FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
PANDANGAN ISLAM TERHADAP MANUSIA
PENDAHULUAN
Pandangan Islam
terhadap manusia. Pandangan adalah konsep yang dimiliki seseorang yang
bermaksud menanggapi dan menerangkan segala masalah di dunia. Islam ialah kata
jadian Arab. Asalnya dari kata jadian juga: aslama.
Akar katanya ialah salima, berarti:
sejahtera, tidak tercela, tidak bercacat. Dari kata itu terjadi kata masdar: salamat (dalam bahasa Malaysia/Indonesia
menjadi selamat), seterusnya salm dan
silm. Salm dan silm berarti:
kedamaian, kesejahteraan, kepatuhan penyerahan diri kepada Tuhan. Kata salm dijumpai dalam ucapan assalaamu’alaikum, sejahterahlah atas
kamu. Orang Islam bila bertemu antara sesamanya tidak mengucapkan selamat pagi
atau selamat malam, melainkan mendo’akan salam atau kesejahteraan orang yang
dijumpainya itu. Sejahtera berarti: aman dan makmur, senang dan tentram, terpelihara
dalam bencana, kesusahan, gangguan dan lain-lain. Dengan demikian kata itu
mengandung pengertian keselamatan dan kesenangan, yang jadi naluri asasi
manusia.
Manusia
adalah individu yang terdiri dari sel-sel daging, tulang, saraf, darah dan
lain-lain (materi) yang membentuk jasad. Manusia, dalam pandangan Islam, adalah
makhluk yang memiliki identitas istimewa. Ia bukan malaikat, tetapi juga bukan
setan. Ia dapat terjatuh sehingga berkualitas seperti setan. Ia, dengan
keluhuran rohaniannya, juga dapat mencapai kualitas kemalaikatan. Dalam
spektrumnya yang alami, yang merupakan tarikan antara setan dan malaikat, ia
mengandung sifat antara kebaikan dan kejahatan, yang mungkin saja tidak asing
bagi sifatnya atau tidak berasal dari luar.
Di
antara hal yang memuliakan dan melebihkan manusia adalah bahwa Allah telah memberikan
kepadanya kemampuan untuk belajar dan berpengetahuan, serta membekalinya dengan
segala peralatan kemampuan.
Tugas
paling luhur manusia ialah beribadah kepada Allah. Inti seluruh tanggung jawab
ini adalah tanggung jawab manusia terhadap ibadah kepada Allah dan
pentauhidan-Nya; yakni memurnikan ibadah hanya kepada Allah Semata.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa
pengertian manusia ?
2. Apa
pengertian manusia secara Islam ?
3. Bagaimana
pandangan Islam terhadap manusia ?
PEMBAHASAN
1.
Pandangan
Islam Terhadap Manusia
Manusia
senantiasa keliru dalam memahami dirinya. Kadangkala ia cenderung untuk
bersikap superior, sehingga memandang dirinya sebagai makhluk yang paling besar
dan agung di alam ini. Bahkan superioritas
ini diserukannya dengan penuh keakuan, kecongkakan dan kesombongan.
Kadangkala
pula dia cenderung untuk bersikap imferior, sehingga memandang dirinya sebagai
makhluk yang paling hina dan rendah di dunia ini. Karena itu dia bersujud kepada
pohon, batu, sungai, gunung atau binatang. Menurut keyakinannya, keselamatan
hanya kan diperoleh jika dia bersujud kepada matahari, bulan, bintang, api dan
makhluk-makhluk lain yang dipandangnya memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk
memberikan bahaya atau manfaat kepadanya.
Islam
telah menjelaskan hakikat dan asal diri manusia, keistimwaan dan kelebihannya,
tugasnya di dalam hidup, hubungannya dengan alam, serta kesiapannya untuk
menerima kebaikan dan keburukan.
Hakikat
dan asal diri manusia berpangkal pada dua asal: asal yang jauh, yaitu kejadian
pertama dari tanah, ketika Allah menyempurnakan kejadiannya dan meniupkan ruh
ciptaan-Nya kepadanya; dan asal yang dekat, yaitu kejadian kedua dari nuthfah.
Di
antara hal yang memuliakan dan melebihkan manusia adalah bahwa Allah telah
meberikan kepadanya kemampuan untuk belajar dan berpengetahuan, serta
membekalinya dengan segala peralatan kemampuan ini.
Tugas
paling luhur manusia ialah beribadah kepada Allah. Inti seluruh tanggung jawab
ini adalah tanggung jawab manusia terhadap ibadah kepada Allah dan
pentauhidan-Nya; yakni memurnikan ibadah hanya kepada Allah Semata.
(Abdurrahman an-Nahlawi, 1996:
52-65)
2.
Pandangan
Islam Terhadap Manusia
Manusia
mempunyai kedudukan ganda di alam semesta yang materil ini. Sebagai jasad ia
adalah bagian dari dan berada di dalam alam semesta, tetapi sebagai ruh ia
berada di atas atau di luar alam semesta. Dan karena kedudukannya yang istimewa
inilah manusia dipilih sebagai wakil Tuhan di muka bumi ini.
Peranan
manusia sebagai “klhalifatullah fil ardh” ini dijelaskan oleh Qur’an suci
sebagai berikut:
“Dan
Dia-lah yang telah membuatmu menjadi khalifah di muka bumi dan telah mengangkat
sebagian dari kamu di atas yang lain guna mengujimu dengan sesuatu yang telah
diberikan pada kamu sekalian ”. (Q.S, al-An’am, 6: 165)
Tetapi,
lepas dari kekuasaannya sebagai khalifah, manusia juga mempunyai
kewajiban-kewajiban khusus kekhalifahan. Seperti seorang duta yang wajib mencerminkan
sifat-sifat mulia bangsa, yang mengangkatnya sebagai duta dalam setiap
perbuatannya, maka manusia sebagai wakil Tuhan di muka bum wajib mencerminkan
sifat-sifat mulia di dalam setiap perbuatan dan ciptaannya. Demikian pula
sebagai seperti seorang duta yang harus tetap tunduk hukum-hukum bangsa yang
memberinya kekuasaan sebagai wakil bangsa di samping is harus tunduk pada
hukum-hukum negara tempat ia bertugas, maka manusia pun harus tunduk pada
hukum-hukum spiritual Ilahi di samping harus tunduk pada hukum-hukum alam
materil.
Walaupun
manusia adalah khalifah Tuhan, hal ini tidaklah boleh menimbulkan kesombongan
di hati manusia, karena sebenarnya manusia tetaplah merupakan hamba atau
abdi-Nya sesuai dengan pernyataan Allah SWT dalam ayat suci yang berbunyi:
“Tidaklah
Ku-jadikan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi Aku”. (Q.S.
al-Dzariyat, 51: 56)
(Armahedi Mahzar, 1993: 22-23)
3.
Pandangan
Islam Terhadap Manusia
Keyakinan
tentang manusia itu makhluk yang termulia dari segenap makhluk dan wujud lain
yang ada di alam jagat ini. Allah karuniakan keutamakan yang membedakannya dari
makhluk lain. Allah membekali manusia dengan beberapa ciri tertentu yang akan
terangkan kelak kebahagiannya. Dengan karunia itu manusia berhak mendapat
penghormatan dari makhluk-makhluk lain. Peri manusia di cipta dari segumpal
darah atau dari tanah atau dari mani berubah menjadi segumpal darah. Ayat yang
menjelaskan tentang kejadian manusia umumnya adalah dalam kontek memberi
penghormatan atau supaya diambil i’tibar dari kejadian itu. Antaranya ada yang
melukiskan tentang kekuasaan Allah untuk membangkit atau menghidupkan kembali
insan itu dari kuburnya maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia
ciptakan.
Keutamaan
lebih diberikan kepada manusia dari makhluk lain. Manusia dilantik menjadi
khalifah dibumi untuk memakmurkannya. Untuk itu dibebankan kepada manusia
amanah attaklif. Diberikan pula kebebasan dan tanggung jawab memliki serta
memelihara nilai-nilai keutamaan. Keutamaan yang diberikan bukanlah karena
bangsanya, bukan juga karena warna, kecantikan, perawatan, harta, derjat, jenis
profesi dan kasta sosial atau ekonominya. Tetapi semata-mata karena imam,
takwa, akhlak, ketinggian akal, dan amalnya. Karena manusia sanggup memikul
tanggung jawab terhadap diri dan masyarakat. Karena ia dapat menggunakan
pengetahuan serta kepandaian. Pendek kata manusia diberikan status demikian itu
karena ciri dan sifat utama yang di karuniakan Allah kepadanya. Ciri-ciri itu
tidak diberikan kepada makhluk-makhluk lain. Sebab itu, layaklah manusia diberi
karunia dan keutamaan dari Allah. Memang banyak karunia yang diberikan kepada
manusia karena manusia mempunyai motivasi, kecenderungan dan kebutuhan permulaan
baik yang diwarisi dan diperoleh dalam proses sosialisasi yaitu yang diperoleh
ketika berinteraksi dengan element lingkungan yang bersifat benda, manusia atau
kebudayaan.
(Prof. Dr. Omar Mohammad Al-Toumy
Al-Syaibany, 1979: 101-161)
4.
Pandangan
Islam Terhadap Manusia
Manusia,
dalam pandangan Islam, selalu dikaitkan dengan suatu kisah tersendiri. Dalam
Al-Qur’an, manusia berulang-kali diangkat derajatnya, berulang-kali pula
direndahkan. Mereka dinobatkan jauh mengungguli alam surga, bumi, dan bahkan
para malaikat; tetapi, pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti
dibandingkan dengan setan terkutuk dan binatang jahanam sekalipun. Manusia
dihargai sebagai makhluk yang mampu menaklukan alam, namun bisa juga mereka
merosot menjadi “yang paling rendah dari segala yang rendah”. Oleh karena itu,
makhluk manusia sendirilah yang harus menetapkan sikap dan menentukan nasib
akhir mereka sendiri.
Manusia
adalah khalifah Tuhan di Bumi. Dibandingkan dengan semua makhluk yang lain,
manusia mempunyai kapasitas inteligensia yang paling tinggi. Manusia mempunyai
kecenderungan dekat dengan Tuhan. Dengan kata lain, manusia sadar akan
kehadiran Tuhan jauh di dasar sanubari mereka. Kesimpulannya, manusia adalah
suatu makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifah-Nya di muka bumi, serta sebagai
makhluk yang semi-samawi dan semi-duniawi, yang didalam dirinya ditanamkan
sifat mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya
maupun alam semesta; serta karunia keunggulan atas alam semesta, langit, dan
bumi. Manusia dipusakai dengan kecenderungan ke arah kebaikan maupun kejahatan.
Kemaujudan mereka dimulai dari kelemahan dan ketidakmampuan, yang kemudian
bergerak ke arah kekuatan, tetapi itu tidak akan menghapuskan kegelisahan
mereka, kecuali jika mereka dekat dengan Tuhan dan mengingat-Nya. Kapasitas
mereka tidak terbatas, baik dalam kemampuan belajar maupun dalam menerapkan
ilmu. Mereka memiliki suatu keluhuran dan martabat naluriah. Motivasi dan
pendorong mereka, dalam banyak hal, tidak bersifat kebendaan. Akhirnya, mereka
dapat secara leluasa memanfaatkan rahmat dan karunia yang dilimpahkan kepada
mereka, namun pada saat yang sama, mereka harus menunaikan kewajiban mereka
kepada Tuhan.
(Murtadha Muthahhari, 1992:
117-122)
5.
Pandangan
Islam Terhadap Manusia
Manusia
pemegang mandat “Khilafah”. Doktrin
al-Qur’an menetapkan, bahwa manusialah satu-satunya makhluk yang diberi mandat
oleh Allah untuk mengelola dan mendayagunakan sumber daya dan kekayaan alam.
Mandat yang disebut sebagai “Khalifah
Allah di bumi”. Manusia memperoleh semacam hak konsesi untuk eksplorasi
(penjelajahan untuk mencari sumber kekayaan alam), eksploitasi (pengambilan
kekayaan dan sumbernya) serta pemanfaatan kekayaan tersebut dalam upaya
pemenuhan kebutuhan dan peningkatan kualitas hidupnya sebagai makhluk budaya.
Tetapi disisi lain, manusia bertanggung jawab kepada Allah dalam menggunakan
hak atau mandat tersebut.
“Dan Dialah yang menjadikan kamu
penguasa-penguasa di bumi, dan Dia yang mengangkat beberapa derajat sebagian
diantaramu melebihi yang lain, untuk mengujimu tentang apa yang telah
diberikan-Nya padamu”.
Referensi
al-Qur’an memberi petunjuk kepada manusia agar dapat melaksanakan tugasnya sebagai “Khalifah
Allah di bumi” dengan efektif melakukan beberapa kegiatan eksekutif yang
elementer, seperti penaklukkan sumber daya alam (at-tashkir). Sampai dengan masanya turun al-Qur’an, masih banyak
manusia yang menyembah kekuatan alam, baik dalam bentuk animisme dan fetisisme.
Al-Qur’an memberikan konsep yang radikal untuk mengubah pandangan dan sikap
manusia terhadap alam, yakni alam semesta ini bukan merupakan kekuatan yang
disembah dan dipertuhankan, melainkan perlu dijinakkan dan dikendalikan untuk
kemaslahatan dan kesejahteraan hidup manusia, dan dipakai untuk mengembangkan
tingkat peradaban manusia.
Dengan demikian maka
perintah “meneliti dan observasi” tidak terbats untuk “mengetahui sesuatu”,
tapi dilanjutkan dengan tahap eksplorasi, eksploitasi dan pendayagunaannya
untuk keperluan kesejahteraan dan peradaban/civilisasi umat manusia.
(Muhammad Tholhah Hasan, 2003:
143-149)
6.
Pandangan
Islam Terhadap Manusia
Al-Qur’an
memandang manusia sebagai makhluk moral, yang mampu membedakan antara yang baik
dan yang buruk, serta memiliki kebebasan untuk memilih ke duanya. Tidak ada
petunjuk pasti tentag kebaikan dan keburukan yang melekat pada diri manusia-
al-Qur’an memperingatkan akan adanya manusia yang berdo’a (memohon) bagi
kejahatan (syarr) dan juga memohon bagi kebaikan (khair). Apabila manusia telah
dilengkapi dengan kemampuan untuk menilai baik dan buruk, dan membedakan antara
yang benar dan yang salah, tanpa bantua wahyu Ilahi, maka lembaga kerasulan
jelas akan kehilangan kegunaannya. Dengan ringkas al-Qur’an menyebut kemampuan
manusia untuk menjadi baik atau buruk, sebagaimana dinyatakan-Nya seperti
berikut ini.
“Demi sukma dan penyempurnaannya (Allah)
mengilhami (sukma) kejahatan dan kebaikan. Sungguh, bahagialah siapa yang
menyucikannya, dan rugilah siapa yang mencemarkannya”. (Al-Qur’an: 91:
7-10).
Manusia,
dalam pandangan Islam, adalah makhluk yang memiliki identitas istimewa. Ia
bukan malaikat, tetapi juga bukan setan. Ia dapat terjatuh sehingga berkualitas
seperti setan. Ia, dengan keluhuran rohaniannya, juga dapat mencapai kualitas
kemalaikatan. Dalam spektrumnya yang alami, yang merupakan tarikan antara setan
dan malaikat, ia mengandung sifat antara kebaikan dan kejahatan, yang mungkin
saja tidak asing bagi sifatnya atau tidak berasal dari luar.
Konsep
manusia dalam Islam mengandung sifat “ganda”, yang menyatakan bahwa manusia
terbantuk dari tanah liat dan roh suci dari Tuhan. Cukup dinyatakan bahwa
manusia memiliki potensi untuk berbuat
baik, dan juga untuk berbuat buruk; yang mau menerima tuntunan (Ilahi) tetapi
juga dapat menjadi pembangkang; kemampuan untuk berbuat baik atau jahat. Maka
menurut ajaran Islam, hanyalah manusia yang merupakan makhluk yang dapat
bertanggung jawab. Manusialah yang harus mewujudkan misi Tuhan di dunia dan
sekaligus menjadi kepercayaannya.
(Muhammad A. Al-Buraey, 1985: 102)
7.
Pandangan
Islam Terhadap Manusia
Allah
telah meninggikan atau mengangkat martabat manusia sebagai individu dengan
dilarang-Nya manusia menyembah selain-Nya, seperti berhala dan lain-lain yang
disembah oleh bangsa Arab yang mereka percaya bahwa berhala-berhala itu
berperan sebagai penghubung atau pendekat mereka kepada Allah.
Allah
telah melimpahkan kemuliaan yang sempurna bagi manusia dengan menghilangkan
kekuasaan para pendeta dan tokoh-tokoh agama, sehingga tidak ada lagi perantara
atau pemberi syafa’at antara Allah dengan manusia. Jadi, tidak ada pendeta atau
rahib yang memberi ampun bagi insan yang berdosa.
Al-Qur’an
menggariskan bahwa tidak ada perantara atau pemberi syafa’at antara Allah
dengan manusia. Tidak ada seorang pun selain Allah yang memiliki atau dapat
memberi manfaat dan mudharat. Hanya amal shaleh yang dapat mendekatkan seseorang
kepada Allah. Seseorang mukmin diukur kedudukannya di sisi Allah dengan amal
dan takwanya.
Setelah
al-Qur’an membebaskan manusia dari menyembah berhala dari pengaruh pendeta dan
rahib dengan mnghilangkan wibawa atau kekuasaannya, dan hanya mengakui
kekuasaan akal sehat dan pemikiran yang benar yang dapat mengenal baik dan
buruk, maka adalah logis jika manusia diharuskan bertanggung jawab atas semua
perbuatannya, dan hanya ia sendiri yang memikiul akibat dari amal-perbuatannya.
Manusia
dalam pandangan Islam, merupakan khalifah Allah yang bertugas menjalankan
kehidupan dengan dasar-dasar yang luhur dan cara-cara mencapainya dengan
berlandaskan pada: iman kepada Allah, sumber segala kebaikan, keadilan, amanah
dan kesetiaan, toleransi dan memberi maaf antara sesama manusia dalam hak dan
kewajiban serta menghormati dan memuliakan manusia untuk hidup bahagia dan
sejahtera di atas bumi ini.
(Prof. Dr. M. Yusuf Musa, 1988: 22)
8.
Pandangan
Islam Terhadap Manusia
Manusia
adalah individu yang terdiri dari sel-sel daging, tulang, saraf, darah dan
lain-lain (materi) yang membentuk jasad.
Sejak
semula, salah satu prinsip dalam Islam adalah menjunjung tinggi martabat
manusia, dan menempatkannya dalam status supremasi diantara makhluk Tuhan
lainnya. Referensi konseptual dalam masalah ini cukup meyakinkan, seperti
tertera dalam ayat-ayat al-Qur’an:
“Sungguh
kami muliakan anak keturunan Adam (manusia)”. (Q.S. Al-Isra’:
70)
Masih
banyak lagi dalil al-Qur’an yang memberi acuan tentang manusia. Dalam fiqih
Islam ditetapkan, bahwa masing-masing individu memiliki hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang dilindungi. Hak-hak individu itu bebas dilakukan
selama tidak menimbulkan kerugian atau mengganggu hak-hak orang atau masyarakat
lainnya. Ada sebuah kaidah umum yang berlaku: La dlarara
wala dlirar (tidak merugikan dan tidak dirugikan). Untuk menjaga agar
tidak terjadi salah pemakaian hak-hak tersebut, maka syari’ah Islam menetapkan
tatanan hukum yang mengatur hubungan antar individu, maupun antara individu
dengan kelompoknya, maka lahirlah yang dikenal dengan hukum mu’amalat, hukum
jinayat, dan lain-lain. Apabila hak-hak tersebut diterapkan menurut system
syara’, maka dampaknya akan merusak dan menimbulkan disentegrasi sosial. Maka
larangan-larangan Allah adalah merupakan batas kemerdekaan manusiawi secara
umum. Dengan demikian maka kebebasan dalam menggunakan hak-hak asasi manusia
dalam Islam, dikaitkan dengan tanggung jawab sosial (al-maslahah
al-mursalah). Dasar umum dari prinsip ini adalah bahwa manusia tetap
dalam kemerdekaan individunya selama tidak bertubrukan dengan kemaslahatan
umum, dan peraturan hukum tidak mencampuri urusannya, selama tidak terjadi
benturan atau tubrukan tersebut.
(Muhammad Tholhah Hasan, 2005: 176)
9.
Pandangan
Islam Terhadap Manusia
Manusia
itu seorang persona, tetapi dalam pada itu masih harus dipersonisasikan.
Artinya harus berevolusi untuk mencapai kepersonaannya. Kepersonaannya masih
harus diisi, dilaksanakan dan disempurnakan. Martabat sebagai persona atau
pribadi itu masih harus diperkembangkan, sehingga menjadi kenyataan yang
sepenuh-penuhnya
Salah satu sifat
dasar manusia lainnya ialah: hasrat untuk berkomunikasi; yaitu untuk
berhubungan, berdialog dan bersatu dengan pribadi lain. Karena itu disebut
sebagai makhluk sosial. Termasuk pula
keinginan menjalin komunikasi dengan Pribadi Yang Maha Sempurna (Tuhan). Sebab
dalam usahanya mengembangkan dan mengaitkan pribadinya, orang menyadari
kelemahan, keterbatasan dan ketidaksempurnaannya. Dia belajar mengenali diri
sendiri sebagai makhluk yang serba kurang dan tidak lengkap. Karena kesadaran
inilah timbul hasrat untuk menyerahkan diri kepada belas-kasih Ilahi, atau
kepada “Toi Absolu” (dikau yang maha absolut). Jadi, dia belajar
langsung pada Tuhan.
Maka kemanunggalan
diri manusia dengan Gusti Allah (manunggaling kawula Gusti) itu menjadi tujuan
final dari eksistensi manusia yangotentik, dan menjadi tujuan
dari pendidikan religious. Dalam piwulang (ajaran) Jawa, bersatunya
manusia dengan Hakekat Kosmos/Tuhan itu dilambangkan dengan “wiji ana
sajroning uwit, uwit ana sajroning wiji” (benih ada dalam pohon, pohon ada
dalam benih). Jadi ada kelululah diri/benih sebagai “kawula” atau hamba dengan
Dzat Yang Maha Sempurna. Maka keyakinan akan kasih Tuhan itu memberikan
kekuatan dan stabilitas pada manusia; juga melimpahkan energi dan daya tahan
terhadap segala mala dan duka derita; selanjutnya menjamin rasa aman bahagia.
Untuk bisa sampai pada tingkat sedemikian, tidak habis-habisnya manusia mendidik
diri/mesu diri, dalam pengertian “ngulah raga, nyipta karsa,
sarta ngrogoh suksma (melatih bada, mecipta karsa/kemauan, dan mengulik
sukma).
(Dr. Kartini Kartono, 1992: 80-81)
10.
Pandangan
Islam Terhadap Manusia
Manusia
adalah makhluk terhormat pembawa amanah. Tuhan sudah mengambil keputusan mengangkat
manusia sebagai makhluk terhormat melebihi makhluk-makhluk lainnya, berarti
Allah telah menjadikan Bani Adam sebagai makhluk yang berbudaya. Dan manusia
sendiri secara riskan siap memikul amanah (tugas-tugas), dimana langit, bumi
dan gunungpun terasa berat memikulnya. Manusia telah dibekali perangkat yang
memungkinkan untuk memikulnya, dan perangkat potensi yang tidak dimiliki
makhluk lain, antara lain potensi berfikir kreatif yang mampu bernalar secara kully dan juz’iy, suatu kemampuan
yang tidak dapat ditandingi oleh malaikatpun, karena para malaikat hanya mampu
berfikir secara kully saja.
Manusia
memiliki keistimewaan perangkat potensi, sehingga dia menjadi “makhluk
terhormat” itu, terutama yang berwujud: An-Nafs (jiwa atau
pribadi), Al-Qalb (hati nurani), Ar-Ruh (ruh atau nyawa),
dan Al-Aql (pikiran atau nalar).
Islam memerintahkan
kepada manusia agar selalu memperhatikan pengembangan yang menyangkut
eksistensi manusia secara harmonis dan serasi.
Dalam usaha
menyiapkan dirinya dan mengembangkan potensinya agar sampai pada kedudukan
sebagai “pembawa amanah” yang berhasil, tidak dapat bekerja sendiri tanpa
memanfaatkan bimbingan Tuhan, mencari hidayah-Nya, menggapai rahmat-Nya,
memegang teguh fitrah yang diberikannya, baik “fitrah
mukhallaqoh” (fitrah yang dibekalkan manusia sejak diciptakan) maupun “firah
munazzalah” (doktrin kehidupan yang diberikan oleh Allah sebagai acuan
bagi manusia dalam menyusuri perjalanan hidupnya yang peuh tantangan). Didalam
konteks inilah al-Qur’an dengan tegas menyatakan, bahwa peranan Tuhan merupakan
sesuatu yang mutlak harus disadari dan diperhatikan oleh manusia. Jika
kesadaran kepada Allah, keimanan dan ketaqwaan kepada-Nya memberikan arti dan
tujuan kepada kehidupan, maka ketidak-adaan Tuhan dalam kesadaran manusia akan
membuat kehidupan manusia tidak mempunyai arti dan tujuan.
(Muhammad Tholhah Hasan, 2005: 79)
KESIMPULAN
Manusia
adalah khalifah Tuhan di bumi. Oleh karena itu, manusia dikaruniai pembawaan
yang mulia dan martabat. Tuhan, pada kenyataannya, telah menganugerahi manusia
dengan keunggulan atas makhluk-makhluk lain. Manusia akan menghargai dirinya
sendiri hanya jika mereka mampu merasakan kemuliaan dan martabat tersebut,
serta mau melepaskan diri mereka dari kepicikan segala jenis kerendahan budi, penghambaan,
dan hawa nafsu.
Al-Qur’an
dan as-Sunnah selalu meminta agar manusia mengisi hidupnya dengan bekerja untuk
mempertahankan kehidupanya, yaitu dengan memanfaatkan apa yang telah Allah
ciptakan baginya di muka bumi ini. Dari pandangan Islam, hanya pekerjaan yang
baik serta amal saleh sajalah yang mendapatkan pahala. Sedangkan tindakan yang
buruk, jahat, harus dihindari oleh setiap pribadi muslim. Al-Qur’an penuh
dengan ayat-ayat yang berisi pujian Allah terhadap pekerjaan yang “baik” (amal
saleh), dan tersedianya ganjaran baik di dunia ataupun di akhirat bagi mereka
yang bekerja dengan dilandasi iman.
Manusia
adalah makhluk cerdas yang dapat memanfaatkan bakat serta kecerdasannya untuk
mengembangkan kehidupannya di atas muka bumi, dan membuatnya lebih sejahtera.
Islam mendorong (pemeluknya untuk melakukan) inovasi di dalam segala lapangan
teknologi. Tetapi Islam juga melarang inovasi yang dilakukan dalam masalah
agama dan kerohanian.
Tuhan
menciptakan manusia agar mereka menyembah-Nya; dan tunduk patuh kepada-Nya.
Walaupun manusia adalah khalifah Tuhan, hal ini tidak boleh menimbulkan
kesombongan di hati manusia, karena sebenarnya tugas manusia yang terpenting
adalah mengabdi kepada-Nya dan menjadi wakil-Nya yang baik di muka bumi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syaibany, Omar Mohammad al-Toumy,
1979, Falsafah Pendidikan Islam,
Penerjemah Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Buraey, Muhammad, A., 1985, Islam Landasan Alternatif Administrasi
Pembangunan, Jakarta: CV Rajawali.
An-Nahlawi, Abdurrahman, 1996, Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam
Dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat, Bandung: CV Diponegoro.
Hasan, Muhammad Tholhah, 2003, Prospek Islam Dalam Menghadapi Tantangan
Zaman, Jakarta: Penerbit Lantabora Press.
Hasan, Muhammad Tholhah, 2005, Islam Dalam Perspektif Sosio Kultural,
Jakarta: Penerbit Lantabora Press.
Hasan, Muhammad Tholhah, 2005, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia,
Jakarta: Penerbit Lantabora Press.
Kartono, Kartini, 1992, Pengantar Ilmu Pendidik Teoritis,
Bandung: Penerbit CV Mandar Maju.
Mahzar, Armahedi, 1993, Islam Masa Depan, Bandung: Penerbit
Pustaka.
Musa, Yusuf, 1988, Al-Qur’an dan Filsafat, Jakarta: PT Bulan Bintang.
Muthahhari, Murtadha, 1992, Perspektif Al-Qur’an Tentang Manusia dan
Agama, Bandung: Penerbit Mizan.
Sumber
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar