05.13
0

HAKEKAT MANUSIA
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN
ISLAM
Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata kuliah
Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Prof.Dr.  H. Jamali, MAg


Oleh :
KARIRI


PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
 PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)SYEKH NURJATI
CIREBON
2014


BAB I
PENDAHULUAN

Manusia merupakan makhluk yang
sangat unik. Upaya pemahaman hakekat manusia sudah  dilakukan sejak dahulu. Namun, hingga saat
ini belum mendapat pernyataan yang benar-benar tepat dan pas, dikarenakan
manusia itu sendiri yang memang unik, antara manusia satu dengan manusia lain
berbeda-beda. Bahkan orang kembar identik sekalipun, mereka pasti memiliki
perbedaan. Mulai fisik, ideologi, pemahaman, kepentingan, dan lain-lain.
Para ahli pikir dan ahli filsafat
memberikan sebutan kepada manusia sesuai dengan kemampuan yang dapat dilakukan
manusia di bumi ini;
a.     
Manusia adalah Homo
Sapiens
, artinya makhluk yang mempunyai budi,
b.    
Manusia adalah Animal
Rational
, artinya binatang yang berfikir,
c.     
Manusia adalah Homo
Laquen
, artinya makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan
pikiran manusia dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun,
d.    
Manusia adalah Homo
Faber
, artinya makhluk yang terampil. Dia pandai membuat perkakas atau disebut
juga Toolmaking Animal yaitu binatang yang pandai membuat alat.
e.     
Manusia adalah Zoon
Politicon
, yaitu makhluk yang pandai bekerjasama, bergaul dengan orang lain
dan mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
f.     
Manusia adalah Homo
Economicus
, artinya makhluk yang tunduk pada prinsip-prinsip ekonomi dan
bersifat ekonomis,
g.    
Manusia adalah Homo
Religious
, yaitu makhluk yuang beragama.

            Berbicara tentang manusia   dalam
Islam adalah membicarakan sesuatu yang sangat klasik namun senantiasa aktual.
Berbicara tentang  hal tersebut sama saja
dengan berbicara tentang kita sendiri dan keyakinan asasi kita sebagai makhluk
Tuhan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
‘manusia’ diartikan sebagai ‘makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk
lain); insan; orang’ (1989:558). Menurut pengertian ini manusia adalah makhluk
Tuhan yang diberi potensi akal dan budi, nalar dan moral untuk dapat menguasai
makhluk lainnya demi kemakmuran dan kemaslahatannya. Dalam bahasa Arab, kata
‘manusia’ ini bersepadan dengan kata-kata nâs, basyar, insân, mar’u, ins dan
lain-lain. Meskipun bersinonim, namun kata-kata tersebut memiliki perbedaan
dalam hal makna spesifiknya. Kata nâs misalnya lebih merujuk pada makna manusia
sebagai makhluk sosial. Sedangkan kata basyar lebih menunjuk pada makna manusia
sebagai makhluk biologis. Begitu juga dengan kata-kata lainnya.






















BAB II
PEMBAHASAN
PANDANGAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP
MANUSIA

A.    GAMBARAN
TENTANG MANUSIA
Manusia
adalah subyek pendidikan, sekaligus juga obyek pendidikan. Manusia dalam proses
perkembangan kepribadiannya, baik menuju pembudayaan maupun proses kematangan
dan intregitas, adalah obyek pendidikan. Artinya mereka adalah sasaran
atau bahan yang dibina. Meskipun kita sadarai bahwa perkembangan kepribadian
adalah self development melalui self actifities, jadi sebagai subjek yang sadar
mengembangkan diri sendiri. [1]
[1]
Dalam
Al-Qur’an banyak ditemukan gambaran yang membicarakan tentang manusia dan makna
filosofis dari penciptaannya. Manusia merupakan makhluk-Nya paling sempurna dan
sebaik-baik ciptaan yang dilengkapi dengan akal pikiran. Dalam hal ini Ibn ‘Arabi
misalnya menggambarkan hakikat manusia dengan mengatakan bahwa,”tak ada makhluk
Allah yang lebih sempurna kecuali manusia, yang memiliki daya hidup,
mengetahui, berkehendak, berbicara, melihat, mendengar, berfikir, dan
memutuskan. Manusia adalah makhluk kosmis yang sangat penting, karena
dilengkapi dengan semua pembawaan atau fitrahnya dan syarat-syarat yang
diperlukan untuk mengemban tugas dan fungsinya sebagi makhluk Allah di muka
bumi.[2]
[2]
Sedikitnya ada empat konsep yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk pada
makna manusia, namun secara khusus memiliki penekanan pengertian yang berbeda.
Perbedaan tersebut dapat dilihat pada konsep berikut:
1.      Konsep al-Basyar
Kata al-Basyar
dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat. Secara
etimologi al-Basyar juga diartikan mulamasah,yaitu persentuhan
kulit antara laki-laki dan perempuan. Makna ini dapat dipahami bahwa manusia
merupakan makhluk yang memiliki segala sifat kemanusiaan yang terbatas, seperti
makan, minum, seks, keamanan, kebahagiaan, dan lain sebagainya. Penunjukkan
kata al-Basyar ditunjukan Allah kepada seluruh manusia tanpa kecuali. Demikian
pula halnya dengan para rasul-rasul-Nya. Hanya saja kepada mereka diberikan
wahyu, sedangkan kepada manusia umumnya tidak diberikan.[3]
[3]
Berdasarkan
konsep al- Basyar, manusia tak jauh berbeda dengan makhluk biologis
lainnya.  Dengan demikian kehidupan
manusia terikat kepada kaidah-kaidah prinsip kehidupan biologis lain seperti
berkembang biak, mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan dalam mencapai
tingkat kematangan serta kedewasaan.

2.      Konsep al-Insan
Kata al-Insan
yang berasal dari kata al-uns, dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak
73 kali dan tersebar dalam 43 surat. Secara etimologi, al-Insan dapat
diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa.  Dan ada juga dari akar kata Naus yang
mengandung arti “pergerakan atau dinamisme”. Merujuk pada asal kata al- Insan
dapat kita pahami bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi yang positif
untuk tumbuh serta berkembang secara fisik maupun mental spiritual. Di samping
itu, manusia juga dibekali dengan sejumlah potensi lain, yang berpeluang untuk
mendorong ia ke arah tindakan, sikap, serta perilaku negatife dan merugikan[4]
[4].

3.      Konsep an-Nas
Kata an-Nas
dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat. Kosa
kata An- Nas dalam Al- Qur’an umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia
sebagai makhluk social. Manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang
berawal dari pasangan laki-laki dan wanita kemudian berkembang menjadi suku dan
bangsa untuk saling kenal mengenal “berinterksi” .
Hal ini
sejalan dengan teori “strukturalisme” Giddens yang mengatakan bahwa manusia
merupakan individu yang mempunyai karakter serta prinsip berbeda antara yang
lainnya tetapi manusia juga merupakan agen social yang bisa mempengaruhi atau
bahkan di bentuk oleh masyarakat dan kebudayaan di mana ia berada dalam konteks
sosial.[5]
[5]

4.      Konsep Bani Adam
Manusia
sebagai Bani Adam, termaktub di tujuh tempat dalam Al-Qur’an (Muhammad Fuad Abd
al- Baqi:1989). Menurut al-Gharib al-Ishfahany, bani berarti keturunan dari
darah daging yang dilahirkan. Berkaitan dengan penciptaan manusia menurut
Christyono Sunaryo, bahwa bumi dan dunia ini telah diciptakan Allah SWT jutaan
tahun sebelum Nabi Adam as diturunkan dibumi, 7000 tahun yang lalu.
Adapun yang
dikatakan dalam kitab-kitab suci, ilmu pengetahuan ataupun teknologi dapat
membuktikan bahwa ada sisa-sisa “manusia” yang telah berumur jutaan tahun. Bahkan
teori Darwin-pun mengalami kesulitan dalam menghubungkan manusia purba dengan
manusia masa kini (The missing-linktheorema). Dalam konsep ini dapat ditarik
beberapa kesimpulan bahwa: “Jelaslah dengan penjelasan di atas bahwa Adam as
bukanlah merupakan hasil evolusi ataupun “keturunan monyet”, seperti dikatakan
Darwin.

B.     PROSES
PENCIPTAANNYA MANUSIA DALAM AL-QUR’AN
Dilihat dari
proses penciptaannya, Al-Qur’an menyatakan peroses penciptaan manusia dalam dua
tahapan yang berbeda, yaitu: pertama, disebut dengan tahapan primordial.
Kedua, disebut dengan tahapan biologi. Manusia pertama,  Adam as , diciptakan dari at-tin
(tanah), at-turob (tanah debu), min shal (tanah liat), min
hamain masnun
(tanah lumpur hitam yang busuk) yang dibentuk Allah dengan
seindah-indahnya, kemudian Allah meniupkan ruh dari-Nya kedalam diri (manusia)
tersebut.
Penciptaan
manusia selanjutnya adalah proses biologi yang dapat dipahami secara
sains-empirik. Di dalam proses ini, manusia diciptakan dari inti sari tanah
yang dijadikan air mani (nuthfah) yang disimpan di tempat yang kokoh (rahim).
kemudian air mani di jadikan darah beku (‘alaqah) yang menggantung dalam
rahim. Darah beku tersebut kemudian dijadikan-Nya segumapal daging (mudghah)
dan kemudian di balut dengan tulang belulang lalu kepadanya ditiupkan ruh.
(Q.S, Al Mu’minun/23:12-24). Hadist yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim
menyatakan bahwa ruh di hembuskan Allah SWT ke dalam janin setelah ia mengalami
perkembangan 40 hari nuthfah, 40 hari alaqah daan 40 hari mudghah.[6]
[6]
Al-Ghazali
mengungkapkan proses penciptaan manusia dalam teori pembentukan (taswiyah)
sebagai suatu proses yang timbul di dalam materi yang membuatnya cocok untuk
menerima ruh. Materi itu merupakan sari pati tanah liat nabi Adam as yang
merupakan cikal bakal bagi keturunannya. Cikal bakal atau sel benih (nuthfah)
ini yang semula adalah tanah liat setelah melewati berbagai proses akhirnya
menjadi bentuk lain (khalq akhar) yaitu manusia dalam bentuk yang
sempurna.
Tanah liat
menjadi makanan (melalui tanaman dan hewan), makanan menjadi darah, kemudian
menjadi sperma jantan dan indung telur. Kedua unsure ini bersatu dalam satu
wadah yaitu rahim dengan transformasi panjang yang akhirnya menjadi tubuh
harmonis (jibillah) yang cocok untuk menerima ruh. Sampai di sini
prosesnya murni bersifat materi sebagai warisan dari leluhurnya. Kemudian
setiap manusia menerima ruhnya langsung dari Allah disaat embrio sudah siap dan
cocok menerimanya. Maka dari pertemuan ruh dan badan, terbentuklah makhluk baru
manusia.[7]
[7]

C.    KEDUDUKAN
MANUSIA
Kesatuan
wujud manusia antara pisik dan pisikis serta didukung oleh potensi-potensi yang
ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan at-taqwim dan merupakan
manusia pada posisi yang strategis yaitu: Hamba Allah (‘abd Allah) dan
Khalifah Allah (khalifah fi al-ardh).
1.      Manusia Sebagai Hamba Allah (‘abd Allah)
2.      Manusia Sebagai Khalifah Allah fi al-Ardh.

D.    MANUSIA DAN
PROSES PENDIDIKAN
Paulo
freire, tokoh pendidikan Amerika Latin mengatakan bahwa tujuan akhir dari
proses pendidikan adalah memanusiakan manusia (humanisasi), tidak jauh berbeda
dengan pandangan diatas M. Arifin berpendapat, bahwa proses pendidikan pada
akhirnya berlangsung pada titik kemampuan berkembangnya tiga hal yaitu
mencerdaskan otak yang ada dalam kepala (head), kedua mendidik akhlak
atau moralitas yang berkembang dalam hati (heart) dan ketiga adalah
mendidik kecakapan/ketrampilan yang pada prinsipnya terletak pada kemampuan
tangan (hand) selanjutnya populer dengan istilah 3 H’s. Berangkat dari
arti pentingnya pendidikan ini, Karnadi Hasan memandang bahwa pendidikan bagi
masyarakat dipandang sebagai “Human investment” yang berarti secara
historis dan filosofis, pendidikan telah ikut mewarnai dan menjadi landasan
moral dan etik dalam proses humanisasi dan pemberdayaan jati diri bangsa.
Merujuk dari
pemikiran tersebut, Pendidikan adalah drajat hidup bagi setiap manusia. Karena
kita sadari bahwa tidak ada seorangpun yang lahir di dunia ini dalam keadaan
pandai (berilmu). Hal ini membuktikan bahwa segala sesuatu di dunia ini
merupakan proses berkelanjutan yang tidak asal jadi seperti bayangan dan impian
kita. Berkaitan adanya proses tersebut, penciptaan manusia oleh Allah SWT juga
tidaklah sekali jadi.
Ada proses
penciptaan (khalq), proses penyempurnaan (taswiyyah), dengan cara
memberikan ukuran atau hukum tertentu (taqdir), dan juga di berikannya petunjuk
(hidayah).
Dengan
demikian menurut Sunnatullah manusia sangat terbuka kemungkinannya untuk
mengembangkan segala potensi yang dia miliki melalui bimbingan dan tuntunan
yang tearah, teratur serta berkesinambungan yang semuanya merupakan proses
dalam rangka penyempurnaan manusia (insan kamil) yang nantinya dapat
memenuhi tugas dari kejadiannya yaitu sebagai Khalifah Fil Ardl.

E.     MANUSIA
MENURUT FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Pemikiran
filsafat mencakup ruang lingkup yang berskala makro yaitu: kosmologi, ontology,
philosophy of mind, epistimologi, dan aksiologi. Untuk melihat bagaimana
sesungguhnya manusia dalam pandangan filsafat pendidikan, maka setidaknya
karena manusia merupakan bagian dari alam semesta (kosmos). Berangkat dari situ
dapat kita ketahui bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang pada hakekatnya
sebagai abdi penciptanya (ontology). Agar bisa menempatkan dirinya sebagai
pengapdi yang setia, maka manusia diberi anugerah berbagai potensi baik
jasmani, rohani, dan ruh (philosophy of
mind
).
Sedangkan
pertumbuhan serta perkembangan manusia dalam hal memperoleh pengetahuan itu
berjalan secara berjenjang dan bertahap (proses) melalui pengembangan
potensinya, pengalaman dengan lingkungan serta bimbingan, didikan dari Tuhan
(epistimologi), oleh karena itu hubungan antara alam lingkungan, manusia, semua
makhluk ciptaan Allah dan hubungan dengan Allah sebagai pencita seluruh alam
raya itu harus berjalan bersama dan tidak bisa dipisahkan.
Adapun
manusia sebagai makhluk dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya insaninya
itu, manusia diikat oleh nilai-nilai illahi (aksiologi), sehingga dalam
pandangan Filsafat Pendidkan Islam, manusia merupakan makhluk alternatif (dapat
memilih), tetapi ditawarkan padanya pilihan yang terbaik yakni nilai illahiyat.
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa manusia itu makhluk alternatif (bebas)
tetapi sekaligus terikat (tidak bebas nilai).





BAB III
KESIMPULAN



Manusia menurut Islam adalah makhluk
ciptaan Allah (QS. 98: 2) dengan kedudukan yang melebihi makhluk ciptaan Allah
lainnya (QS. 95: 4). Selain itu manusia sudah dilengkapi dengan berbagai
potensi yang dapat dikembangkan antara lain berupa fitrah ketauhidan (QS.15:
29). Dengan fitrah ini diharapkan manusia dapat hidup sesuai dengan hakekat
penciptaannya, yaitu mengabdi kepada Allah swt (QS. 51: 56).
Mengacu pada ketentuan ini, maka
dalam pandangan Islam, menurut Jalaludin, manusia pada hakekatnya merupakan
makhluk ciptaan Allah yang terikat dengan “Blue prient” (cetak biru) dalam
lakon hidupnya, yaitu menyadari akan dirinya sebagai “Abdul Allah” sekaligus
mempunyai tugas sebagai khalifah Allah.
          

















DAFTAR PUSTAKA



Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip
dan Metode pendidikan Islam,
(Bandung:
CV. Diponogoro, 1992).

Ali Isa Othman, Manusia menurut
Al-Ghazali,
(Bandung: Pustaka Bandung, 1985).

Brian Fay, Filsafat Ilmu Sosial
Kontemporer
, Cet. I, (Yogyakarta: Jendela, 2002).

Ismai Raji’ Al-Faruqi, Islam dan
Kebudayaan,
(Bandung: Mizan, 1984).

Jalaludin, Teologi Pendidikan,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001).

Noor Syam, Mohammad, Filsafat
Pendidikan dan Dasar Filasafat Pendidikan Pancasila,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1986).

Ramayulis, Samsul Nizar, Filsafat
pendidikan Islam,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2009).
























[1][1] Noor Syam, Mohammad, Filsafat
Pendidikan dan Dasar Filasafat Pendidikan Pancasila,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1986),
hal. 153.

[2][2] Ismai Raji’ Al-Faruqi, Islam
dan Kebudayaan,
(Bandung: Mizan, 1984), hal. 37.

[3][3] Ramayulis, Samsul Nizar,
Filsafat pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hal. 48.

[4][4] Jalaludin,
Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal 21.

[5][5] Brian Fay, Filsafat
Ilmu Sosial Kontemporer
, Cet. I, (Yogyakarta: Jendela, 2002), hal. 69.

[6][6] Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip
dan Metode pendidikan Islam,
(Bandung:
CV. Diponogoro, 1992), hal. 31.

[7][7] Ali
Isa Othman, Manusia menurut Al-Ghazali, (Bandung: Pustaka Bandung,
1985), hal. 15-16.
Sumber

0 komentar:

Posting Komentar