaan
yang diberikan bukanlah karena bangsanya, warna kulitnya, kecancikannya,
perawakannya, harta, derajatnya, akan tetapi semata-mata karena iman dan dan
taqwanya kepada Allah swt.
Semua
itu dijelaskan dalam al-qur’an surat al-baqarah ayat 21
Hai
manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertakwa,
Dan
ayat 30
Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Allah
swt juga menjelaskan hakikat ciptaan manusia dalam surat az-zariyat ayat 56
yang artinya “ Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka
beribadah kepada-Ku ”
Hakikat Manusia
Hakikat
manusia menurut al-Qur’an ialah bahwa manusia itu terdiri dari unsur jasmani,
unsur akal, dan unsur ruhani. Ketiga unsur tersebut sama pentingnya untuk di
kembangkan. Sehingga konsekuensinya pendidikan harus di desain untuk
mengembangkan jasmani, akal, dan ruhani manusia.
Unsur
jasmani merupakan salah satu esensi ( hakikat ) manusia sebagai mana dijelaskan
dalam al-Qur’an surat al-baqarah ayat 168 yang artinya “ Hai sekalian
manusia makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dari bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan karena sesungguhnya syuetan itu
adalah musuh yang nyata bagimu “
Akal
adalah salah satu aspek terpenting dalam hakikat manusia. Akal digunakan untuk
berpikir, sehingga hakikat dari manusia itu sendiri adalah ia mempunyai rasa
ingin, mempunyai rasa mampu, dan mempunyai daya piker untuk mengetahui apa yang
ada di dunia ini.
Sedangkan
aspek ruhani manusia di jelaskan dalam al-Qur’an surat al-Hijr ayat 29 yang
artinya “ Tatkala aku telah menyempurnakan kejadiannya, aku tiupkan
kedalamnya ruhku.kedalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud “
Dalam
hal ini muhammad Quthub menyimpulkan bahwa eksistensi manusia adalah jasmani,
akal, dan ruh, yang mana ketiganya menyusun manusia menjadi satu kesatuan.
Definisi
tentang manusia akan banyak kita jumpai dalam berbagai literatur, terutama pada
kajian filsafat dan antropologi. Dalam bidang Humaniora, Dr. Alexis Carrel
(peletak dasar humaniora barat) mengatakan bahwa manusia adalah makhluq yang
misterius, karena derajat keterpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik
dengan perhatiannya yang demikian tinggi terhadap dunia yang ada di luar
dirinya. Sementara itu, Sastraprateja mendefinisikan manusia sebagai makhluq
yang historis. Menurutnya, hakikat manusia sendiri adalah suatu sejarah, suatu
peristiwa yang semata-mata datum. Hakikat manusia hanya dapat dilihat dalam
perjalanan sejarahnya, dalam sejarah perjalanan bangsa manusia.
Lain
halnya dengan al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah, beliau mendefinisaikan manusia
sebagai yang diciptakan dari satu gumpalan yang Allah gumpalkan dari segala
unsur tanah, yang tanah itu terdapat segala unsur yang baik, yang kotor, yang
mudah, yang sedih, yang mulia, dan yang hina. Al-Imam Ibnu Qayyim
mendefinisikan manusia pada hakikat penciptaannya. Berangkat dari asal
penciptaannya, terlihat bahwa berbagai potensi ada pada diri seorang manusia.
Potensi baik, buruk, hina, mulia termasuk angel tendention dan devil tendention
ada pada manusia.
Manusia Memerlukan
Pendidikan
Bagi
filsafat pendidikan penentuan sikap dan tanggapan tentang manusia merupakan hal
yang amat penting dan vital. Sebab manusia merupakan unsur terpenting dalam
usaha pendidikan. Tanpa tanggapan dan sikap yang jelas tentang manusia
pendidikan akan merasa raba.
Bahkan
pendidikan itu sendiri itu dalam artinya yang paling asas tidak lain adalah
usaha yang dicurahkan untuk menolong manusia menyingkap dan menemukan rahasia
alam memupuk bakat dan dan mengarahkan kecendrungannya demi kebaikan diri dan
masyarakat . usaha itu berakhir dengan berlakunya perubahan yang di kehendaki
dari segi social dan psikologis serta sikap untuk menempuh hidup yang lebih
berbahagia dan berarti.
Manusia
mengalami proses pendidikan terus berlangsung sampai mendekati waktu ajalnya.
Proses pendidikan adalah life long education yang dilihat dari segi kehidupan
masyarakat dapat dikatakan ebagai proses yang tanpa akhir.
Bila
dipandang dari segi kemampuan dasar pedagogis, manusia dipandang sebagai “homo
edukadum” mahluk yang harus dididik, atau bisa disebut “animal educabil ”
mahluk sebangsa binatang yang bisa dididik, maka jelaslah bahwa manusia itu
sendiri tidak dapat terlepas dari potensi psikologis yang dimiliknya secara
individual berbeda dalam abilitas dan kapabilitasnya, dari kemampuan individual
lainnya. Dengan berbedanya kemampuan untuk dididk itulah fungsi pendidikan pada
hakikatnya adalah melakukan seleksi melalui proses pendidikan atas pribadi
manusia.
Dari
segi sosial psikologis manusia dalam proses pendidikan juga dapat dipandang
sebagai mahluk yang sedang tumbuh dan berkembangdalam proses komonikasi antara
individualitasnya dengan orang lain atau lingkungan sekitar dan proses
membawanya kea rah pengembangan sosialitas dan moralitasnya. Sehingga dalam
proses tersebut terjadilah suatu pertumbuhan atau perkembangan secara dealiktis
atau secara interaksional antara individualitas dan sosialitas serta lingkungan
sekitarnya sehingga terbentuklah suatu proses biologis, sosiologis, dan
psikologis.
Manusia Bisa Dididik
Kemampuan
belajar manusia sangat berkaitan dengan kemampuan manusia untuk mengetahui dan
mengenal terhadap obyek-obyek pengamatan melalui panca indranya. Membahas
kemampuan mengetahui dan mengenal tidak dapat terlepas dari filsafat dalam
bidang epistimologi. Karena filsfat ini menunjukkan kepada kita betapa dan
sejauh mana manusia dapat mengetahui dan mengenal obyek-obyek pengamatan
disekitarnya. Apa pengetahuan itu, cara mengetahui, dan memperoleh pengetahuan
serta berbagai jenis pengalaman indrawi.
Panca
indera manusia adalah merupakan alat kelengkapan yang dapat membuka kenyataan
alam sebagai sumber pengetahuannya yang memunkinkan dirinya untuk menemukan
hakikat kebenaran yang diajarkan oleh agamanya atau oleh Tuhannya. Panca indera
manusia merupakan pintu gerbang dari pengetahuan yang makin berkembang. Oleh
karena itu Allah mewajibkan panca indera manusia untuk digunakan menggali
pengetahuan.
Dalam hal ini islam lebih cenderung untuk
menegaskan bahwa perpaduan antara kemampuan jiwa dan kenyataan materi sebagai
realita merupakan sumber proses “mengetahui” manusia yang keduanya merupakan
“kebenaran”menurut ukuran proses hidup manusiawi bukan Ilahi. Kebenaran yang
hakiki hanyalah Tuhan sendiri, dan kebenaran hakiki inilah yang menciptakan
segala kenyataan alami dan manusiawi dengan diberi mekanisme hukum-hukumnya
sendiri. Bila Ia menghendaki mekanisme itu bisa di rubah menurut kehendaknya.
Konsep Fitrah Manusia
Al-Qur’an
memandang bahwa manusia adalah makhluk biologis, psikologis dan sosial. Manusia
sebagai basyar tunduk pada taktir Allah, sama dengan makhluk lainnya. Manusia
sebagai insan dan al-nas bertalian dengan hembusan illahi atau roh Allah yang
memiliki keterbatasan dalam memilih untuk tunduk atau menentang takdir Allah.
Pemikiran tentang hakikat manusia dibahas dalam filsafat manusia. Agaknya,
manusia sendiri tak henti-hentinya memikirkan dirinya sendiri dan mencari jawab
akan apa, dari mana dan mau kemana manusia itu. Pemahaman yang tak utuh tentang
manusia dapat berakibat fatal bagi perl;akuan seseorang terhadap sesamanya,
misalnya saja pandangan bahwa manusia merupakan fase lanjutan dari spesies
tertentu yang mengalami evolusi dan natural selection, akan berimpikasi pada
keyakinan bahwa manusia akan terus berkembang menuju penyempurnaan spesies.
Meskipun
Islam memandang dalam dua dimensi, yakni jasad dan roh atau mateial dan spritual,
lebih dari itu, Islam secara tegas mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang
diciptakan oleh Allah, dapat dididik dan mendidik, hamba Allah yang mulia,
berfungsi sebagai pemimpin atau pengelola bumi, dan terakhir dalam keadaan suci
atau memiliki kecendrungan menerima agama atau fitrah. Berbeda dengan binatang
yang Cuma memiliki nafsu dan insting hewani, nafsu yang ada dalam diri manusia
diimbangi dengan potensi akal untuk berfikir dan menimbang apakah sesuatu itu
baik atau buruk, membahayakan atau tidak, sedemikian hingga manusia dapat
mengendalikan hawa nafsunya tadi dan tidak berjerumus pada perbuatan tercela.
Muslim kaffah tidaklah identik dengan superman dan spideman yang ditokohkan
sebagai pahlawan pembela kebenaran dan kekuatan super tak terkalahkan. Gambaran
manusia seperti itu menyesatkan, karena disamping manusia memiliki keistimewaan
juga memiliki kelemahan.
Kesadaran
bahwa manusia hidup didunia sebagai makhluk ciptaan Allah dapat menumbuhkan
sikap andap asor dan mawas diri bahwa dirinya bukanlah tuhan. Oleh sebab itu ia
melihat sesama manusia sebagai sesama makhluk, tidak ada perhambaan
antarmanusia. Jadi, seorang istri tidak menghamba pada suami, dan seorang
rakyat tidak menghamba pada pemerintah. Baginya, yang patut menerima
penghambaan dari manusia tak lain adalah Allah. Justru, Allah tidak menciptakan
manusia selain untuk menghamba atau beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu tidak
berlaku konsep manusia sebagai homo homoni lapas atau manusia sebagai pemangsa
bagi manusia yang lain. Tidak ada keistimewaan antara manusia dengan manusia
yang lain kecuali karena ketaqwaannya kepada Allah. Meskipun demikian,
kelebihan dan kemuliaan manusia tidaklah bersifat babadi, tergantung pada sikap
dan perbuatannya. Jika manusia tersebut berbuat kerusakan dan berakhlak
madzmumah, karunia kemuliaan berupa akal, hati dan panca inderanya tidak
dipergunakan semestinya, maka predikat kemanusiaannya turun ketingkat yang
paling rendah, bahwa lebih rendah dari hewan ternak. Disamping kelebihan,
manusia memiliki aspek kelemahan misalnya kikir, paling banyak membantah, penuh
keluh kesah, memiliki hawa nafsu yang mengajak pada kejahatan, mudah putus asa
dan tidak berterimakasih. Sebagai hamba Allah, manusia memikul tanggung jawab
pribadi, orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan pada hari
kiamat nanti mereka datang kepada Allah dengan sendiri-sendiri. Ini membuktikan
bahwa manusia sebagai hamba Allah itu memiliki kebebasan individual atas
dirinya sendiri namun tetap bertanggung jawab atas segala perbuatanya.
Sebagai
khalifah, manusia muslim dimaksudkan tampil dibumi ini dengan wajahnya yang
ramah dan anggun untuk memimpin, mengelola dan memakmurkan bumi. Bila hal
tersebut tidak dilakukan, maka fungsi khalifah tadi dapat diambil oleh manusia
dan golongan yang lain.[6]
Banyak
yang mengartikan bahwa bayi yang lahir itu fitrah artinya suci. Jiwa anak
tersebut cenderung kepada agama tauhid. Ketika terjadi penyimpangan dalam
perkembangan anak itu untuk tidak lagi cenderung kepada agama tauhid, para
ulama berargumentasi bahwa hal itu disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
Pengaruh
adat dan pergaulan (Mahmud Yunus)
Pengaruh
lingkungan (Al-Qur’an dan terjemahnya, Depag)
Pengaruh
hawa nafsu dan kekuasaan (Bakri Syahid)
Adanya
pendidikan (A. Hassan)
Guru
dan mengajarnya (al-Maraghi)
Perbuatan
atau usaha kedua orang tuanya (H.R. Bukhari Muslim)
Untuk
pengertian suci, bersih, bukan berarti bahwa fitrah disini sama dengan
tabularasanya Jonh Locke (1632-1704). Meskipun fitrah punya arti suci-bersih,
tetapi fitrah tidak kosong. Fitrah berisi daya-daya yang wujud dan
perkembangannya tergantung pada usaha manusia sendiri. Oleh karena itu fitrah
harus dikembalikan dalam bentuk-bentuk keahlian, laksana emas atau minyak yang
terpendam di perut bumi, tidak ada gunanya kalau tidak digali dan diolah untuk
kegunaan manusia. Disinilah letaknya tugas utama pendidikan. Sedangkan
pendidikan sangat dipengaruhi faktor
pembawaan dan lingkungan (nativisme dan empirisme). Namun ada perbedaan
esensial antara pendidikan islam dengan pendidikan umum. Pendidikan islam
berangkat dari filsafat pendidikan
theocentric, sedangkan pendidikan umum
berangkat dari filsafat anthropocentric.
Theocentric
memandang bahwa semua yang ada diciptakan oleh Tuhan, berjalan menurut
hukum-Nya. Filsafat ini memandang bahwa manusia dilahirkan sesuai dengan dengan
fitrah-Nya dan perkembangan selanjutnya tergantung pada lingkungan dan
pendidikan yang diperoleh. Sedang seorang pendidik atau guru hanya bersifat
membantu, serta memberikan penjelasan-penjelasan yang sesuai dengan tahap
perkembangan pemikiran dan akhirnya pelajar sendirilah yang belajar. Sedangkan
filsafat anthropocentric lebih mendasarkan ajarannya pada hasil pemikirin
manusia dan berorientasi pada kemampuan manusia dalam hidup keduniawiyan.
Sehubungan
dengan ini, maka persamaan dan perbedaan pendidikan islam dan aliran empirisme
ialah: pertama, keduanya sepakat bahwa anak yang baru lahir adalah bersih dan
suci, ibarat kertas putih yang siap ditulis oleh pendidik. Kedua, karena adanya
perbedaan konsep antara fitrah dengan teori tabularasa, maka peranan pendidik
dalam konsep pendidikan islam lebih terbatas dibandingkan dengan peranan
pendidik dalam aliran empirisme, dalam membentuk dan mengembangkankepribadian
anak didik tersebut.
Persamaan
dan perbedaan pendidikan islam dengan aliran nativisme: pertama, keduanya
mengakui pentingnya faktor pembawaan, sehingga anak didik berperan besar dalam
membentuk dan mengembangkan kepribadiannya. Kedua, dalam pendidikan islam
karena adanya nilai agama yang memiliki kebenaran mutlak, maka pendidik bukan
hanya sekedar pembantu tetapi ia bertanggungjawab akan terbentuknya kepribadian
muslim pada anak didik.
Persamaan
dan perbedaan pendidikan islam dengan konvergensi: pertama, keduanya mengakui
pentingnya factor endogen dan eksogen dalam membentuk dan mengembangkan
kepribadian anak didik. Kedua, perbedaannya, dalam islam kemana kepribadian itu
harus dibentuk dan dikembangkan sudah jelas, yaitu ma’rifatullah dan bertakwa
kepada-Nya.sedangkan dalam pendidikan yang berdasarkan anthropocentric
pembentukan dan pengembangan kepribadian diarahkan untuk mencapai kedewasaan
dan kesejahteraan hidup didunia.
Berbeda
dengan faham materialisme (faham kebendaan) yang meyakini bahwa manusia mati
berarti hilangnya eksistensi manusia secara total. Dalam islam, sebagaimana
disampaikan oleh Mastuhu, fitnah manusia itu setelah mati akan kembali kepada
Allah SWT. Upaya pengembangan fitrah manusia dalam seluruh aspek yang meliputi
spiritual, intelektual, dan keterampilan yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan dan kesejahteraan
hidup (individu dan sosial) dalam tugasnya sebagai khalifah Allah SWT,
diwujudkan dalam rangka memenuhi tujuan yang satu yaitu mengabdi kepada-Nya. Oleh karena itu
fitrah harus tetap dikembangkan secara wajar bila mana mendapatkan bimbingan
yang dijiwai oleh wahyu. Tentu saja hal ini harus didorong dengan pemahaman
islam secara kaffah. Semakin tinggi tingkat interaksi seseorang dengan islam
semakin baik pula perkembangan fitrahnya.
Dalam
ketentuannya-Nya, Allah menunjukkan dua macam jalan, yaitu jalan yang benar dan
jalan yang sesat, dan manusia diberi kebebasan untuk memilih antara dua jalan tersebut. Atas dua macam jalan ini
ada kalanya manusia itu bersyukur, ada kalanya manusia itu kufur atau
mengingkari kebenaran yaitu memilih jalan yang sesat. Ketentuan Allah
menunjukkan bahwa setiap manusia diberi dua kecenderungan, yaitu kecenderungan
nafsu untuk menjadikannya kafir yang ingkar terhadap tuhannya dan kecenderungan
yang membawa sikap bertaqwa menaati perintah-Nya. Ayat ini dapat dijadikan
sumber pandangan bahwa usaha mempengaruhi jiwa manusia melalui pendidikan dapat berperan positif
untuk mengarahkan perkembangan kepada jalan kebenaran yaitu islam, dengan tanpa
melalui usaha pendidikan. Manusia akan terjerumus kejalan yang salah atau sesat
yaitu kafir, dengan kata lain mengingkari “fitratallah”, meskipun ketentuan
Allah itu bukan suatu paksaan.
Jelaslah
bahwa faktor kemampuan memilih yang
terdapat didalam fitrah manusia (human nature) berpusat pada kemampuan berfikir
sehat (berakal sehat), karena akal sehat mampu membedakan hal-hal yang benar
dari yang salah. Sedangkan seseorang yang mampu menjatuhkan pilihan secara
tepat hanyalah orang yang berpendidikan sehat. Dengan demikian berfikir benar
dan sehat adalah merupakan fitrah yang dapat dikembangkan melalui pendidikan
dan latihan. Sejalan dengan interpretasi ini maka dapat dinyatakan bahwa
pengaruh faktor lingkungan yang disengaja yaitu pendidikan dan latihan
berproses secara interaktif dan linier dengan kemampuan fitrah manusia. Dalam
pengertian ini pendidikan islam berproses secara konvergensis (convergen:
bertemu, berpadu), yang dapat membawa kepada faham konvergensi dalam pendidikan islam.
Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa pada hakikatnya Allah swt
menciptakan manusia di muka bumi ini adalah semata-semata untuk mengabdi
kepada-Nya dan untuk menjadi khalifah dimuka bumi. Hakikat penciptaan manusia
terdiri dari tiga unsur, yaitu unsur jasmani, unsur akal, dan unsur ruhani,
yang mana ketiga unsur tersebut menjadi satu kesatuan pada diri manusia.
Sebagai
makhluk yang dibekali dengan berbagai kelebihan jika dibandingan denagn makhluk
lain, sudah sepatutnya manusia mensyukuri anugrah tersebut dengan berbagai
cara, diantaranya dengan memaksimalkan semua potensi yang ada pada diri kita.
Kita juga dituntut untuk terus mengembangkan potensi tersebut dalam rangka
mewujudkan tugas dan tanggung jawab manusia sebagai makhluk dan khalifah di
bumi.
Sumber
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar