NIKAH SIRI
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Tugas
Mata Kuliah Fiqh 2
Dosen Pengampu : Nurul Afifah, M.Pd.I
Disusun Oleh :
Fandi Israwan 1290155
Novi Atika Sari 1290475
Program Studi :
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI)
KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
2013
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah yang maha pengasih. Segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang dengan rido-Nya kita dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar. Sholawat serta salam tetap kami haturkan kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW yang dengan rido-Nya dan bimbingannya makalah ini dapat terselesaikan dengan lancar.
Sebagai mahasiswa kami mengharapkan bimbingan dan bantuan, saran serta dukungan dari bapak dan ibu dosen serta pihak lain agar makalah ini bisa berhasil dan berguna bagi kita semua.
Tidak ada gading yang tak retak, demikian pula makalah ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun tetap kami nantikan dan kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Metro, Oktober 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………………………. i
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………….. ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………….. iii
BAB I PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah…………………………………………………………………… 1
- Rumusan Masalah……………………………………………………………………………. 2
- Tujuan Penulisan……………………………………………………………………………… 2
BAB II LANDASAN TEORI
- Fenomena Nikah Siri di Indonesia…………………………………………………….. 3
- Definisi Nikah Siri…………………………………………………………………………… 5
- Tata Cara Pernikahan Siri…………………………………………………………………. 5
- Hukum Pernikahan Siri…………………………………………………………………….. 7
- Pengesahan Pernikahan Siri………………………………………………………………. 16
BAB III PENUTUP
- Kesimpulan…………………………………………………………………………………….. 19
- Pendapat Kelompok………………………………………………………………………… 20
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Manusia pada hakekatnya merupakan Makhluk Ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang diberi kelebihan berupa akal dan fikiran. Sudah menjadi kodrat alam, sejak dilahirkan manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya di dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama di sini, untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari baik jasmani maupun rohani. Pada umumnya seorang pria maupun seorang wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama. Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita mempunyai akibat yang sangat penting dalam masyarakat, baik terhadap kedua belah pihak maupun keturunannya serta anggota masyarakat yang lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan yang mengatur tentang hidup bersama antara lain syarat-syarat untuk peresmian hidup bersama, pelaksanaannya, kelanjutannya dan berakhirnya perkawinan itu.[1]
Perkawinan merupakan suatu kejadian yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Bagi Bangsa Indonesia yang memiliki alam pikiran magis (percaya pada hal-hal gaib), ritual perkawinan tidak hanya dipandang sebagai peristiwa sakral. Setelah selesai ritual sakral, timbullah ikatan perkawinan antara suami isteri. Seorang pria dan wanita yang dulunya merupakan pribadi yang bebas tanpa ikatan hukum, namun setelah perkawinan menjadi terikat lahir dan batin sebagai suami isteri. Ikatan yang ada di antara mereka merupakan ikatan lahiriah, rohaniah, spiritual dan kemanusiaan. Ikatan perkawinan ini, menimbulkan akibat hukum terhadap diri masing-masing suami isteri yang berupa hak dan kewajiban.
Pada prinsipnya perkawinan adalah suatu akad, untuk menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara pria dengan wanita yang antara keduanya bukan muhrim. Apabila di tinjau dari segi hukum, jelas bahwa pernikahan adalah suatu akad yang suci dan luhur antara pria dengan wanita, yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami isteri dan dihalalkan hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, mawadah serta saling menyantuni antara keduanya. Suatu akad perkawinan menurut Hukum Islam ada yang sah ada yang tidak sah. Hal ini dikarenakan, akad yang sah adalah akad yang dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap, sesuai dengan ketentuan agama. Sebaliknya akad yang tidak sah, adalah akad yang dilaksanakan tidak sesuai dengan syarat-syarat serta rukun-rukun perkawinan. Akan tetapi pada kenyataan ada perkawinan-perkawinan yang dilakukan hanya dengan Hukum Agamanya saja. Perkawinan ini sering disebut Perkawinan Siri, yaitu perkawinan yang tidak terdapat bukti otentik, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum.
B. RUMUSAN MASALAH
- Bagaimana fenomena nikah siri yang terjadi di Indonesia?
- Apa pengertian/definisi dari nikah siri?
- Bagaimana tata cara pernikahan siri?
- Bagaimana kekuatan hukum pernikahan siri ditinjau dari hukum Islam dan hukum yang berlaku di Indonesia?
- Bagaimana cara melegalkan pernikahan siri?
C. TUJUAN PENULISAN
Dalam penulisan makalah yang berjudul “Nikah Siri”, memiliki tujuan sebagai berikut :
- Untuk mengetahui fenomena nikah siri yang terjadi di Indonesia.
- Untuk mengetahui definisi dari nikah siri.
- Untuk mengetahui tata cara pernikahan siri.
- Untuk mengetahui kekuatan hukum pernikahan siri dari perspektif hukum Islam dan hukum Indonesia.
- Untuk mengetahui prosedur pengesahan pernikahan siri.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. FENOMENA PERNIKAHAN SIRI DI INDONESIA
Akhir-akhir ini, fenomena nikah siri memberikan kesan yang menarik. Pertama, nikah siri sepertinya memang benar-benar telah menjadi trend yang tidak saja dipraktekkan oleh masyarakat umum, namun juga dipraktekkan oleh figur masyarakat yang selama ini sering disebut dengan istilah kyai, dai, ustad, ulama, atau istilah lainnya yang menandai kemampuan seseorang mendalami agama (Islam). Kedua, nikah siri sering ditempatkan menjadi sebuah pilihan ketika seseorang hendak berpoligami dengan sejumlah alasannya tersendiri.
Mengapa nikah siri menjadi trend di Indonesia? Padahal jelas pihak wanita yang paling dirugikan, kalau calon suami hanya berniat melampiaskan hasrat dengan halal. Sayangnya masih banyak wanita yang mau diperlakukan semena-mena. Mungkin faktor ekonomi atau ingin hidup senang tanpa harus kerja keras. Apalagi kalau yang mengajak nikah seorang pejabat atau orang terkenal, banyak wanita manggut-manggut saja. Mereka baru menyesal setelah dicampakkan lalu berteriak cari perhatian dimedia. Sebaliknya tak dapat dipungkiri bahwa banyak juga wanita muslim Indonesia nikah siri dengan orang asing, lalu menikah resmi dan pernikahan mereka hanya terdaftar di negara suaminya. Mereka hidup rukun dan damai hingga beranak cucu.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan salah satu wujud aturan tata tertib pernikahan yang dimiliki oleh negara Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, di samping aturan-aturan tata tertib pernikahan yang lain yaitu Hukum Adat dan Hukum Agama. Agar terjaminnya ketertiban pranata pernikahan dalam masyarakat, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menentukan bahwa setiap perkawinan harus dicatat oleh petugas yang berwenang. Namun kenyataan memperlihatkan fenomena yang berbeda. Hal ini tampak dari maraknya pernikahan siri atau pernikahan di bawah tangan yang terjadi di tengah masyarakat.
Negara Republik Indonesia, sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan dianggap mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang sangat penting. Keharusan pencatatan perkawinan walaupun bukan menjadi rukun nikah, akan tetapi merupakan hal yang sangat penting terutama sebagai alat bukti yang dimiliki seseorang, apabila terjadi suatu permasalahan di kemudian hari.[2]
Berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Perkawinan adalah sah apabila sah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing, serta perkawinan tersebut harus dicatatkan. Namun dalam kompilasi hukum islam perkawinan adalah sah apabila sah menurut agama islam, kemudian syarat pencatatan yang ada agar menjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam. Berdasarkan kedua aturan tersebut dapat diketahui bahwa suatu perkawinan itu tetap harus dicatatkan demi terciptanya suatu ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Meskipun suatu perkawinan itu sudah disebut sah apabila sudah sah secara agama apabila tidak dicatatkan dapat dikatakan perkawinan tersebut adalah perkawinan secara siri.
Penyebab yang menimbulkan masyarakat melakukan pernikahan siri sebenarnya kembali kepada pribadinya masing-masing. Namun yang terjadi belakangan ini hal-hal yang menyebabkan timbulnya nikah dilihat dari faktor sosial dikarenakan adanya kesulitan pencatatan pernikahan yang kedua kalinya, batasan usia yang layak nikah berdasarkan peraturan perundang-undangan, tempat tinggal yang berpindah-pindah membuat orang kesulitan untuk mengurus administrasi dan prosedur pencatatan pernikahan. Kemudian adafaktor ekonomi dimana masyarakat yang kurang mampu biasanya akan kesulitan untuk membayar biaya-biaya untuk mencatatkan pernikahannya sehingga lebih memilih nikah siri. Selanjutnya ada jugafaktor agama dimana nikah siri dilakukan untuk menghalalkan suatu hubungan agar dijauhkan dari zinah dan dosa.
B. DEFINISI NIKAH SIRI
Secara harfiah “sirri” itu artinya “rahasia”. Jadi, nikah sirri adalah pernikahan yang dirahasiakan dari pengetahuan orang banyak. Secara umum Nikah Siri adalah sebuah perbuatan dalam melakukan pernihakan sesuai aturan agama dalam hal ini Ajaran Islam namun karena berbagai hal yang menghalanginya menjadikan tidak terjadinya pencatatan secara sah atau legal oleh aparat yang berwenang dalam hal ini Pemerintah yang diwakili Departemen Agama. Nikah siri dalam konteks masyarakat sering dimaksudkan dalam beberapa pengertian.
Pertama, nikah yang dilaksanakan dengan sembunyi-sembunyi, tanpa mengundang orang luar selain dari kedua keluarga mempelai. Kemudian tidak mendaftarkan perkawinannya kepada Kantor Urusan Agama (KUA) sehingga nikah mereka tidak mempunyai legalitas formal dalam hukum positif di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam undang-undang perkawinan. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan, ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu, dan lain sebagainya.
Kedua, nikah yang dilakukan sembunyi-sembunyi oleh sepasang laki-perempuan tanpa diketahui oleh kedua pihak keluarganya sekalipun. Bahkan benar-benar dirahasiakan sampai tidak diketahui siapa yang menjadi wali dan saksinya.
Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri, atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
C. TATA CARA PERNIKAHAN SIRI
Kehidupan bersuami istri yang dibangun melalui lembaga perkawinan, sesungguhnya bukanlah semanta-mata dalam rangka penyaluran hasrat biologis. Maksud dan tujuan nikah jauh lebih luas dibandingkan sekedar hubungan seksual. Bahkan apibila dipandang dari aspek religius, pada hakekatnya nikah adalah salah satu bentuk pengabdian kepada Allah. Karena itu, nikah yang sarat nilai dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinahmawaddah wa rahmah, perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu agar tujuan disyariatkannya nikah tercapai. Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan.[3]
Sahnya suatu nikah dalam Islam adalah dengan terlaksananya akad nikah yang memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Untuk sahnya perkawinan, para ulama telah merumuskan sekian banyak rukun dan syarat, yang mereka pahami dari ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis Nabi SAW. Adanya calon suami isteri, wali, dua orang saksi, mahar serta terlaksananya ijab kabul merupakan rukun atau syarat sahnya suatu pernikahan. Tata cara menikah siri tidak jauh beda dengan menikah secara resmi di KUA, dimana dalam pernikahan itu harus dipenuhi syarat dan rukunnya.
- Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
- Adanya ijab qabul.
Ijab artinya mengemukakan atau menyatakan suatu perkataan. Qabul artinya menerima. Jadi Ijab qabul itu artinya seseorang menyatakan sesuatu kepada lawan bicaranya, kemudian lawan bicaranya menyatakan menerima. Dalam perkawinan yang dimaksud dengan “ijab qabul” adalah seorang wali atau wakil dari mempelai perempuan mengemukakan kepada calon suami anak perempuannya/ perempuan yang di bawah perwaliannya, untuk menikahkannya dengan lelaki yang mengambil perempuan tersebut sebagai isterinya. Lalu lelaki bersangkutan menyatakan menerima pernikahannya itu.
3. Adanya Mahar (mas kawin)
Islam memuliakan wanita dengan mewajibkan laki-laki yang hendak menikahinya menyerahkan mahar (mas kawin). Islam tidak menetapkan batasan nilai tertentu dalam mas kawin ini, tetapi atas kesepakatan kedua belah pihak dan menurut kadar kemampuan. Islam juga lebihmenyukai mas kawin yang mudah dan sederhana serta tidak berlebih-lebihan dalam memintanya. Dari Uqbah bin Amir, bersabda Rasulullah SAW : “Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan” (HR.Al-Hakim dan Ibnu Majah, shahih, lihat Shahih Al-Jamius Shaghir 3279 oleh Al-Albani)
4. Adanya Wali
Dari Abu Musa ra, Nabi SAW bersabda: “Tidaklah sah suatu pernikahan tanpa wali.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud). Wali yang mendapat prioritas pertama di antara sekalian wali-wali yang ada adalah ayah dari pengantin wanita. Kalau tidak ada barulah kakeknya (ayahnya ayah), kemudian saudara lelaki seayah seibu atau seayah, kemudian anak saudara lelaki. Sesudah itu barulah kerabat-kerabat terdekat yang lainnya atau hakim.
5. Adanya Saksi-Saksi
Rasulullah SAW bersabda: “Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Al-Baihaqi dari Imran dan dari Aisyah, shahih, lihat Shahih Al-Jamius Shaghir oleh Syaikh Al-Albani no. 7557). Menurut sunnah Rasulullah SAW, sebelum aqad nikah diadakan khuthbah lebih dahulu yang dinamakan khuthbatun nikah atau khuthbatul-hajat.
D. HUKUM PERNIKAHAN SIRI
- Nikah Siri Menurut Islam
Hukum nikah sirih secara agama adalah sah atau legal dan dihalalkan atau diperbolehkan jika syarat dan rukun nikahnya terpenuhi pada saat nikah sirih digelar. Pada prinsipnya, selama nikah siri itu memenuhi rukun dan syarat nikah yang disepakati ulama, maka dapat dipastikan hukum nikah itu pada dasarnya sudah sah. Hanya saja bertentangan dengan perintah Nabi saw, yang menganjurkan agar nikah itu terbuka dan diumumkan kepada orang lain agar tidak menjadi fitnah. Sesuai hadis Nabi saw :
وروى أحمد وغيره عن ابن حاطب: (فصل مابين الحلال والحرام الضرب بالدف(
Artinya :
“Yang membedakan antara acara pernikahan yang halal dan yang haram, adalah adanya tabuhan rebana.”
Secara mendasar, tidak dilihat dari tabuhan rebananya, melainkan yang menjadi hal mendasar adalah upaya untuk menyebarluaskan berita tentang acara pernikahan yang diselenggarakan.
Istilah nikah siri atau nikah yang dirahasiakan memang sudah dikenal di kalangan ulama. Hanya saja nikah siri di kenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah siri dapat saat ini. Dahulu yang dimaksud dengan nikah siri yaitu nikah yang sesuai dengan rukun-rukun nikah dan syaratnya menurut syari’at, hanya saja saksi diminta tidak memberitahukan terjadinya nikah tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada walimah al-‘Ursy. Berikut ini adalah pendapat para ulama Islam tentang nikah siri.
- Menurut pandangna mahzab Hanafi dan Hambali suatu penikahan yang sarat dan rukunya mka sah menurut agama islam walaupun pernikah itu adalah pernikahn siri. Hal itu sesuai dengan dalil yang berbunyi, artinya: “Takutlah kamu terhadap wanita, kamu ambil mereka (dari orang tuanya ) dengan amanah allah dan kamu halalkan percampuran kelamin dengan mereka dengan kalimat Allah (ijab qabul)” (HR Muslim).
- Menurut terminologi fikih Maliki, nikah siri ialah :
هو الذي يو صي فيه الزوج الشهود مكتمه عن امراته, او عن جما عة ولو اهل منزل.
Artinya :
“Nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk istrinya atau jamaahnya, sekalipun keluarga setempat.
Mazhab Maliki tidak membolehkan nikah siri. Perkawinannya dapat dibatalkan, dan kedua pelakunya dapat dilakukan hukuman had (dera rajam), jika telah terjadi hubungan seksual antara keduanya dan diakuinya atau dengan kesaksian empat orang saksi.[4]
- Sedangkan menurut kiayi Husein Muhamad seorang komisioner komnas prempuan menyatakan pernikahan pria dewasa dengan wanita secara siri merupakan pernikahan terlarang karena pernikahn tersebut dapat merugikan si perempauan, sedangkan islam jusru melindungi perempuan bukan malah merugikannya. Menurut kalangan Ulama Syiah memang membolehkan cara pernikahan seperti itu. Yaitu nikah siri, sebih baik ketimbang berzinah yang sangat dilaknat oleh Allah SWT. Kalangan Ulama Suni di Indonesia yang berpendapat bahwa Nikah siri adalah Halal berdasarkan nash Al Qur’an (Anisa:3), dan bahkan tidak sedikit diantaranya yang melakukannya, bukan semata-mata karena kebutuhan seksual, tetapi guna menunjukan ke-halalan Nikah sirih itu sendiri.
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa ayat 3).
- Ulama terkemuka yang membolehkan nikah dengan cara siri adalah Dr. Yusuf Qardawi salah seorang pakar muslim kontemporer terkemuka di Islam. Ia berpendapat bahwa nikah siri itu sah selama ada ijab kabul dan saksi.
- Dadang Hawari, mengharamkan nikah siri, sedangkan KH. Tochri Tohir berpendapat lain. Ia menilai nikah siri sah dan halal, karena islam tidak pernah mewajibkan sebuah nikah harus dicatatkan secara negara. Menurut Tohir, nikah siri harus dilihat dari sisi positifnya, yaitu upaya untuk menghindari Zina. Namun ia juga setuju dengan pernyataan Dadang Hawari bahwa saat ini memang ada upaya penyalahgunaan nikah siri hanya demi memuaskan hawa nafsu. Menurutnya, nikah siri semacam itu, tetap sah secara agama, namun perkawinannya menjadi tidak berkah.
- Menurut Prof. Wasit Aulawi seorang pakar hukum Islam Indonesia, mantan Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama yang juga mantan Dekan Fakultas Syariah UIN Jakarta, menyatakan bahwa ajaran Islam, nikah tidak hanya merupakan hubungan perdata, tetapi lebih dari itu nikah harus dilihat dari berbagai aspek. Paling tidak menurutnya ada tiga aspek yang mendasari perkawinan, yaitu: agama, hukum dan sosial, nikah yang disyariatkan Islam mengandung ketiga aspek tersebut, sebab jika melihat dari satu aspek saja maka pincang.[5]
- Quraish Shihab mengemukakan bahwa betapa pentingnya pencatatan nikah yang ditetapkan melalui undang-undang di sisi lain nikah yang tidak tercatat-selama ada dua orang saksi-tetap dinilai sah oleh hukum agama, walaupun nikah tersebut dinilai sah, namun nikah dibawah tangan dapat mengakibatkan dosa bagi pelakunya, karena melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Al-Qur’an memerintahkan setiap muslim untuk taat pada ulul amri selama tidak bertentangan dengan hukum Allah.[6]Sesuai firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa ayat 59 :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’i (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’i. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’i. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’i. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
Pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’i bukan hanya dokumen tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka, walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah SWT QS. Al-Baqarah ayat 282 :
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda :
حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing.” (HR. Imam Bukhari dan Muslim)
- Nikah Siri Menurut Hukum di Indonesia
Undang-Undang (UU RI) tentang Perkawinan No. 1 tahun 1974 diundang-undangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan). Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi: “(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dari Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 UU Perkawinan, tentang pencatatan perkawinan . Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam pencatatan dilakukan di KUA untuk memperoleh Akta Nikah sebagai bukti dari adanya perkawinan tersebut. (pasal 7 ayat 1 KHI “Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”). Sedangkan bagi mereka yang beragama non muslim pencatatan dilakukan di kantor Catatan Sipil, untuk memperoleh Akta Perkawinan.
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam, cukup menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9 tahun 1975. Tata cara pencatatan perkawinan dilaksanakan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 PP No. 9 tahun 1975 ini, antara lain setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan secara lisan atau tertulis rencana perkawinannya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, selambat-lambatnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Kemudian pegawai pencatat meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut UU. Lalu setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tidak ditemukan suatu halangan untuk perkawinan, pegawai pencatat mengumumkan dan menandatangani pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempel surat pengumuman pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.
Di dalam rancangan undang-undang menjelaskan, Pasal 143 RUU yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam ini menggariskan, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp12 juta. Selain kawin siri, draf RUU juga menyinggung kawin mutah atau kawin kontrak. Dan Pasal 144 menyebut, setiap orang yang melakukan perkawinan mutah dihukum penjara selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum. RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp500 juta.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa tentang nikah di bawah tangan atau nikah siri dengan 2 (dua) ketentuan hukum, yakni. (1) Pernikahan di Bawah Tangan hukumnya sah karena telah terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat dampak negatif (madharrah). (2) Pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak hal-hal yang bersifat madharrah.[7]
E. PENGESAHAN PERNIKAHAN SIRI
- Mencatatkan Perkawinan Dengan Istbat Nikah
Esensinya adalah pernikahan yang semula tidak dicatatkan menjadi tercatat dan disahkan oleh negara serta memiliki kekuatan hukum. Dasar dari istbat nikah adalah Kompilasi Hukum Islam pasal 7 yaitu :
- Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
- Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
- Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
1) Dalam rangka penyelesaian perceraian. Dalam kasus ini biasanya menggunakan gugatan komulatif, yaitu pemohon meminta atau memohon disahkan dahulu perkawinannya, setelah itu mohon diceraikan;
2) Hilangnya akta nikah;
3) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
4) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang- Undang No. 1 Tahun 1974; dan
5) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974tentang perkawinan yaitu pihak laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun sedangkan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun.
d. Yang berhak mengajukan permohonan istbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Permohonan itsbat nikah harus bersifat voluntair tidak ada unsur sengketa, dikatakan demikian karena hasil dari permohonan bersifatdeclaratoir (menyatakan) atau constitutoire (menciptakan) bukan bersifat menghukum. Dalam persidangannya Hakim Pengadilan Agama akan memeriksa, dan menyatakan sah atau tidaknya perkawinan tidak tercatat tersebut, dalam bentuk penetapan itsbat nikah. Penetapan itsbat nikah inilah yang akan dijadikan landasan hukum bagi Kantor Urusan Agama, untuk mengeluarkan Akta Nikah dengan mencantumkan tanggal perkawinan terdahulu. Namun apabila ternyata hakim menyatakan bahwa perkawinan terdahulu tidak sah, maka Kantor Urusan Agama akan menikahkan kembali pasangan suami istri tersebut.
Apabila dalam perkawinan telah dilahirkan anak-anak dan jika telah memiliki akta nikah, harus segera mengurus akta kelahiran anak-anak ke Kantor Catatan Sipil setempat agar status anak pun sah di mata hukum. Jika pengurusan akta kelahiran anak ini telah lewat 14 (empat belas) hari dari yang telah ditentukan, terlebih dahulu harus mengajukan permohonan pencatatan kelahiran anak kepada Pengadilan Negeri setempat. Dengan demikian, status anak dalam akta kelahirannya bukan lagi anak luar kawin.
- Melakukan Perkawinan Ulang
Perkawinan ulang dilakukan layaknya perkawinan menurut agama Islam. Namun, perkawinan harus disertai dengan pencatatan perkawinan oleh pejabat yang berwenang dalam pencatat perkawinan (KUA). Perkawinannya harus dicatatkan di muka pejabat yang berwenang, dalam hal ini di Kantor Catatan Sipil.
Pencatatan perkawinan ini penting agar ada kejelasan status bagi perkawinan. Namun, status anak-anak yang lahir dalam perkawinan siri akan tetap dianggap sebagai anak di luar kawin, karena perkawinan ulang tidak berlaku surut terhadap status anak yang dilahirkan sebelum perkawinan ulang dilangsungkan. Oleh karenanya, dalam akta kelahiran, anak yang lahir sebelum perkawinan ulang tetap sebagai anak luar kawin, sebaliknya anak yang lahir setelah perkawinan ulang statusnya sebagai anak sah yang lahir dalam perkawinan.
Adapun cara yang dapat ditempuh jika dalam perkawinan siri tersebut telah lahir anak-anak, maka dapat diikuti dengan pengakuan anak, yakni pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya, pengakuan anak dapat dilakukan baik oleh ibu maupun bapak. Namun, berdasarkan Pasal 43 Undang undang No. 1 Tahun 1974 yang pada intinya menyatakan, bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata yang baru, seorang ayah dapat melakukan pengakuan Anak. Namun bagaimanapun, pengakuan anak hanya dapat dilakukan dengan persetujuan ibu, sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUH Perdata.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan materi tentang “Nikah Siri” pada bab diatas dapat disimpulkan :
- Akhir-akhir ini, fenomena nikah siri memberikan kesan yang menarik. Pertama, nikah siri sepertinya memang benar-benar telah menjadi trend yang tidak saja dipraktekkan oleh masyarakat umum, Kedua, nikah siri sering ditempatkan menjadi sebuah pilihan ketika seseorang hendak berpoligami dengan sejumlah alasannya tersendiri. Penyebab yang menimbulkan masyarakat melakukan pernikahan siri sebenarnya kembali kepada pribadinya masing-masing. Namun yang terjadi belakangan ini hal-hal yang menyebabkan timbulnya nikah dilihat dari faktor sosialdikarenakan adanya kesulitan pencatatan pernikahan yang kedua kalinya, batasan usia yang layak nikah berdasarkan peraturan perundang-undangan, tempat tinggal yang berpindah-pindah membuat orang kesulitan untuk mengurus administrasi dan prosedur pencatatan pernikahan. Kemudian ada faktor ekonomidimana masyarakat yang kurang mampu biasanya akan kesulitan untuk membayar biaya-biaya untuk mencatatkan pernikahannya sehingga lebih memilih nikah siri. Selanjutnya ada juga faktor agama dimana nikah siri dilakukan untuk menghalalkan suatu hubungan agar dijauhkan dari zinah dan dosa.
- Secara umum Nikah Siri adalah sebuah perbuatan dalam melakukan pernihakan sesuai aturan agama dalam hal ini Ajaran Islam namun karena berbagai hal yang menghalanginya menjadikan tidak terjadinya pencatatan secara sah atau legal oleh aparat yang berwenang dalam hal ini Pemerintah yang diwakili Departemen Agama.
- Tata cara menikah siri tidak jauh beda dengan menikah secara resmi di KUA, dimana dalam pernikahan itu harus dipenuhi syarat dan rukunnya. Yakni adanya kedua calon mempelai, ijab qabul, wali, dua orang saksi, dan mahar.
- Menurut hukum Islam, perkawinan di bawah tangan atau siri adalah sah, asalkan telah terpenuhi syarat dan rukun perkawinannya. Namun dari aspek peraturan perundangan perkawinan model ini belum lengkap dikarenakan belum dicatatkan. Pencatatan perkawinan hanya merupakan perbuatan administratif yang tidak terpengaruh pada sah tidaknya perkawinan.[8]
- Hukum Indonesia melalui UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menerangkan, (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan Pasal 143 RUU menggariskan, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp12 juta.
- Pernikahan dibawah tangan atau siri dapat disahkan dengan 2 (dua) cara yakni mengajukan istbat nikah atau dengan melakukan pernikahan ulang.
B. PENDAPAT KELOMPOK
Berdasarkan landasan teori yang telah kami paparkan, kami berpendapat bahwa pernikahan siri adalah sah jika syarat dan rukunnya terpenuhi, namun kita sebagai warga negara yang baik haruslah taat terhadap hukum dalam hal ini undang-undang perkawinan yang telah pemerintah tetapkan. Sesuai hadis Nabi SAW :
عَلَيْكُمْ بِا لسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ وُلّيَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيُّ
Artinya :
“Diwajibkan atas kalian untuk mendengarkan dan taat (kepada pemimpin) sekalipun kalian dipimpin oleh seorang budak dari habasiyah.”
Karena sebaiknya pernikahan itu dilaksanakan secara terbuka dan diumumkan kepada orang lain agar tidak menjadi fitnah. Mengenai sebaian orang yang beranggapan bahwa lebih baik nikah siri dari pada zinah itu memang benar, namun jika itu hanya untuk menyalurkan hawa nafsu saja itu yang tidak dibenarkan. Karena pada dasarnya sesuatu yang diawali dengan niat yang tidak baik, pada akhirnya akan menimbulkan ke-mudharratan.
Maka dari itu, menurut kami perlu ditingkatkan penyuluhan mengenai isi dari Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, penyuluhan mengenai dampak yang ditimbulkan dari perkawinan dibawah tangan atau perkawinan siri, penyuluhan mengenai pentingnya pencatatan perkawinan untuk kehidupan yang akan datang terhadap anak-anak mereka maupun harta yang mereka peroleh dalam perkawinan di bawah tangan tersebut. Penyuluhan ini diberikan kepada seluruh lapisan masyarakat terutama masyarakat pedesaaan baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah, sehingga tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Somad. HUKUM ISLAM: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2012.
Al-Zuhaili, Wahbah. Fiqh al-Islam wa ‘Adillatuh. Juz VIII. Cet. III. Beirut: Dar al-Fikr. 1989.
Amin, Ma’ruf. dkk. HIMPUNAN FATWA MUI SEJAK 1975. Jakarta: Erlangga. 2011.
Aulawi, Wasit. Pernikahan Harus Melibatkan Masyarakat, Mimbar Hukum. No. 28. 1996.
Fenomena-nikah-siri-di-indonesia-jaman.html. 19/09/2013. 11:31.
Rusli, An R. Tama. Perkawinan antar agama dan masalahnya. Penerbit : Shantika Dharma. Bandung. 1984.
Shihab, Quraish. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Perbagai Persoalan Umat. Cet. VIII. Jakarta: Mizan. 1998.
Syarifuddin, Amir. Hukum Nikah Islam di Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan Undang-Undang Nikah .Cet. II. Jakarta: Kencana. 2007.
http://www.google.com/Pernikahan-Siri-dari-Perspektif-Hukum-Indonesia. 19/09/2013. 11:36.
[1] Rusli, SH. An R. Tama, SH. Perkawinan antar agama dan masalahnya.Penerbit : Shantika
Dharma. Bandung, 1984, h. 10.
[2] Ibid, h. 10.
[3] Amir Syarifuddin, Hukum Nikah Islam di Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan Undang-Undang Nikah (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2007), h. 59.
[4] Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa ‘Adillatuh, Juz VIII (Cet. III; Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 71
[5] Wasit Aulawi, Pernikahan Harus Melibatkan Masyarakat, Mimbar Hukum, No. 28, 1996, h. 20.
[6] Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Perbagai Persoalan Umat (Cet. VIII; Jakarta: Mizan, 1998), h. 204.
[7] Ma’ruf Amin, dkk. HIMPUNAN FATWA MUI SEJAK 1975, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 534.
NIKAH SIRI
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Tugas
Mata Kuliah Fiqh 2
Dosen Pengampu : Nurul Afifah, M.Pd.I
Disusun Oleh :
Fandi Israwan 1290155
Novi Atika Sari 1290475
Program Studi :
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI)
KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
2013
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah yang maha pengasih. Segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang dengan rido-Nya kita dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar. Sholawat serta salam tetap kami haturkan kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW yang dengan rido-Nya dan bimbingannya makalah ini dapat terselesaikan dengan lancar.
Sebagai mahasiswa kami mengharapkan bimbingan dan bantuan, saran serta dukungan dari bapak dan ibu dosen serta pihak lain agar makalah ini bisa berhasil dan berguna bagi kita semua.
Tidak ada gading yang tak retak, demikian pula makalah ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun tetap kami nantikan dan kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Metro, Oktober 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………………………. i
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………….. ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………….. iii
BAB I PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah…………………………………………………………………… 1
- Rumusan Masalah……………………………………………………………………………. 2
- Tujuan Penulisan……………………………………………………………………………… 2
BAB II LANDASAN TEORI
- Fenomena Nikah Siri di Indonesia…………………………………………………….. 3
- Definisi Nikah Siri…………………………………………………………………………… 5
- Tata Cara Pernikahan Siri…………………………………………………………………. 5
- Hukum Pernikahan Siri…………………………………………………………………….. 7
- Pengesahan Pernikahan Siri………………………………………………………………. 16
BAB III PENUTUP
- Kesimpulan…………………………………………………………………………………….. 19
- Pendapat Kelompok………………………………………………………………………… 20
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Manusia pada hakekatnya merupakan Makhluk Ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang diberi kelebihan berupa akal dan fikiran. Sudah menjadi kodrat alam, sejak dilahirkan manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya di dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama di sini, untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari baik jasmani maupun rohani. Pada umumnya seorang pria maupun seorang wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama. Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita mempunyai akibat yang sangat penting dalam masyarakat, baik terhadap kedua belah pihak maupun keturunannya serta anggota masyarakat yang lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan yang mengatur tentang hidup bersama antara lain syarat-syarat untuk peresmian hidup bersama, pelaksanaannya, kelanjutannya dan berakhirnya perkawinan itu.[1]
Perkawinan merupakan suatu kejadian yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Bagi Bangsa Indonesia yang memiliki alam pikiran magis (percaya pada hal-hal gaib), ritual perkawinan tidak hanya dipandang sebagai peristiwa sakral. Setelah selesai ritual sakral, timbullah ikatan perkawinan antara suami isteri. Seorang pria dan wanita yang dulunya merupakan pribadi yang bebas tanpa ikatan hukum, namun setelah perkawinan menjadi terikat lahir dan batin sebagai suami isteri. Ikatan yang ada di antara mereka merupakan ikatan lahiriah, rohaniah, spiritual dan kemanusiaan. Ikatan perkawinan ini, menimbulkan akibat hukum terhadap diri masing-masing suami isteri yang berupa hak dan kewajiban.
Pada prinsipnya perkawinan adalah suatu akad, untuk menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara pria dengan wanita yang antara keduanya bukan muhrim. Apabila di tinjau dari segi hukum, jelas bahwa pernikahan adalah suatu akad yang suci dan luhur antara pria dengan wanita, yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami isteri dan dihalalkan hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, mawadah serta saling menyantuni antara keduanya. Suatu akad perkawinan menurut Hukum Islam ada yang sah ada yang tidak sah. Hal ini dikarenakan, akad yang sah adalah akad yang dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap, sesuai dengan ketentuan agama. Sebaliknya akad yang tidak sah, adalah akad yang dilaksanakan tidak sesuai dengan syarat-syarat serta rukun-rukun perkawinan. Akan tetapi pada kenyataan ada perkawinan-perkawinan yang dilakukan hanya dengan Hukum Agamanya saja. Perkawinan ini sering disebut Perkawinan Siri, yaitu perkawinan yang tidak terdapat bukti otentik, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum.
B. RUMUSAN MASALAH
- Bagaimana fenomena nikah siri yang terjadi di Indonesia?
- Apa pengertian/definisi dari nikah siri?
- Bagaimana tata cara pernikahan siri?
- Bagaimana kekuatan hukum pernikahan siri ditinjau dari hukum Islam dan hukum yang berlaku di Indonesia?
- Bagaimana cara melegalkan pernikahan siri?
C. TUJUAN PENULISAN
Dalam penulisan makalah yang berjudul “Nikah Siri”, memiliki tujuan sebagai berikut :
- Untuk mengetahui fenomena nikah siri yang terjadi di Indonesia.
- Untuk mengetahui definisi dari nikah siri.
- Untuk mengetahui tata cara pernikahan siri.
- Untuk mengetahui kekuatan hukum pernikahan siri dari perspektif hukum Islam dan hukum Indonesia.
- Untuk mengetahui prosedur pengesahan pernikahan siri.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. FENOMENA PERNIKAHAN SIRI DI INDONESIA
Akhir-akhir ini, fenomena nikah siri memberikan kesan yang menarik. Pertama, nikah siri sepertinya memang benar-benar telah menjadi trend yang tidak saja dipraktekkan oleh masyarakat umum, namun juga dipraktekkan oleh figur masyarakat yang selama ini sering disebut dengan istilah kyai, dai, ustad, ulama, atau istilah lainnya yang menandai kemampuan seseorang mendalami agama (Islam). Kedua, nikah siri sering ditempatkan menjadi sebuah pilihan ketika seseorang hendak berpoligami dengan sejumlah alasannya tersendiri.
Mengapa nikah siri menjadi trend di Indonesia? Padahal jelas pihak wanita yang paling dirugikan, kalau calon suami hanya berniat melampiaskan hasrat dengan halal. Sayangnya masih banyak wanita yang mau diperlakukan semena-mena. Mungkin faktor ekonomi atau ingin hidup senang tanpa harus kerja keras. Apalagi kalau yang mengajak nikah seorang pejabat atau orang terkenal, banyak wanita manggut-manggut saja. Mereka baru menyesal setelah dicampakkan lalu berteriak cari perhatian dimedia. Sebaliknya tak dapat dipungkiri bahwa banyak juga wanita muslim Indonesia nikah siri dengan orang asing, lalu menikah resmi dan pernikahan mereka hanya terdaftar di negara suaminya. Mereka hidup rukun dan damai hingga beranak cucu.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan salah satu wujud aturan tata tertib pernikahan yang dimiliki oleh negara Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, di samping aturan-aturan tata tertib pernikahan yang lain yaitu Hukum Adat dan Hukum Agama. Agar terjaminnya ketertiban pranata pernikahan dalam masyarakat, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menentukan bahwa setiap perkawinan harus dicatat oleh petugas yang berwenang. Namun kenyataan memperlihatkan fenomena yang berbeda. Hal ini tampak dari maraknya pernikahan siri atau pernikahan di bawah tangan yang terjadi di tengah masyarakat.
Negara Republik Indonesia, sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan dianggap mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang sangat penting. Keharusan pencatatan perkawinan walaupun bukan menjadi rukun nikah, akan tetapi merupakan hal yang sangat penting terutama sebagai alat bukti yang dimiliki seseorang, apabila terjadi suatu permasalahan di kemudian hari.[2]
Berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Perkawinan adalah sah apabila sah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing, serta perkawinan tersebut harus dicatatkan. Namun dalam kompilasi hukum islam perkawinan adalah sah apabila sah menurut agama islam, kemudian syarat pencatatan yang ada agar menjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam. Berdasarkan kedua aturan tersebut dapat diketahui bahwa suatu perkawinan itu tetap harus dicatatkan demi terciptanya suatu ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Meskipun suatu perkawinan itu sudah disebut sah apabila sudah sah secara agama apabila tidak dicatatkan dapat dikatakan perkawinan tersebut adalah perkawinan secara siri.
Penyebab yang menimbulkan masyarakat melakukan pernikahan siri sebenarnya kembali kepada pribadinya masing-masing. Namun yang terjadi belakangan ini hal-hal yang menyebabkan timbulnya nikah dilihat dari faktor sosial dikarenakan adanya kesulitan pencatatan pernikahan yang kedua kalinya, batasan usia yang layak nikah berdasarkan peraturan perundang-undangan, tempat tinggal yang berpindah-pindah membuat orang kesulitan untuk mengurus administrasi dan prosedur pencatatan pernikahan. Kemudian adafaktor ekonomi dimana masyarakat yang kurang mampu biasanya akan kesulitan untuk membayar biaya-biaya untuk mencatatkan pernikahannya sehingga lebih memilih nikah siri. Selanjutnya ada jugafaktor agama dimana nikah siri dilakukan untuk menghalalkan suatu hubungan agar dijauhkan dari zinah dan dosa.
B. DEFINISI NIKAH SIRI
Secara harfiah “sirri” itu artinya “rahasia”. Jadi, nikah sirri adalah pernikahan yang dirahasiakan dari pengetahuan orang banyak. Secara umum Nikah Siri adalah sebuah perbuatan dalam melakukan pernihakan sesuai aturan agama dalam hal ini Ajaran Islam namun karena berbagai hal yang menghalanginya menjadikan tidak terjadinya pencatatan secara sah atau legal oleh aparat yang berwenang dalam hal ini Pemerintah yang diwakili Departemen Agama. Nikah siri dalam konteks masyarakat sering dimaksudkan dalam beberapa pengertian.
Pertama, nikah yang dilaksanakan dengan sembunyi-sembunyi, tanpa mengundang orang luar selain dari kedua keluarga mempelai. Kemudian tidak mendaftarkan perkawinannya kepada Kantor Urusan Agama (KUA) sehingga nikah mereka tidak mempunyai legalitas formal dalam hukum positif di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam undang-undang perkawinan. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan, ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu, dan lain sebagainya.
Kedua, nikah yang dilakukan sembunyi-sembunyi oleh sepasang laki-perempuan tanpa diketahui oleh kedua pihak keluarganya sekalipun. Bahkan benar-benar dirahasiakan sampai tidak diketahui siapa yang menjadi wali dan saksinya.
Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri, atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
C. TATA CARA PERNIKAHAN SIRI
Kehidupan bersuami istri yang dibangun melalui lembaga perkawinan, sesungguhnya bukanlah semanta-mata dalam rangka penyaluran hasrat biologis. Maksud dan tujuan nikah jauh lebih luas dibandingkan sekedar hubungan seksual. Bahkan apibila dipandang dari aspek religius, pada hakekatnya nikah adalah salah satu bentuk pengabdian kepada Allah. Karena itu, nikah yang sarat nilai dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinahmawaddah wa rahmah, perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu agar tujuan disyariatkannya nikah tercapai. Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan.[3]
Sahnya suatu nikah dalam Islam adalah dengan terlaksananya akad nikah yang memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Untuk sahnya perkawinan, para ulama telah merumuskan sekian banyak rukun dan syarat, yang mereka pahami dari ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis Nabi SAW. Adanya calon suami isteri, wali, dua orang saksi, mahar serta terlaksananya ijab kabul merupakan rukun atau syarat sahnya suatu pernikahan. Tata cara menikah siri tidak jauh beda dengan menikah secara resmi di KUA, dimana dalam pernikahan itu harus dipenuhi syarat dan rukunnya.
- Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
- Adanya ijab qabul.
Ijab artinya mengemukakan atau menyatakan suatu perkataan. Qabul artinya menerima. Jadi Ijab qabul itu artinya seseorang menyatakan sesuatu kepada lawan bicaranya, kemudian lawan bicaranya menyatakan menerima. Dalam perkawinan yang dimaksud dengan “ijab qabul” adalah seorang wali atau wakil dari mempelai perempuan mengemukakan kepada calon suami anak perempuannya/ perempuan yang di bawah perwaliannya, untuk menikahkannya dengan lelaki yang mengambil perempuan tersebut sebagai isterinya. Lalu lelaki bersangkutan menyatakan menerima pernikahannya itu.
3. Adanya Mahar (mas kawin)
Islam memuliakan wanita dengan mewajibkan laki-laki yang hendak menikahinya menyerahkan mahar (mas kawin). Islam tidak menetapkan batasan nilai tertentu dalam mas kawin ini, tetapi atas kesepakatan kedua belah pihak dan menurut kadar kemampuan. Islam juga lebihmenyukai mas kawin yang mudah dan sederhana serta tidak berlebih-lebihan dalam memintanya. Dari Uqbah bin Amir, bersabda Rasulullah SAW : “Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan” (HR.Al-Hakim dan Ibnu Majah, shahih, lihat Shahih Al-Jamius Shaghir 3279 oleh Al-Albani)
4. Adanya Wali
Dari Abu Musa ra, Nabi SAW bersabda: “Tidaklah sah suatu pernikahan tanpa wali.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud). Wali yang mendapat prioritas pertama di antara sekalian wali-wali yang ada adalah ayah dari pengantin wanita. Kalau tidak ada barulah kakeknya (ayahnya ayah), kemudian saudara lelaki seayah seibu atau seayah, kemudian anak saudara lelaki. Sesudah itu barulah kerabat-kerabat terdekat yang lainnya atau hakim.
5. Adanya Saksi-Saksi
Rasulullah SAW bersabda: “Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Al-Baihaqi dari Imran dan dari Aisyah, shahih, lihat Shahih Al-Jamius Shaghir oleh Syaikh Al-Albani no. 7557). Menurut sunnah Rasulullah SAW, sebelum aqad nikah diadakan khuthbah lebih dahulu yang dinamakan khuthbatun nikah atau khuthbatul-hajat.
D. HUKUM PERNIKAHAN SIRI
- Nikah Siri Menurut Islam
Hukum nikah sirih secara agama adalah sah atau legal dan dihalalkan atau diperbolehkan jika syarat dan rukun nikahnya terpenuhi pada saat nikah sirih digelar. Pada prinsipnya, selama nikah siri itu memenuhi rukun dan syarat nikah yang disepakati ulama, maka dapat dipastikan hukum nikah itu pada dasarnya sudah sah. Hanya saja bertentangan dengan perintah Nabi saw, yang menganjurkan agar nikah itu terbuka dan diumumkan kepada orang lain agar tidak menjadi fitnah. Sesuai hadis Nabi saw :
وروى أحمد وغيره عن ابن حاطب: (فصل مابين الحلال والحرام الضرب بالدف(
Artinya :
“Yang membedakan antara acara pernikahan yang halal dan yang haram, adalah adanya tabuhan rebana.”
Secara mendasar, tidak dilihat dari tabuhan rebananya, melainkan yang menjadi hal mendasar adalah upaya untuk menyebarluaskan berita tentang acara pernikahan yang diselenggarakan.
Istilah nikah siri atau nikah yang dirahasiakan memang sudah dikenal di kalangan ulama. Hanya saja nikah siri di kenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah siri dapat saat ini. Dahulu yang dimaksud dengan nikah siri yaitu nikah yang sesuai dengan rukun-rukun nikah dan syaratnya menurut syari’at, hanya saja saksi diminta tidak memberitahukan terjadinya nikah tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada walimah al-‘Ursy. Berikut ini adalah pendapat para ulama Islam tentang nikah siri.
- Menurut pandangna mahzab Hanafi dan Hambali suatu penikahan yang sarat dan rukunya mka sah menurut agama islam walaupun pernikah itu adalah pernikahn siri. Hal itu sesuai dengan dalil yang berbunyi, artinya: “Takutlah kamu terhadap wanita, kamu ambil mereka (dari orang tuanya ) dengan amanah allah dan kamu halalkan percampuran kelamin dengan mereka dengan kalimat Allah (ijab qabul)” (HR Muslim).
- Menurut terminologi fikih Maliki, nikah siri ialah :
هو الذي يو صي فيه الزوج الشهود مكتمه عن امراته, او عن جما عة ولو اهل منزل.
Artinya :
“Nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk istrinya atau jamaahnya, sekalipun keluarga setempat.
Mazhab Maliki tidak membolehkan nikah siri. Perkawinannya dapat dibatalkan, dan kedua pelakunya dapat dilakukan hukuman had (dera rajam), jika telah terjadi hubungan seksual antara keduanya dan diakuinya atau dengan kesaksian empat orang saksi.[4]
- Sedangkan menurut kiayi Husein Muhamad seorang komisioner komnas prempuan menyatakan pernikahan pria dewasa dengan wanita secara siri merupakan pernikahan terlarang karena pernikahn tersebut dapat merugikan si perempauan, sedangkan islam jusru melindungi perempuan bukan malah merugikannya. Menurut kalangan Ulama Syiah memang membolehkan cara pernikahan seperti itu. Yaitu nikah siri, sebih baik ketimbang berzinah yang sangat dilaknat oleh Allah SWT. Kalangan Ulama Suni di Indonesia yang berpendapat bahwa Nikah siri adalah Halal berdasarkan nash Al Qur’an (Anisa:3), dan bahkan tidak sedikit diantaranya yang melakukannya, bukan semata-mata karena kebutuhan seksual, tetapi guna menunjukan ke-halalan Nikah sirih itu sendiri.
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa ayat 3).
- Ulama terkemuka yang membolehkan nikah dengan cara siri adalah Dr. Yusuf Qardawi salah seorang pakar muslim kontemporer terkemuka di Islam. Ia berpendapat bahwa nikah siri itu sah selama ada ijab kabul dan saksi.
- Dadang Hawari, mengharamkan nikah siri, sedangkan KH. Tochri Tohir berpendapat lain. Ia menilai nikah siri sah dan halal, karena islam tidak pernah mewajibkan sebuah nikah harus dicatatkan secara negara. Menurut Tohir, nikah siri harus dilihat dari sisi positifnya, yaitu upaya untuk menghindari Zina. Namun ia juga setuju dengan pernyataan Dadang Hawari bahwa saat ini memang ada upaya penyalahgunaan nikah siri hanya demi memuaskan hawa nafsu. Menurutnya, nikah siri semacam itu, tetap sah secara agama, namun perkawinannya menjadi tidak berkah.
- Menurut Prof. Wasit Aulawi seorang pakar hukum Islam Indonesia, mantan Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama yang juga mantan Dekan Fakultas Syariah UIN Jakarta, menyatakan bahwa ajaran Islam, nikah tidak hanya merupakan hubungan perdata, tetapi lebih dari itu nikah harus dilihat dari berbagai aspek. Paling tidak menurutnya ada tiga aspek yang mendasari perkawinan, yaitu: agama, hukum dan sosial, nikah yang disyariatkan Islam mengandung ketiga aspek tersebut, sebab jika melihat dari satu aspek saja maka pincang.[5]
- Quraish Shihab mengemukakan bahwa betapa pentingnya pencatatan nikah yang ditetapkan melalui undang-undang di sisi lain nikah yang tidak tercatat-selama ada dua orang saksi-tetap dinilai sah oleh hukum agama, walaupun nikah tersebut dinilai sah, namun nikah dibawah tangan dapat mengakibatkan dosa bagi pelakunya, karena melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Al-Qur’an memerintahkan setiap muslim untuk taat pada ulul amri selama tidak bertentangan dengan hukum Allah.[6]Sesuai firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa ayat 59 :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’i (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’i. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’i. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’i. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
Pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’i bukan hanya dokumen tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka, walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah SWT QS. Al-Baqarah ayat 282 :
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda :
حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing.” (HR. Imam Bukhari dan Muslim)
- Nikah Siri Menurut Hukum di Indonesia
Undang-Undang (UU RI) tentang Perkawinan No. 1 tahun 1974 diundang-undangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan). Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi: “(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dari Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 UU Perkawinan, tentang pencatatan perkawinan . Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam pencatatan dilakukan di KUA untuk memperoleh Akta Nikah sebagai bukti dari adanya perkawinan tersebut. (pasal 7 ayat 1 KHI “Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”). Sedangkan bagi mereka yang beragama non muslim pencatatan dilakukan di kantor Catatan Sipil, untuk memperoleh Akta Perkawinan.
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam, cukup menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9 tahun 1975. Tata cara pencatatan perkawinan dilaksanakan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 PP No. 9 tahun 1975 ini, antara lain setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan secara lisan atau tertulis rencana perkawinannya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, selambat-lambatnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Kemudian pegawai pencatat meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut UU. Lalu setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tidak ditemukan suatu halangan untuk perkawinan, pegawai pencatat mengumumkan dan menandatangani pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempel surat pengumuman pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.
Di dalam rancangan undang-undang menjelaskan, Pasal 143 RUU yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam ini menggariskan, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp12 juta. Selain kawin siri, draf RUU juga menyinggung kawin mutah atau kawin kontrak. Dan Pasal 144 menyebut, setiap orang yang melakukan perkawinan mutah dihukum penjara selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum. RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp500 juta.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa tentang nikah di bawah tangan atau nikah siri dengan 2 (dua) ketentuan hukum, yakni. (1) Pernikahan di Bawah Tangan hukumnya sah karena telah terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat dampak negatif (madharrah). (2) Pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak hal-hal yang bersifat madharrah.[7]
E. PENGESAHAN PERNIKAHAN SIRI
- Mencatatkan Perkawinan Dengan Istbat Nikah
Esensinya adalah pernikahan yang semula tidak dicatatkan menjadi tercatat dan disahkan oleh negara serta memiliki kekuatan hukum. Dasar dari istbat nikah adalah Kompilasi Hukum Islam pasal 7 yaitu :
- Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
- Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
- Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
1) Dalam rangka penyelesaian perceraian. Dalam kasus ini biasanya menggunakan gugatan komulatif, yaitu pemohon meminta atau memohon disahkan dahulu perkawinannya, setelah itu mohon diceraikan;
2) Hilangnya akta nikah;
3) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
4) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang- Undang No. 1 Tahun 1974; dan
5) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974tentang perkawinan yaitu pihak laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun sedangkan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun.
d. Yang berhak mengajukan permohonan istbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Permohonan itsbat nikah harus bersifat voluntair tidak ada unsur sengketa, dikatakan demikian karena hasil dari permohonan bersifatdeclaratoir (menyatakan) atau constitutoire (menciptakan) bukan bersifat menghukum. Dalam persidangannya Hakim Pengadilan Agama akan memeriksa, dan menyatakan sah atau tidaknya perkawinan tidak tercatat tersebut, dalam bentuk penetapan itsbat nikah. Penetapan itsbat nikah inilah yang akan dijadikan landasan hukum bagi Kantor Urusan Agama, untuk mengeluarkan Akta Nikah dengan mencantumkan tanggal perkawinan terdahulu. Namun apabila ternyata hakim menyatakan bahwa perkawinan terdahulu tidak sah, maka Kantor Urusan Agama akan menikahkan kembali pasangan suami istri tersebut.
Apabila dalam perkawinan telah dilahirkan anak-anak dan jika telah memiliki akta nikah, harus segera mengurus akta kelahiran anak-anak ke Kantor Catatan Sipil setempat agar status anak pun sah di mata hukum. Jika pengurusan akta kelahiran anak ini telah lewat 14 (empat belas) hari dari yang telah ditentukan, terlebih dahulu harus mengajukan permohonan pencatatan kelahiran anak kepada Pengadilan Negeri setempat. Dengan demikian, status anak dalam akta kelahirannya bukan lagi anak luar kawin.
- Melakukan Perkawinan Ulang
Perkawinan ulang dilakukan layaknya perkawinan menurut agama Islam. Namun, perkawinan harus disertai dengan pencatatan perkawinan oleh pejabat yang berwenang dalam pencatat perkawinan (KUA). Perkawinannya harus dicatatkan di muka pejabat yang berwenang, dalam hal ini di Kantor Catatan Sipil.
Pencatatan perkawinan ini penting agar ada kejelasan status bagi perkawinan. Namun, status anak-anak yang lahir dalam perkawinan siri akan tetap dianggap sebagai anak di luar kawin, karena perkawinan ulang tidak berlaku surut terhadap status anak yang dilahirkan sebelum perkawinan ulang dilangsungkan. Oleh karenanya, dalam akta kelahiran, anak yang lahir sebelum perkawinan ulang tetap sebagai anak luar kawin, sebaliknya anak yang lahir setelah perkawinan ulang statusnya sebagai anak sah yang lahir dalam perkawinan.
Adapun cara yang dapat ditempuh jika dalam perkawinan siri tersebut telah lahir anak-anak, maka dapat diikuti dengan pengakuan anak, yakni pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya, pengakuan anak dapat dilakukan baik oleh ibu maupun bapak. Namun, berdasarkan Pasal 43 Undang undang No. 1 Tahun 1974 yang pada intinya menyatakan, bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata yang baru, seorang ayah dapat melakukan pengakuan Anak. Namun bagaimanapun, pengakuan anak hanya dapat dilakukan dengan persetujuan ibu, sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUH Perdata.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan materi tentang “Nikah Siri” pada bab diatas dapat disimpulkan :
- Akhir-akhir ini, fenomena nikah siri memberikan kesan yang menarik. Pertama, nikah siri sepertinya memang benar-benar telah menjadi trend yang tidak saja dipraktekkan oleh masyarakat umum, Kedua, nikah siri sering ditempatkan menjadi sebuah pilihan ketika seseorang hendak berpoligami dengan sejumlah alasannya tersendiri. Penyebab yang menimbulkan masyarakat melakukan pernikahan siri sebenarnya kembali kepada pribadinya masing-masing. Namun yang terjadi belakangan ini hal-hal yang menyebabkan timbulnya nikah dilihat dari faktor sosialdikarenakan adanya kesulitan pencatatan pernikahan yang kedua kalinya, batasan usia yang layak nikah berdasarkan peraturan perundang-undangan, tempat tinggal yang berpindah-pindah membuat orang kesulitan untuk mengurus administrasi dan prosedur pencatatan pernikahan. Kemudian ada faktor ekonomidimana masyarakat yang kurang mampu biasanya akan kesulitan untuk membayar biaya-biaya untuk mencatatkan pernikahannya sehingga lebih memilih nikah siri. Selanjutnya ada juga faktor agama dimana nikah siri dilakukan untuk menghalalkan suatu hubungan agar dijauhkan dari zinah dan dosa.
- Secara umum Nikah Siri adalah sebuah perbuatan dalam melakukan pernihakan sesuai aturan agama dalam hal ini Ajaran Islam namun karena berbagai hal yang menghalanginya menjadikan tidak terjadinya pencatatan secara sah atau legal oleh aparat yang berwenang dalam hal ini Pemerintah yang diwakili Departemen Agama.
- Tata cara menikah siri tidak jauh beda dengan menikah secara resmi di KUA, dimana dalam pernikahan itu harus dipenuhi syarat dan rukunnya. Yakni adanya kedua calon mempelai, ijab qabul, wali, dua orang saksi, dan mahar.
- Menurut hukum Islam, perkawinan di bawah tangan atau siri adalah sah, asalkan telah terpenuhi syarat dan rukun perkawinannya. Namun dari aspek peraturan perundangan perkawinan model ini belum lengkap dikarenakan belum dicatatkan. Pencatatan perkawinan hanya merupakan perbuatan administratif yang tidak terpengaruh pada sah tidaknya perkawinan.[8]
- Hukum Indonesia melalui UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menerangkan, (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan Pasal 143 RUU menggariskan, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp12 juta.
- Pernikahan dibawah tangan atau siri dapat disahkan dengan 2 (dua) cara yakni mengajukan istbat nikah atau dengan melakukan pernikahan ulang.
B. PENDAPAT KELOMPOK
Berdasarkan landasan teori yang telah kami paparkan, kami berpendapat bahwa pernikahan siri adalah sah jika syarat dan rukunnya terpenuhi, namun kita sebagai warga negara yang baik haruslah taat terhadap hukum dalam hal ini undang-undang perkawinan yang telah pemerintah tetapkan. Sesuai hadis Nabi SAW :
عَلَيْكُمْ بِا لسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ وُلّيَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيُّ
Artinya :
“Diwajibkan atas kalian untuk mendengarkan dan taat (kepada pemimpin) sekalipun kalian dipimpin oleh seorang budak dari habasiyah.”
Karena sebaiknya pernikahan itu dilaksanakan secara terbuka dan diumumkan kepada orang lain agar tidak menjadi fitnah. Mengenai sebaian orang yang beranggapan bahwa lebih baik nikah siri dari pada zinah itu memang benar, namun jika itu hanya untuk menyalurkan hawa nafsu saja itu yang tidak dibenarkan. Karena pada dasarnya sesuatu yang diawali dengan niat yang tidak baik, pada akhirnya akan menimbulkan ke-mudharratan.
Maka dari itu, menurut kami perlu ditingkatkan penyuluhan mengenai isi dari Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, penyuluhan mengenai dampak yang ditimbulkan dari perkawinan dibawah tangan atau perkawinan siri, penyuluhan mengenai pentingnya pencatatan perkawinan untuk kehidupan yang akan datang terhadap anak-anak mereka maupun harta yang mereka peroleh dalam perkawinan di bawah tangan tersebut. Penyuluhan ini diberikan kepada seluruh lapisan masyarakat terutama masyarakat pedesaaan baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah, sehingga tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Somad. HUKUM ISLAM: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2012.
Al-Zuhaili, Wahbah. Fiqh al-Islam wa ‘Adillatuh. Juz VIII. Cet. III. Beirut: Dar al-Fikr. 1989.
Amin, Ma’ruf. dkk. HIMPUNAN FATWA MUI SEJAK 1975. Jakarta: Erlangga. 2011.
Aulawi, Wasit. Pernikahan Harus Melibatkan Masyarakat, Mimbar Hukum. No. 28. 1996.
Fenomena-nikah-siri-di-indonesia-jaman.html. 19/09/2013. 11:31.
Rusli, An R. Tama. Perkawinan antar agama dan masalahnya. Penerbit : Shantika Dharma. Bandung. 1984.
Shihab, Quraish. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Perbagai Persoalan Umat. Cet. VIII. Jakarta: Mizan. 1998.
Syarifuddin, Amir. Hukum Nikah Islam di Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan Undang-Undang Nikah .Cet. II. Jakarta: Kencana. 2007.
http://www.google.com/Pernikahan-Siri-dari-Perspektif-Hukum-Indonesia. 19/09/2013. 11:36.
[1] Rusli, SH. An R. Tama, SH. Perkawinan antar agama dan masalahnya.Penerbit : Shantika
Dharma. Bandung, 1984, h. 10.
[2] Ibid, h. 10.
[3] Amir Syarifuddin, Hukum Nikah Islam di Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan Undang-Undang Nikah (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2007), h. 59.
[4] Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa ‘Adillatuh, Juz VIII (Cet. III; Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 71
[5] Wasit Aulawi, Pernikahan Harus Melibatkan Masyarakat, Mimbar Hukum, No. 28, 1996, h. 20.
[6] Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Perbagai Persoalan Umat (Cet. VIII; Jakarta: Mizan, 1998), h. 204.
[7] Ma’ruf Amin, dkk. HIMPUNAN FATWA MUI SEJAK 1975, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 534.
0 komentar:
Posting Komentar