06.14
2


A.    Pendahuluan.
Allah menurunkan al-Quran kepada umat manusia sebagai petunjuk kepada seluruh umat manusia agar tercipta kedamaian dan tata kehidupan yang harmonis antara satu dengan yang lainnya. Dalam suatu Negara pasti terdapat hukum dan undang-undang yang telah disahkan oleh pemerintah Negara tersebut. Akan tetapi dalam membuat atau menggunakan hukum beserta peraturan yang lain harus berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang sangat signifikan dengan realita Negara tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap Negara pasti memeiliki peraturan yang berbeda dengan Negara yang lain. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dalam membuat hukum dan peraturan tidak semena-mena tanpa melakukan pertimbangan.
Dalam realita Negara kita yang sebagian besar penduduknya adalah orang muslim maka sangat dibutuhkan suatu sumber dalam membuat hukum yang sumber tersebut tidak lain adalah al-Quran dan hadist. Meskipun demikian teks-teks al-Quran tidak dapat difahami secara fulgar akan tetapi harus secara mendalam. Dengan demikian posisi siyasah syari`yah sangat besar dalam membuat suatu aturan agar peraturan tersebut dapat terealisasi baik dari segi ritual maupun dari segi sosial kemasyarakatan dalam hal ini berbagsa dan bernegara dengan tujuan mencapai kemaslahatan secara komprehensif.
B.     Pengertian Fikih Siyasah
Kata siyasah secara etimologis merupakan bentuk masdar dari sasa, yasusu yang artinya “mengatur, mengurus, mengemudikan, memimpin dan memerintah”.[1]Di samping arti tersebut kata siyasah juga berarti “politik dan penetapan suatu bentuk kebijakan”. Kata sasa bersinonim dengan kata dabbara (mengatur), to lead (memimpin), to govern (memerintah), dan policy of government (kebijakan pemerintah).[2]
Secara etimologis kata siyasah mengakomodasi beberapa arti sebagaimana tersebut di atas. Agar tidak keliru dalam menentukan arti dari siyasah, maka langkah awal adalah melihat konteks kalimat yang mengikuti kata siyasah. Misalkan kata sasa al-amra harus diartikan “mengurus atau mengatur sesuatu” sebab konteks kalimat tersebut merujuk pada makna yang demikian sehingga tidak bisa diartikan dengan makna yang lain.
Secara terminologis mengenai definisi siyasah banyak perbedaan pendapat menurut para yuris Islam di antaranya :
Menurut Ibnu Mansur (ahli bahasa di mesir ) siyasah berarti mengatur sesuatu dengan cara membawa kepada kemaslahatan. Sedangkan menurut Abdul Wahhab Khalaf siyasah adalah undang-undang yang dibuat untuk memelihara ketertiban dan kemaslahatan serta untuk mengatur berbagai hal. Adapun menurut Abdurrahman, siyasah adalah hukum dan kebijakan yang mengatur berbagai urusan umat atau masyarakat dalam hal pemerintahan hukum dan peradilan, lembaga pelaksanaan dan administrasi dan hubungan luar dengan negara lain.
Dari ketiga definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa fikih siyasah adalah suatu konsep yang berguna untuk mengatur hukum ketatanegaraan dalam bangsa dan negara yang bertujuan untuk mencapai kemaslahatan dan mencegah kemudharatan.
Adapun yang di maksud dengan siyasah syar’iyah ialah nama bagi hukum yang digunakan untuk mengatur alat perlengkapan negara dan urusan masyarakat yang sejalan dengan jiwa dan prinsip dasar syariat yang universal guna merealisasikan cita-cita kemasyarakatan meskipun hal tersebut tidak dijelaskan oleh nash secara terperinci baik dari al-Quran maupun as-Sunnah.
Menurut Ibnu Aqil (ahli fikih di Baghdad) siyasah syar’iyah adalah suatu tindakan yang secara praktis membawa kepada kemaslahatan dan terhindar dari kerusakan meskipun rasulullah sendiri tidak menetapkannya dan wahyu mengenai hal itu tidak ada. Adapun menurut Muhammad Syarif menjelaskan pengertian fikih siyasah syar’iyah adalah setiap perbuatan yang sesuai dengan maqasiduh as-syariah al-ammah.[3]
C.    Perbedaan Fikih Siyasah dengan Siyasah Syar’iyyah
Pengertian di atas mengindikasikan bahwa antara pengertian fikih siyasah dengan siyasah syar`iyah terdapat perbedaan. Meskipun dari redaksional pengertian tersebut berbeda akan tetapi esensi dari redaksi tersebut adalah sama yaitu mencapai kemaslahatan dan menghindari kerusakan. Akan tetapi yang paling urgen dalam hal ini adalah di mana letak perbedaan tersebut? Apabila kita amati perbedaan antara fikih siyasah dan siyasah syar`iyah adalah dari segi pembentukan dan tujuannya. 
Sumber utama dari fikih siyasah adalah manusia dan lingkungannya. Peraturan yang bersumber dari lingkungan manusia sendiri meliputi pandangan para ahli, hukum adat, pengalaman manusia, dan warisan budaya, yang mempunyai tujuan untuk mencapai kebahagian dunia semata.
 Bila kita pahami dari definisi syar’iyah di atas maka sangat jelas, bahwa sumber primer dari siyasah syar’iyah adalah al-Qur’an, as-Sunnah, manusia dan lingkungannya. Karena siyasah syar’iyah mengajarkan pada semua manusia untuk mencapai kemaslahatan baik dunia dan akhirat dengan berpegangan pada al-Quran dan as-Sunnah (sumber vertical) serta manusia dan lingkungannya sebagai sumber horizontal.[4]
D.    Kedudukan fikih siyasah dalam sistematika hukum Islam, ruang lingkup, sumber-sumber dan pembanding.
Fikih siyasah yang tidak lain merupakan bagian dari siyasah syar’iyah yang berlandaskan al-Quran dan al-hadist, memiliki kedudukan yang sangat besar dan berperan aktif dalam sistematika hukum Islam. Karena fikih siyasah tidak lain memiliki ciri khas yakni sangat memperhatikan segi kemanusiaan seseorang, baik mengenai diri, jiwa, akal maupun akidahnya; atau selaku perorangan ataupun sebagai anggota masyarakat baik berbangsa dan bernegara serta tujuan utama yang tidak jauh berbeda dengan hukum Islam dalam mencapai suatu kemaslahatan umat baik di dunia atau di akhirat kelak.[5]
Dalam sejarah Islam sejak masa Nabi SAW. sampai pada abad modern ini sangat spektakuler bagi semua umat manusia bahwa Islam tidak dapat terlepaskan dari suatu negara dalam arti Islam harus mempunyai pemimpin. Pada dasarnya Islam sangat memperhatikan pada semua aspek baik dari segi ritual maupun aspek sosial. Oleh karena itu memandang kemaslahatan kepada semua umat sangat di perhatikan di dalam sistematika hukum Islam. Mengacu pada definisi siyasah yang telah di jelaskan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam mentukan suatu hukum dalam Islam maka harus mendahulukan pada kemaslahatan yang ungkapan tersebut sangat sesuai dengan kaidah fikih yang  artinya menolak sesuatu yang mendatangkan bahaya lebih di prioritaskan dari pada mendatangkan suatu hal yang manfaat.[6]
E.     Ruang Lingkup
Beberapa ahli kenegaraan Islam membagi ruang lingkup fikih siyasi atas beberapa bagian:
a.    Imam al-Mawardi, ahli fikih Madzhab Syafi’i dan negarawan pada masa Dinasti Abbasiyah, dalam bukunya al-Ahkam al-Sulthaniyah mengatakan bahwsannya ruang lingkup fikih siyasi mencakup lima bagian, yakni politik perundang –undangan (siyasah dusturiyah), politik moneter (siyasah maliyah), politik peradilan (siyasah qadla’iyah), politik peperangan (siyasah harbiyah), dan politik administrsasi (siyasah idariyah). 
b.    Sementara Ibnu Taimiyyah dalam bukunya asy-syiyasah al-Syar’iyyah fi Aislah al-Ra’I wa al-Ra’iyyah membagi fikih siyasi atas tiga bagian ,yakni politik administrasi, politik moneter, dan politik luar negeri.
c.    Dan Hasbi al-Siddieqy, ahli hukum Indonesia membaginya atas delapan hukum, yaitu politik perundang-undangan, penetapan syariah atau hukum, peradilan, moneter, administrasi, luar negeri, pelaksanaan undang-undang, dan peperangan.[7]
Setelah kita mengetahui tentang ruang lingkup dari fikih siyasah di atas maka yang terpenting untuk kita ketahui adalah sumber atau dasar pokok fikih siyasah. Adapun sumber pokok bagi siyasah adalah wahyu. Yang mana wahyu tidak lain diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk bagi umat manusia di dunia dan di akhirat agar tercipta suatu kehidupan yang harmonis dan tentram di antara umat Islam.
Untuk pengembangan fikih siyasah beberapa metode yang dapat diaplikasikan dalam mengembangkannya sebagai sumber penggalian hukum yakni : qias, istihsan, istishab, maslahah mursalah, az-zari’ah, dan urf. Cara penggalian pengembangan, dan penetapan hukum melalui pembuatan dan penggunaan kaidah-kaidah fikih untuk lebih jelasnya banyak dijelaskan dalam bab ushul fikih.
Sedangkan pembanding dari fikih siyasah itu sendiri adalah UUD 1945 yang merupakan aturan ketatanegaraan yang telah disepakati oleh banyak kalangan ahli yang memahami betul tentang ilmu ketatanegaraan khususnya di Indonesia, begitu  juga hukum perdata dan hukum pemerintah yang masih sesuai dengan sumber fikih siyasah di atas yakni al-quran, hadist, dan beberapa metode yang dipakai dalam pengembangan fikih siyasah yaitu, Qias, Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah, Az-Zari’ah, Dan Urf.[8]
Daftar referensi
Ensiklopedi Hukum Islam/editor, Abdul Azis Dahlan [et al]_Cet. 1._ 1996. Ichtiar Baru van          Hoeva, Jakarta.
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, t.t. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, jilid 3.
Jindan, Khalid Ibrahim, Teori Politik Islam, 1999, Risalah Gusti, Surabaya.
Mahfudz, Sahal, Fiqih Sosial Antara Konsep dan Implementasi, 2007,  Khalista Surabaya.
Thoimah, Shobir, Dirosatu Fi Nidhomih Islam,  t.t. Dar al-Ajil, Beirut.


[1] Ensiklopedi tematis dunia Islam, PT. ichtiar Baru Van Hoeve, jilid 3. t.t. hlm. 192
[2] Ibid. hlm.192
[3] Shobir Thoimah, Dirosatu Fi Nidhomih Islam, Dar Al-Ajil, Beirut. Hlm. 178.  
[4] Ibid., hlm.191
[5] Ensiklopedi hukum Islam/editor, Abdul Azis Dahlan [et al]_Cet. 1._Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeva, 1996. Hlm. 577.
[6]   Sahal Mahfudz Fiqih Sosial antara konsep dan implementasi 2007  Khalista Surabaya.
[7] Ibid., hlm. 576.
[8] Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam, , 1999, Risalh Gusti, Surabaya. 
 

2 komentar:

  1. Assalamualaikum
    Syukran atas ilmunya
    Segola kita selalu dalam rahmat Allah SWT.
    Kunjungi juga ya blog kami

    https://seruankemuliaan.blogspot.co.id/

    Kumpulan pengetahuan Islami kini dan masa depan

    BalasHapus