Senin, 09 Maret 2015

Hakikat Manusia Dalam Filsafat Islam


A. Pendahuluan

Pemikiran tentang hakikat manusia sejak zaman dahulu kala sampai zaman modern sekarang ini juga belum berakhir dan munkin tak akan pernah berakhir. Ternyata orang menyelidiki manusia itu dari berbagai sudut pandang. Ada yang menyelidiki manusia dari segi fisik yaitu antropologi fisik, adapula yang menyelidiki dengan sudut pandang budaya yaitu antropologi budaya. Sedangkan yang menyelidiki manusia dari sisi hakikatnya disebut antropologi filsafat.

Memikirkan dan membicarakan hakikat manusia inilah yang menyebabkan orang tak henti-hentinya berusaha mencari jawaban yang memuaskan tentang pertanyaan yang mendasar tentang manusia itu sendiri, yaitu apa dari mana dan mau kemana manusia itu.

Oleh karena itu pada makalah ini kami akan membahas tentang hakikat manusia dalam filsafat pendidikan islam yang meliputi hakikat Allah menciptakan manusia, apa hakikat manusia, mengapa manusia memerlukan pendidikan, dan mengapa manusia bisa di didik. Semoga dengan pembhasan ini dapat menambah wawasan bagi kita dalam memahami hakikat diri kita sebagai manusia di muka bumi ini.


B. Hakikat Allah Menciptakan Manusia

Manusia disisi Allah adalah sebagai salah satu ciptaan (makhluk) Allah. Sebagaimana dalam QS. 96 : 2“Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.” QS. 2 : 21“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.”

Makna yang paling mendasar yang dapat diambil dari hal ini (manusia sbg makhluk) adalah bahwa manusia memiliki kekurangan dan keterbatasan. Sesungguhnya semua yang diciptakan oleh Allah memiliki kekurangan dan keterbatasan. Sedangkan Allah Maha Sempurna, tidak memiliki kekurangan, keterbatasan atau kelemahan.Yang menunjukkan hal tersebut adalah ucapan “Subhanallah”, “Maha Suci Allah dari serba kekurangan dan keterbatasan”. Oleh karena itu tidaklah pantas manusia sebagai ciptaan untuk menyombongkan dirinya. Allahlah yang pantas untuk sombong, karena Allah adalah Dzat Yang Maha Sempurna.

Allah swt memeberikan keutamaan lebih kepada manusia dari pada makhluk yang lain. Manusia dilantik menjadi Abdullah dan Khalifatullah dimuka bumi ini untuk memakmurkannya. Oleh karena itu dibebenkan kepada manusia amanah Attaklif, dan diberikankan pula kebebasan dan tanggung jawab memiliki serta memelihara nilai-nilai kemuliaan.

Kemuliaan yang diberikan bukanlah karena bangsanya, warna kulitnya, kecancikannya, perawakannya, harta, derajatnya, akan tetapi semata-mata karena iman dan dan taqwanya kepada Allah swt.

Semua itu dijelaskan dalam al-qur’an surat al-baqarah ayat 21 yang artinya “ Hai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu agar kamu bertaqwa “

Dan ayat 30 yang artinya “ Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malikat, “aku hendak menjadikan khalifah dimuka bumi” mereka berkata apakah engkau akan menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan aku memuji-Mu dan menyucikan-Mu, Dia berfirman sungguh aku mengetahui apa ynag tidak kamu ketahui “
Allah swt juga menjelaskan hakikat ciptaan manusia dalam surat az-zariyat ayat 56 yang artinya “ Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku ”

C. Hakikat Manusia

Hakikat manusia menurut al-Qur’an ialah bahwa manusia itu terdiri dari unsur jasmani, unsur akal, dan unsur ruhani. Ketiga unsur tersebut sama pentingnya untuk di kembangkan. Sehingga konsekuensinya pendidikan harus di desain untuk mengembangkan jasmani, akal, dan ruhani manusia.

Unsur jasmani merupakan salah satu esensi ( hakikat ) manusia sebagai mana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-baqarah ayat 168 yang artinya “ Hai sekalian manusia makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dari bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan karena sesungguhnya syuetan itu adalah musuh yang nyata bagimu “

Akal adalah salah satu aspek terpenting dalam hakikat manusia. Akal digunakan untuk berpikir, sehingga hakikat dari manusia itu sendiri adalah ia mempunyai rasa ingin, mempunyai rasa mampu, dan mempunyai daya piker untuk mengetahui apa yang ada di dunia ini.

Sedangkan aspek ruhani manusia di jelaskan dalam al-Qur’an surat al-Hijr ayat 29 yang artinya “ Tatkala aku telah menyempurnakan kejadiannya, aku tiupkan kedalamnya ruhku.kedalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud “

Dalam hal ini muhammad Quthub menyimpulkan bahwa eksistensi manusia adalah jasmani, akal, dan ruh, yang mana ketiganya menyusun manusia menjadi satu kesatuan.

D. Manusia Memerlukan Pendidikan

Bagi filsafat pendidikan penentuan sikap dan tanggapan tentang manusia merupakan hal yang amat penting dan vital. Sebab manusia merupakan unsur terpenting dalam usaha pendidikan. Tanpa tanggapan dan sikap yang jelas tentang manusia pendidikan akan merasa raba.

Bahkan pendidikan itu sendiri itu dalam artinya yang paling asas tidak lain adalah usaha yang dicurahkan untuk menolong manusia menyingkap dan menemukan rahasia alam memupuk bakat dan dan mengarahkan kecendrungannya demi kebaikan diri dan masyarakat . usaha itu berakhir dengan berlakunya perubahan yang di kehendaki dari segi social dan psikologis serta sikap untuk menempuh hidup yang lebih berbahagia dan berarti.

Manusia mengalami proses pendidikan terus berlangsung sampai mendekati waktu ajalnya. Proses pendidikan adalah life long education yang dilihat dari segi kehidupan masyarakat dapat dikatakan ebagai proses yang tanpa akhir.

Bila dipandang dari segi kemampuan dasar pedagogis, manusia dipandang sebagai “homo edukadum” mahluk yang harus dididik, atau bisa disebut “animal educabil ” mahluk sebangsa binatang yang bisa dididik, maka jelaslah bahwa manusia itu sendiri tidak dapat terlepas dari potensi psikologis yang dimiliknya secara individual berbeda dalam abilitas dan kapabilitasnya, dari kemampuan individual lainnya. Dengan berbedanya kemampuan untuk dididk itulah fungsi pendidikan pada hakikatnya adalah melakukan seleksi melalui proses pendidikan atas pribadi manusia.
Dari segi sosial psikologis manusia dalam proses pendidikan juga dapat dipandang sebagai mahluk yang sedang tumbuh dan berkembangdalam proses komonikasi antara individualitasnya dengan orang lain atau lingkungan sekitar dan proses membawanya kea rah pengembangan sosialitas dan moralitasnya. Sehingga dalam proses tersebut terjadilah suatu pertumbuhan atau perkembangan secara dealiktis atau secara interaksional antara individualitas dan sosialitas serta lingkungan sekitarnya sehingga terbentuklah suatu proses biologis, sosiologis, dan psikologis.

E. Manusia Bisa Dididik

Kemampuan belajar manusia sangat berkaitan dengan kemampuan manusia untuk mengetahui dan mengenal terhadap obyek-obyek pengamatan melalui panca indranya. Membahas kemampuan mengetahui dan mengenal tidak dapat terlepas dari filsafat dalam bidang epistimologi. Karena filsfat ini menunjukkan kepada kita betapa dan sejauh mana manusia dapat mengetahui dan mengenal obyek-obyek pengamatan disekitarnya. Apa pengetahuan itu, cara mengetahui, dan memperoleh pengetahuan serta berbagai jenis pengalaman indrawi.

Panca indera manusia adalah merupakan alat kelengkapan yang dapat membuka kenyataan alam sebagai sumber pengetahuannya yang memunkinkan dirinya untuk menemukan hakikat kebenaran yang diajarkan oleh agamanya atau oleh Tuhannya. Panca indera manusia merupakan pintu gerbang dari pengetahuan yang makin berkembang. Oleh karena itu Allah mewajibkan panca indera manusia untuk digunakan menggali pengetahuan.

Dalam hal ini islam lebih cenderung untuk menegaskan bahwa perpaduan antara kemampuan jiwa dan kenyataan materi sebagai realita merupakan sumber proses “mengetahui” manusia yang keduanya merupakan “kebenaran”menurut ukuran proses hidup manusiawi bukan Ilahi. Kebenaran yang hakiki hanyalah Tuhan sendiri, dan kebenaran hakiki inilah yang menciptakan segala kenyataan alami dan manusiawi dengan diberi mekanisme hukum-hukumnya sendiri. Bila Ia menghendaki mekanisme itu bisa di rubah menurut kehendaknya.

F. Teori Emanasi Al Farabi

Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Auzalagh. Lahir pada 870 M di desa Wasij, bagian dari Farab, yang termasuk bagian dari wilayah Mā Warā`a al-Nahr (Transoxiana); sekarang berada di wilayah Uzbekistan. Al-Farabi meninggal di Damaskus, ibukota Suriah pada umur sekitar 80 tahun, tepatnya pada 950 M. Di negeri Barat, al-Farabi dikenal dengan nama Avennaser atau Alfarabius. Ayahnya berasal dari Persia (Suriah) yang pernah menjabat sebagai panglima perang Turki. Sedang ibunya berasal dari Turki.

Al-Farabi dipandang sebagai filosof Islam pertama yang berhasil menyusun sistematika konsepsi filsafat secara meyakinkan. Posisinya mirip dengan Plotinus (204 – 270 M) yang menjadi peletak filsafat pertama di dunia Barat. Jika orang Arab menyebut Plotinus sebagai Syaikh al-Yūnānī (guru besar dari Yunani), maka mereka menyebut al-Farabi sebagai al-Mu’allim al-Tsānī (guru kedua) di mana “guru pertama”-nya disandang oleh Aristoteles. Julukan “guru kedua” diberikan pada al-Farabi karena dialah filosof muslim pertama yang berhasil menyingkap misteri kerumitan yang kontradiktif antara pemikiran filsafat Aristoteles dan gurunya, Plato.

Melalui karya al-Farabi berjudul al-Ibānah ‘an Ghardh Aristhū fī Kitāb Mā Ba’da al-Thabī’ah (Penjelasan Maksud Pemikiran Aristoteles tentang Metafisika). Karya al-Ibānah inilah yang membantu para filosof sesudahnya dalam memahami pemikiran filsafat Yunani. Konon Ibnu Sina (filosof besar sesudah al-Farabi) sudah membaca 40 kali buku metafisika karya Aristoteles, bahkan dia menghafalnya, tetapi diakui bahwa dirinya belum mengerti juga. Namun setelah membaca kitab al-Ibānah karya al-Farabi yang khusus menjelaskan maksud dari pemikiran Aristoteles, Ibnu Sina mengaku mulai paham pemikiran metafisik-nya Aristoteles.

Sekilas tentang Pemikiran Filsafatnya, Al-Farabi menggunakan proses konseptual yang disebutnya dengan nazhariyyah al-faidh (teori emanasi) untuk memahami hubungan antara Tuhan dan alam pluralis dan empirik. Menurut teori ini, alam terjadi dan tercipta karena pancaran dari Yang Esa (Tuhan); yaitu keluarnya mumkin al-wujūd (disebut alam) dari pancaran Wājib al-Wujūd (Tuhan). Proses terjadinya emanasi (pancaran) ini melalui tafakkur (berpikir) Tuhan tentang diri-Nya, sehingga Wājib al-Wujūd juga diartikan sebagai “Tuhan yang berpikir”. Tuhan senantiaa aktif berpikir tentang diri-Nya sendiri sekaligus menjadi obyek pemikiran.

Al-Farabi memberi 3 istilah yang disandarkan padaTuhan: al-‘Aql (akal, sebagai zat atau hakikat dari akal-akal); al-‘Āqil (yang berakal, sebagai subyek lahirnya akal-akal); dan al-Ma’qūl (yang menjadi sasaran akal, sebagai obyek yang dituju oleh akal-akal). Adapun sistematika teori emanasi al-Farabi adalah sebagai berikut:
1. Tuhan sebagai al-‘Aql dan sekaligus Wujud I. Tuhan sebagai al-‘Aql (Wujud I) ini berpikir tentang diri-Nya hingga melahirkan Wujud II yang substansinya adalah Akal I → al-Samā` al-Awwal (langit pertama).
2. Wujud II itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud III yang substansinya Akal II → al-Kawākib (bintang-bintang).
3. Wujud III itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IV yang substansinya Akal III → Saturnus.
4. Wujud IV itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud V yang substansinya Akal IV → Jupiter.
5. Wujud V itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VI yang substansinya Akal V → Mars.
6. Wujud VI itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VII yang substansinya Akal VI → Matahari.
7. Wujud VII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VIII yang substansinya Akal VII → Venus.
8. Wujud VIII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IX yang substansinya Akal VIII → Mercury.
9. Wujud IX itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud X yang substansinya Akal IX → Bulan.
10. Wujud X itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud XI yang substansinya Akal X → Bumi, ruh, dan materi pertama (hyle) yang menjadi dasar terbentuknya bumi: api, udara, air, dan tanah. Akal X ini disebut juga al-‘aql al-fa’āl (akal aktif) yang biasanya disebut Jibril yang berperan sebagai wāhib al-suwar (pemberi bentuk, form).
Al-Farabi membagi wujud-wujud itu ke dalam dua kategori:
1. esensinya tidak berfisik (baik yang tidak menempati fisik [yaitu Tuhan, Akal I, dan Akal-Akal Planet] maupun yang menempati fisik [yaitu jiwa, bentuk, dan materi]).
2. esensinya berfisik (yaitu benda-benda langit, manusia, hewan, tumbuhan, barang-barang tambang, dan unsur yang empat, yaitu: api, udara, air, dan tanah).
Pemikiran al-Farabi yang lain adalah tentang jiwa. Menurutnya, jiwa berasal dari pancaran Akal X (Jibril). Hubungan antara jiwa dan jasad hanya bersifat accident (‘ardhiyyah), artinya ketika fisik binasa jiwa tidak ikut binasa, karena substansinya berbeda. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nāthiqah (jiwa yang berpikir) yang berasal dari alam Ilahi, sedang jasad berasal dari alam khalq yang berbentuk , berkadar, bergerak, dan berdimensi.

Jiwa manusia, menurut al-Farabi, memiliki 3 daya:
1. daya gerak (quwwah muharrikah), berupa: makan (ghādiyah, nutrition), memelihara (murabbiyah, preservation), dan berkembang biak (muwallidah, reproduction);
2. daya mengetahui (quwwah mudrikah), berupa: merasa (hāssah, sensation) dan imajinasi (mutakhayyilah, imagination); dan
3. daya berpikir (al-quwwah al-nāthiqah, intellectual), berupa: akal praktis (‘aql ‘amalī) dan akal teoretis (‘aql nazharī).

Dan al-‘aql al-nazharī terbagi pada 3 tingkatan:
1. al-‘aql al-hayūlānī (akal potensial, material intellect) yang mempunyai “potensi berpikir” dalam arti melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk (māhiyah) dari materinya;
2. al-‘aql bi al-fi’l (akal aktual, actual intellect) yang dapat melepaskan arti-arti (māhiyah) dari materinya dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal yang sebenarnya (aktual), bukan lagi dalam bentuk potensial;
3. al-‘aql al-mustafād (akal pemerolehan, acquired intellect) yang sudah mampu menangkap bentuk murni (pure form) tanpa terikat pada materinya karena keberadaannya (pure form) tidak pernah menempati materi. Al-‘aql al-mustafād bisa berkomunikasi dengan akal ke-10 (Jibril) dan mampu menangkap pengetahuan yang dipancarkan oleh “akal aktif” (‘aql fa’āl). Dan ‘aql fa’āl menjadi mediasi yang bisa mengangkat akal potensial naik menjadi akal aktual, juga bisa mengangkat akal aktual naik menjadi akal mustafad. Hubungan antara ‘aql fa’āl dan ‘aql mustafād ibarat mata dan matahari.

G. Simpulan

Dari pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa pada hakikatnya Allah swt menciptakan manusia di muka bumi ini adalah semata-semata untuk mengabdi kepada-Nya dan untuk menjadi khalifah dimuka bumi. Hakikat penciptaan manusia terdiri dari tiga unsur, yaitu unsur jasmani, unsur akal, dan unsur ruhani, yang mana ketiga unsur tersebut menjadi satu kesatuan pada diri manusia.

Dalam pemikiran filsafatnya, Al-Farabi menggunakan proses konseptual yang disebutnya dengan nazhariyyah al-faidh (teori emanasi) untuk memahami hubungan antara Tuhan dan alam pluralis dan empirik. Menurut teori ini, alam terjadi dan tercipta karena pancaran dari Yang Esa (Tuhan); yaitu keluarnya mumkin al-wujūd (disebut alam) dari pancaran Wājib al-Wujūd (Tuhan). Proses terjadinya emanasi (pancaran) ini melalui tafakkur (berpikir) Tuhan tentang diri-Nya, sehingga Wājib al-Wujūd juga diartikan sebagai “Tuhan yang berpikir”. Tuhan senantiaa aktif berpikir tentang diri-Nya sendiri sekaligus menjadi obyek pemikiran.
Sumber

HAKIKAT MANUSIA DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM



A.    Pendahuluan
Pemikiran tentang hakikat manusia sejak zaman dahulu kala sampai zaman modern sekarang ini juga belum berakhir dan munkin tak akan pernah berakhir. Ternyata orang menyelidiki manusia itu dari berbagai sudut pandang. Ada yang menyelidiki manusia dari segi fisik yaitu antropologi fisik, adapula yang menyelidiki dengan sudut pandang budaya yaitu antropologi budaya. Sedangkan yang menyelidiki manusia dari sisi hakikatnya disebut antropologi filsafat.
Memikirkan dan membicarakan hakikat manusia inilah yang menyebabkan orang tak henti-hentinya berusaha mencari jawaban yang memuaskan tentang pertanyaan yang mendasar tentang manusia itu sendiri, yaitu apa dari mana dan mau kemana manusia itu.
Oleh karena itu pada makalah ini kami akan membahas tentang hakikat manusia dalam filsafat pendidikan islam yang meliputi hakikat Allah menciptakan manusia, apa hakikat manusia, mengapa manusia memerlukan pendidikan, dan mengapa manusia bisa di didik. Semoga dengan pembhasan ini dapat menambah wawasan bagi kita dalam memahami hakikat diri kita sebagai manusia di muka bumi ini.

B.     Hakikat Allah Menciptakan Manusia
Manusia disisi Allah adalah sebagai salah satu ciptaan (makhluk) Allah. Sebagaimana dalam QS. 96 : 2“Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.” QS. 2 : 21“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.”
Makna yang paling mendasar yang dapat diambil dari hal ini (manusia sbg makhluk) adalah bahwa manusia memiliki kekurangan dan keterbatasan. Sesungguhnya semua yang diciptakan oleh Allah memiliki kekurangan dan keterbatasan. Sedangkan Allah Maha Sempurna, tidak memiliki kekurangan, keterbatasan atau kelemahan.Yang menunjukkan hal tersebut adalah ucapan “Subhanallah”, “Maha Suci Allah dari serba kekurangan dan keterbatasan”. Oleh karena itu tidaklah pantas manusia sebagai ciptaan untuk menyombongkan dirinya. Allahlah yang pantas untuk sombong, karena Allah adalah Dzat Yang Maha Sempurna.
Allah swt memeberikan keutamaan lebih kepada manusia dari pada makhluk yang lain. Manusia dilantik menjadi Abdullah dan Khalifatullah dimuka bumi ini untuk memakmurkannya. Oleh karena itu dibebenkan kepada manusia amanah Attaklif, dan diberikankan pula kebebasan dan tanggung jawab memiliki serta memelihara nilai-nilai kemuliaan.
Kemuliaan yang diberikan bukanlah karena bangsanya, warna kulitnya, kecancikannya, perawakannya, harta, derajatnya, akan tetapi semata-mata karena iman dan dan taqwanya kepada Allah swt.
Semua itu dijelaskan dalam al-qur’an surat al-baqarah ayat 21
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa,
Dan ayat 30
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Allah swt juga menjelaskan hakikat ciptaan manusia dalam surat az-zariyat ayat 56 yang artinya “ Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku ”
Hakikat Manusia
Hakikat manusia menurut al-Qur’an ialah bahwa manusia itu terdiri dari unsur jasmani, unsur akal, dan unsur ruhani. Ketiga unsur tersebut sama pentingnya untuk di kembangkan. Sehingga konsekuensinya pendidikan harus di desain untuk mengembangkan jasmani, akal, dan ruhani manusia.
Unsur jasmani merupakan salah satu esensi ( hakikat ) manusia sebagai mana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-baqarah ayat 168 yang artinya “ Hai sekalian manusia makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dari bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan karena sesungguhnya syuetan itu adalah musuh yang nyata bagimu “
Akal adalah salah satu aspek terpenting dalam hakikat manusia. Akal digunakan untuk berpikir, sehingga hakikat dari manusia itu sendiri adalah ia mempunyai rasa ingin, mempunyai rasa mampu, dan mempunyai daya piker untuk mengetahui apa yang ada di dunia ini.
Sedangkan aspek ruhani manusia di jelaskan dalam al-Qur’an surat al-Hijr ayat 29 yang artinya “ Tatkala aku telah menyempurnakan kejadiannya, aku tiupkan kedalamnya ruhku.kedalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud “
Dalam hal ini muhammad Quthub menyimpulkan bahwa eksistensi manusia adalah jasmani, akal, dan ruh, yang mana ketiganya menyusun manusia menjadi satu kesatuan.
Definisi tentang manusia akan banyak kita jumpai dalam berbagai literatur, terutama pada kajian filsafat dan antropologi. Dalam bidang Humaniora, Dr. Alexis Carrel (peletak dasar humaniora barat) mengatakan bahwa manusia adalah makhluq yang misterius, karena derajat keterpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik dengan perhatiannya yang demikian tinggi terhadap dunia yang ada di luar dirinya. Sementara itu, Sastraprateja mendefinisikan manusia sebagai makhluq yang historis. Menurutnya, hakikat manusia sendiri adalah suatu sejarah, suatu peristiwa yang semata-mata datum. Hakikat manusia hanya dapat dilihat dalam perjalanan sejarahnya, dalam sejarah perjalanan bangsa manusia.
Lain halnya dengan al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah, beliau mendefinisaikan manusia sebagai yang diciptakan dari satu gumpalan yang Allah gumpalkan dari segala unsur tanah, yang tanah itu terdapat segala unsur yang baik, yang kotor, yang mudah, yang sedih, yang mulia, dan yang hina. Al-Imam Ibnu Qayyim mendefinisikan manusia pada hakikat penciptaannya. Berangkat dari asal penciptaannya, terlihat bahwa berbagai potensi ada pada diri seorang manusia. Potensi baik, buruk, hina, mulia termasuk angel tendention dan devil tendention ada pada manusia.
Manusia Memerlukan Pendidikan
Bagi filsafat pendidikan penentuan sikap dan tanggapan tentang manusia merupakan hal yang amat penting dan vital. Sebab manusia merupakan unsur terpenting dalam usaha pendidikan. Tanpa tanggapan dan sikap yang jelas tentang manusia pendidikan akan merasa raba.
Bahkan pendidikan itu sendiri itu dalam artinya yang paling asas tidak lain adalah usaha yang dicurahkan untuk menolong manusia menyingkap dan menemukan rahasia alam memupuk bakat dan dan mengarahkan kecendrungannya demi kebaikan diri dan masyarakat . usaha itu berakhir dengan berlakunya perubahan yang di kehendaki dari segi social dan psikologis serta sikap untuk menempuh hidup yang lebih berbahagia dan berarti.
Manusia mengalami proses pendidikan terus berlangsung sampai mendekati waktu ajalnya. Proses pendidikan adalah life long education yang dilihat dari segi kehidupan masyarakat dapat dikatakan ebagai proses yang tanpa akhir.
Bila dipandang dari segi kemampuan dasar pedagogis, manusia dipandang sebagai “homo edukadum” mahluk yang harus dididik, atau bisa disebut “animal educabil ” mahluk sebangsa binatang yang bisa dididik, maka jelaslah bahwa manusia itu sendiri tidak dapat terlepas dari potensi psikologis yang dimiliknya secara individual berbeda dalam abilitas dan kapabilitasnya, dari kemampuan individual lainnya. Dengan berbedanya kemampuan untuk dididk itulah fungsi pendidikan pada hakikatnya adalah melakukan seleksi melalui proses pendidikan atas pribadi manusia.
Dari segi sosial psikologis manusia dalam proses pendidikan juga dapat dipandang sebagai mahluk yang sedang tumbuh dan berkembangdalam proses komonikasi antara individualitasnya dengan orang lain atau lingkungan sekitar dan proses membawanya kea rah pengembangan sosialitas dan moralitasnya. Sehingga dalam proses tersebut terjadilah suatu pertumbuhan atau perkembangan secara dealiktis atau secara interaksional antara individualitas dan sosialitas serta lingkungan sekitarnya sehingga terbentuklah suatu proses biologis, sosiologis, dan psikologis.

Manusia Bisa Dididik
Kemampuan belajar manusia sangat berkaitan dengan kemampuan manusia untuk mengetahui dan mengenal terhadap obyek-obyek pengamatan melalui panca indranya. Membahas kemampuan mengetahui dan mengenal tidak dapat terlepas dari filsafat dalam bidang epistimologi. Karena filsfat ini menunjukkan kepada kita betapa dan sejauh mana manusia dapat mengetahui dan mengenal obyek-obyek pengamatan disekitarnya. Apa pengetahuan itu, cara mengetahui, dan memperoleh pengetahuan serta berbagai jenis pengalaman indrawi.
Panca indera manusia adalah merupakan alat kelengkapan yang dapat membuka kenyataan alam sebagai sumber pengetahuannya yang memunkinkan dirinya untuk menemukan hakikat kebenaran yang diajarkan oleh agamanya atau oleh Tuhannya. Panca indera manusia merupakan pintu gerbang dari pengetahuan yang makin berkembang. Oleh karena itu Allah mewajibkan panca indera manusia untuk digunakan menggali pengetahuan.
 Dalam hal ini islam lebih cenderung untuk menegaskan bahwa perpaduan antara kemampuan jiwa dan kenyataan materi sebagai realita merupakan sumber proses “mengetahui” manusia yang keduanya merupakan “kebenaran”menurut ukuran proses hidup manusiawi bukan Ilahi. Kebenaran yang hakiki hanyalah Tuhan sendiri, dan kebenaran hakiki inilah yang menciptakan segala kenyataan alami dan manusiawi dengan diberi mekanisme hukum-hukumnya sendiri. Bila Ia menghendaki mekanisme itu bisa di rubah menurut kehendaknya.

Konsep Fitrah Manusia
Al-Qur’an memandang bahwa manusia adalah makhluk biologis, psikologis dan sosial. Manusia sebagai basyar tunduk pada taktir Allah, sama dengan makhluk lainnya. Manusia sebagai insan dan al-nas bertalian dengan hembusan illahi atau roh Allah yang memiliki keterbatasan dalam memilih untuk tunduk atau menentang takdir Allah. Pemikiran tentang hakikat manusia dibahas dalam filsafat manusia. Agaknya, manusia sendiri tak henti-hentinya memikirkan dirinya sendiri dan mencari jawab akan apa, dari mana dan mau kemana manusia itu. Pemahaman yang tak utuh tentang manusia dapat berakibat fatal bagi perl;akuan seseorang terhadap sesamanya, misalnya saja pandangan bahwa manusia merupakan fase lanjutan dari spesies tertentu yang mengalami evolusi dan natural selection, akan berimpikasi pada keyakinan bahwa manusia akan terus berkembang menuju penyempurnaan spesies.
Meskipun Islam memandang dalam dua dimensi, yakni jasad dan roh atau mateial dan spritual, lebih dari itu, Islam secara tegas mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah, dapat dididik dan mendidik, hamba Allah yang mulia, berfungsi sebagai pemimpin atau pengelola bumi, dan terakhir dalam keadaan suci atau memiliki kecendrungan menerima agama atau fitrah. Berbeda dengan binatang yang Cuma memiliki nafsu dan insting hewani, nafsu yang ada dalam diri manusia diimbangi dengan potensi akal untuk berfikir dan menimbang apakah sesuatu itu baik atau buruk, membahayakan atau tidak, sedemikian hingga manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya tadi dan tidak berjerumus pada perbuatan tercela. Muslim kaffah tidaklah identik dengan superman dan spideman yang ditokohkan sebagai pahlawan pembela kebenaran dan kekuatan super tak terkalahkan. Gambaran manusia seperti itu menyesatkan, karena disamping manusia memiliki keistimewaan juga memiliki kelemahan.
Kesadaran bahwa manusia hidup didunia sebagai makhluk ciptaan Allah dapat menumbuhkan sikap andap asor dan mawas diri bahwa dirinya bukanlah tuhan. Oleh sebab itu ia melihat sesama manusia sebagai sesama makhluk, tidak ada perhambaan antarmanusia. Jadi, seorang istri tidak menghamba pada suami, dan seorang rakyat tidak menghamba pada pemerintah. Baginya, yang patut menerima penghambaan dari manusia tak lain adalah Allah. Justru, Allah tidak menciptakan manusia selain untuk menghamba atau beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu tidak berlaku konsep manusia sebagai homo homoni lapas atau manusia sebagai pemangsa bagi manusia yang lain. Tidak ada keistimewaan antara manusia dengan manusia yang lain kecuali karena ketaqwaannya kepada Allah. Meskipun demikian, kelebihan dan kemuliaan manusia tidaklah bersifat babadi, tergantung pada sikap dan perbuatannya. Jika manusia tersebut berbuat kerusakan dan berakhlak madzmumah, karunia kemuliaan berupa akal, hati dan panca inderanya tidak dipergunakan semestinya, maka predikat kemanusiaannya turun ketingkat yang paling rendah, bahwa lebih rendah dari hewan ternak. Disamping kelebihan, manusia memiliki aspek kelemahan misalnya kikir, paling banyak membantah, penuh keluh kesah, memiliki hawa nafsu yang mengajak pada kejahatan, mudah putus asa dan tidak berterimakasih. Sebagai hamba Allah, manusia memikul tanggung jawab pribadi, orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan pada hari kiamat nanti mereka datang kepada Allah dengan sendiri-sendiri. Ini membuktikan bahwa manusia sebagai hamba Allah itu memiliki kebebasan individual atas dirinya sendiri namun tetap bertanggung jawab atas segala perbuatanya.
Sebagai khalifah, manusia muslim dimaksudkan tampil dibumi ini dengan wajahnya yang ramah dan anggun untuk memimpin, mengelola dan memakmurkan bumi. Bila hal tersebut tidak dilakukan, maka fungsi khalifah tadi dapat diambil oleh manusia dan golongan yang lain.[6]
Banyak yang mengartikan bahwa bayi yang lahir itu fitrah artinya suci. Jiwa anak tersebut cenderung kepada agama tauhid. Ketika terjadi penyimpangan dalam perkembangan anak itu untuk tidak lagi cenderung kepada agama tauhid, para ulama berargumentasi bahwa hal itu disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
Pengaruh adat dan pergaulan (Mahmud Yunus)
Pengaruh lingkungan (Al-Qur’an dan terjemahnya, Depag)
Pengaruh hawa nafsu dan kekuasaan (Bakri Syahid)
Adanya pendidikan (A. Hassan)
Guru dan mengajarnya (al-Maraghi)
Perbuatan atau usaha kedua orang tuanya (H.R. Bukhari Muslim)
Untuk pengertian suci, bersih, bukan berarti bahwa fitrah disini sama dengan tabularasanya Jonh Locke (1632-1704). Meskipun fitrah punya arti suci-bersih, tetapi fitrah tidak kosong. Fitrah berisi daya-daya yang wujud dan perkembangannya tergantung pada usaha manusia sendiri. Oleh karena itu fitrah harus dikembalikan dalam bentuk-bentuk keahlian, laksana emas atau minyak yang terpendam di perut bumi, tidak ada gunanya kalau tidak digali dan diolah untuk kegunaan manusia. Disinilah letaknya tugas utama pendidikan. Sedangkan pendidikan sangat dipengaruhi faktor  pembawaan dan lingkungan (nativisme dan empirisme). Namun ada perbedaan esensial antara pendidikan islam dengan pendidikan umum. Pendidikan islam berangkat dari filsafat  pendidikan theocentric, sedangkan  pendidikan umum berangkat dari filsafat anthropocentric.
Theocentric memandang bahwa semua yang ada diciptakan oleh Tuhan, berjalan menurut hukum-Nya. Filsafat ini memandang bahwa manusia dilahirkan sesuai dengan dengan fitrah-Nya dan perkembangan selanjutnya tergantung pada lingkungan dan pendidikan yang diperoleh. Sedang seorang pendidik atau guru hanya bersifat membantu, serta memberikan penjelasan-penjelasan yang sesuai dengan tahap perkembangan pemikiran dan akhirnya pelajar sendirilah yang belajar. Sedangkan filsafat anthropocentric lebih mendasarkan ajarannya pada hasil pemikirin manusia dan berorientasi pada kemampuan manusia dalam hidup keduniawiyan.
Sehubungan dengan ini, maka persamaan dan perbedaan pendidikan islam dan aliran empirisme ialah: pertama, keduanya sepakat bahwa anak yang baru lahir adalah bersih dan suci, ibarat kertas putih yang siap ditulis oleh pendidik. Kedua, karena adanya perbedaan konsep antara fitrah dengan teori tabularasa, maka peranan pendidik dalam konsep pendidikan islam lebih terbatas dibandingkan dengan peranan pendidik dalam aliran empirisme, dalam membentuk dan mengembangkankepribadian anak didik tersebut.
Persamaan dan perbedaan pendidikan islam dengan aliran nativisme: pertama, keduanya mengakui pentingnya faktor pembawaan, sehingga anak didik berperan besar dalam membentuk dan mengembangkan kepribadiannya. Kedua, dalam pendidikan islam karena adanya nilai agama yang memiliki kebenaran mutlak, maka pendidik bukan hanya sekedar pembantu tetapi ia bertanggungjawab akan terbentuknya kepribadian muslim pada anak didik.
Persamaan dan perbedaan pendidikan islam dengan konvergensi: pertama, keduanya mengakui pentingnya factor endogen dan eksogen dalam membentuk dan mengembangkan kepribadian anak didik. Kedua, perbedaannya, dalam islam kemana kepribadian itu harus dibentuk dan dikembangkan sudah jelas, yaitu ma’rifatullah dan bertakwa kepada-Nya.sedangkan dalam pendidikan yang berdasarkan anthropocentric pembentukan dan pengembangan kepribadian diarahkan untuk mencapai kedewasaan dan kesejahteraan hidup didunia.
Berbeda dengan faham materialisme (faham kebendaan) yang meyakini bahwa manusia mati berarti hilangnya eksistensi manusia secara total. Dalam islam, sebagaimana disampaikan oleh Mastuhu, fitnah manusia itu setelah mati akan kembali kepada Allah SWT. Upaya pengembangan fitrah manusia dalam seluruh aspek yang meliputi spiritual, intelektual, dan keterampilan yang dapat  dimanfaatkan untuk kemajuan dan kesejahteraan hidup (individu dan sosial) dalam tugasnya sebagai khalifah Allah SWT, diwujudkan dalam rangka memenuhi tujuan yang satu  yaitu mengabdi kepada-Nya. Oleh karena itu fitrah harus tetap dikembangkan secara wajar bila mana mendapatkan bimbingan yang dijiwai oleh wahyu. Tentu saja hal ini harus didorong dengan pemahaman islam secara kaffah. Semakin tinggi tingkat interaksi seseorang dengan islam semakin baik pula perkembangan fitrahnya.
Dalam ketentuannya-Nya, Allah menunjukkan dua macam jalan, yaitu jalan yang benar dan jalan yang sesat, dan manusia diberi kebebasan untuk memilih antara  dua jalan tersebut. Atas dua macam jalan ini ada kalanya manusia itu bersyukur, ada kalanya manusia itu kufur atau mengingkari kebenaran yaitu memilih jalan yang sesat. Ketentuan Allah menunjukkan bahwa setiap manusia diberi dua kecenderungan, yaitu kecenderungan nafsu untuk menjadikannya kafir yang ingkar terhadap tuhannya dan kecenderungan yang membawa sikap bertaqwa menaati perintah-Nya. Ayat ini dapat dijadikan sumber pandangan bahwa usaha mempengaruhi jiwa manusia  melalui pendidikan dapat berperan positif untuk mengarahkan perkembangan kepada jalan kebenaran yaitu islam, dengan tanpa melalui usaha pendidikan. Manusia akan terjerumus kejalan yang salah atau sesat yaitu kafir, dengan kata lain mengingkari “fitratallah”, meskipun ketentuan Allah itu bukan suatu paksaan.
Jelaslah bahwa faktor kemampuan memilih  yang terdapat didalam fitrah manusia (human nature) berpusat pada kemampuan berfikir sehat (berakal sehat), karena akal sehat mampu membedakan hal-hal yang benar dari yang salah. Sedangkan seseorang yang mampu menjatuhkan pilihan secara tepat hanyalah orang yang berpendidikan sehat. Dengan demikian berfikir benar dan sehat adalah merupakan fitrah yang dapat dikembangkan melalui pendidikan dan latihan. Sejalan dengan interpretasi ini maka dapat dinyatakan bahwa pengaruh faktor lingkungan yang disengaja yaitu pendidikan dan latihan berproses secara interaktif dan linier dengan kemampuan fitrah manusia. Dalam pengertian ini pendidikan islam berproses secara konvergensis (convergen: bertemu, berpadu), yang dapat membawa kepada faham konvergensi  dalam pendidikan islam.

Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa pada hakikatnya Allah swt menciptakan manusia di muka bumi ini adalah semata-semata untuk mengabdi kepada-Nya dan untuk menjadi khalifah dimuka bumi. Hakikat penciptaan manusia terdiri dari tiga unsur, yaitu unsur jasmani, unsur akal, dan unsur ruhani, yang mana ketiga unsur tersebut menjadi satu kesatuan pada diri manusia.
Sebagai makhluk yang dibekali dengan berbagai kelebihan jika dibandingan denagn makhluk lain, sudah sepatutnya manusia mensyukuri anugrah tersebut dengan berbagai cara, diantaranya dengan memaksimalkan semua potensi yang ada pada diri kita. Kita juga dituntut untuk terus mengembangkan potensi tersebut dalam rangka mewujudkan tugas dan tanggung jawab manusia sebagai makhluk dan khalifah di bumi.

Sumber

MANUSIA DAN PENDIDIKAN (Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam)

Ditulis oleh : Bekti B. Zaenuddin, Drs., M.Pd.I
A. Pendahuluan
Problematika pendidikan adalah masalah hidup dan kehidupan manusia. Dalam kehidupannya, manusia akan selalu memerlukan pendidikan agar ia mampu mempertahankan hidup atau dapat mencapai kehidupannya agar lebih baik.
Dalam sejarah, pendidikan sudah dimulai sejak adanya makhluk bernama manusia, ini berarti pendidikan itu tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan proses perkembangan dan kehidupan manusia.
Usaha untuk menciptakan suatu sistem pendidikan yang dapat memindahkan nilai-nilai kebudayaan yang dikehendaki tersebut belum sepenuhnya dapat mencapai hasil yang maksimal serta memuaskan. Dengan kata lain, sistem pendidikan yang benar-benar mapan dapat diterima secara universal, bentuk nilai-nilai filosofis, serta serasi dengan fitrah manusia dan tatanan masyarakat masih belum ditemui.2
Hal itu terlihat dari kenyataan hasil yang telah dicapai oleh pendidikan model Barat yang lebih menonjolkan aspek rasional manusia. Pendidikan memang telah menghasilkan kemajuan dibidang ilmu pengetahuan. Namun pendidikan model ini belum sepenuhnya mampu menyentuh kebutuhan hakiki dari manusia secara sempurna yaitu kebutuhan nilai-nilai kemanusiaan, baik dari aspek jasmani maupun rohani.
Beberapa kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah mampu memberikan kehidupan lebih mudah dan nyaman tersebut, justru telah menimbulkan permasalahan baru, keraguan, keresahan dan rasa tidak aman,

semakin dirasakan manusia. Bahkan kemajuan tersebut telah berubah manjadi bencana yang sewaktu-waktu dapat mengancam kelangsungan hidup manusia.3
Kelemahan-kelemahan seperti telah disebutkan diatas, bukan tidak disadari oleh pakar pendidikan barat. Tetapi usaha untuk mengatasi kelemahan itu belum ditemukan kelanjutannya. Hal ini telah mendorong para filosof untuk mencari kebenaran lain yang dapat dijadikan dasar bagi sistem pendidikan. Pergulatan berlangsung sedemikian rupa hingga pada akhirnya para ilmuwan tersebut mau tidak mau kembali menoleh kepada hakikat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Para filosof dan ilmuwan dituntut untuk mencari jawaban dari beberapa pertanyaan prinsipil, pertanyaan itu, menurut Jacques Maritain, -- sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin--, mengarah kepada pemikiran filsafat pendidikan, yaitu siapa manusia, dimana dan kemana manusia akan pergi, apa yang menjadi tujuan hidup manusia, semua hal ini dikaji dalam bentuk penciptaannya.4
Salah satu tema sentral filsafat pendidikan adalah pembahasan tentang masalah manusia. Hai ini disebabkan karena keterlibatan manusia dalam proses pendidikan sangatlah jelas. Dimana dalam pendidikan, manusia berperan sebagai subjek sekaligus objek pendidikan5. Sementara itu dalam dunia pendidikan, pemahaman tentang manusia sangatlah penting, As-Syaibani menyatakan bahwa penentuan sikap dan tanggapan tentang manusia sangat penting dan vital, tanpa sikap dan tanggapan yang jelas, pendidikan akan meraba-raba.6 Apabila pemahaman tentang manusia tidak jelas, maka berakibat tidak baik pada proses pendidikan itu sendiri.
Persoalan yang kemudian muncul adalah cara pandang atau konsep manusia yang digunakan menentukan konsep-konsep lanjutan pada suatu

disiplin ilmu atau aliran tertentu. Begitu juga apabila menelaah pendidikan, maka setiap aliran, teori atau sistem pendidikan berakar pada sebuah pandangan falsafah manusia yang digunakan.
Sebagai contoh apa yang terjadi dalam tradisi pendidikan di Barat yang berdasarkan pada filsafat positivistik sehingga pendidikan menjadi bebas nilai. Manusia dalam pendidikan dipandang sebagai objek yang tidak jauh berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Perbedaannya hanya dalam fungsi berfikir, kemudian dikatakanlah bahwa manusia adalah binatang yang berfikir (al-insanu al-hayawan an-natiq). Kemudian pemikiran ini melahirkan pandangan dan sikap hidup materialisme. Puncak kepuasan manusia terletak pada pemuasan materi. Materialisme dan sekuler (isme) berjalan seiring dan jalin berkelindan satu sama lain.7
Kesalahan pemahaman yang telah dilakukan ilmuwan dalam memandang manusia berakibat pada manusia itu sendiri. Karena pada kenyataannya tidak semua kehidupan manusia dapat dirasionalkan. Banyak bagian dari kehidupan manusia yang hadir dalam bentuk cinta, seni, kematian dan sebagainya.
Pandangan yang bersifat antroposentris ini jauh berbeda dengan pandangan Islam dalam melihat manusia dari segi hakikat jati diri atau substansi manusia. Manusia adalah makhluk yang mempunyai berbagai keistimewaan yang berbeda dengan makhluk lain. Manusia memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi jasmani, rohani dan roh.8 Roh (bukan unsur rohani) menurut Hasan Langgulung, didefinisikan dengan unsur fitrah ketauhidan pada diri manusia. Tuhan memberi manusia potensi yang sejalan dengan sifat-sifat-Nya dalam kadar terbatas.9 Aspek ruhani inilah yang tidak tersentuh oleh pendidikan yang berlangsung di Barat.

Dasar yang melandasi pemikiran pendidikan Islam adalah konsep filsafat pendidikan yang menyatakan bahwa segala yang ada terwujud melalui proses penciptaan (creation ex nihilo) bukan terwujud dengan sendirinya. Konsep yang bersifat Antroporeligiocentris inilah yang mendasari konsep-konsep dasar pendidikan Islam lainnya, seperti tentang hakikat manusia, tujuan pendidikan yang kemudian akan mengarahkan kepada pelaksanaan pendidikan Islam.10 Memahami kondisi demikian, maka diperlukan konsep baru tentang manusia yang mempunyai landasan kuat dan jelas, sehingga manusia dipandang dan ditempatkan secara benar dalam arti sesungguhnya.
B. Pembahasan
1. Manusia dalam Pandangan Islam
Secara garis besar melalui pendekatan historis sosiologis, pendidikan Islam dapat ditinjau dari dua segi, yaitu dari sudut pandang masyarakat dan dari sudut pandang individu. Masyarakat memandang pendidikan sebagai pewarisan kebudayaan atau nilai-nilai budaya baik yang bersifat intelektual, keterampilan, dan keahlian dari generasi sebelumnya kepada generasi sekarang agar masyarakat tersebut terpelihara kelangsungan hidupnya atau tetap memelihara kepribadiannya. Adapun dari segi individu pendidikan berarti upaya pengembangan potensi-potensi yang dimiliki individu yang masih terpendam agar teraktualisasikan secara kongkret, sehingga hasilnya bisa dinikmati individu dan masyarakat.11
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa pendidikan itu mempunyai fungsi ganda. Pada satu sisi pendidikan berfungsi untuk memindahkan nilai-nilai menuju pemilikan nilai (internalisasi atau personalisasi) untuk memelihara kelangsungan hidup (survive) suatu masyarakat dan peradaban, pada sisi yang

lain pendidikan berfungsi untuk mengaktualisasikan fitrah manusia agar dapat hidup secara optimal, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat, serta mampu memikul tanggung jawab atas segala perbuatannya sehingga memperoleh kebahagiaan dan kehidupan yang sempurna.
Pendidikan Islam sebagai suatu proses spiritual, akhlaq, dan sosial sudah barang tentu berusaha membimbing manusia dan memberinya nilai-nilai prinsip dan teladan ideal dalam kehidupan yang bertujuan mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat.12
Menurut Hasan Langgulung ada lima sumber nilai yang diakui dalam Islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai sumber yang asal. Kemudian qiyas, artinya membandingkan masalah yang disebut oleh Al-Qur’an atau Sunnah dengan masalah yang dihadapi umat Islam tetapi nash yang tegas dalam Al-Qur’an tidak ada. Kemudian kemashlahatan umum yang tidak bertentangan dengan nash. Sedangkan sumber kelima adalah ijma’ ulama dan ahli fikir Islam yang sesuai dengan sumber dasar Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.13
Falsafah pendidikan Islam berasal dari falsafah hidup Islam mencakup kebenaran (truth) yang bersifat spekulatif dan praktikal yang menolong untuk menafsirkan tentang manusia, sifat-sifat ilahiyah-Nya, nasib kesudahannya, dan keseluruhan hakikat (reality). 14 Konsep manusia sangat penting artinya di dalam suatu sistem pemikiran dan di dalam kerangka berfikir seorang tokoh intelektual atau pemikir. Konsep tentang manusia menjadi penting karena ia termasuk bagian dari pandangan hidup seseorang.15 Dibawah ini penulis paparkan sekilas mengenai beberapa tema pokok dalam konsep manusia dalam falsafah pendidikan Islam.

a. Hakikat Penciptaan Manusia

Penciptaan adalah proses mewujudkan gagasan dalam pernyataan. Penciptaan adalah suatu aktivitas yang sangat menentukan bagi adanya eksistensi. Eksistensi Tuhan sepenuhnya melekat pada penciptaan, karenanya dalam ciptaan Tuhan termuat eksistensi diri Tuhan. Kesempurnaan dan keteraturan serta keseimbangan yang terkandung dalam ciptaan Tuhan adalah merupakan wujud dari kesempurnaan Tuhan. Sedangkan penciptaan bagi manusia adalah aktivitas yang menentukan eksistensinya di dunia ini. 16
Dalam Al-Qur’an penciptaan manusia disebutkan dengan memakai kata khalaqa yang artinya menciptakan atau pembentuk. kata “khalaqa” menunjuk pada pengertian menciptakan sesuatu yang baru, tanpa ada contoh terlebih dahulu atau dapat juga menunjuk pada pengertian sesuatu ketentuan atau ukuran yang tepat.17
Dalam Al-Qur’an manusia disebut dengan berbagai nama antara lain : al-basyar, al-insan, bani adam, al-ins, abdillah dan khalifatullah.18 Dibawah ini akan diuraikan pengertian manusia dalam berbagai kata dan istilah yang dipakai dalam Al-Qur’an.
1) Konsep Al-Basyar
Manusia dalam konsep al-basyar, dipandang dari pendekatan biologis pada hakikatnya tidak berbeda dengan makhluk lain yang terdiri dari unsur biotik lainnya walaupun strukturnya berbeda.19
Manusia memerlukan makanan dan mengalami pertumbuhan dan perkembangan dalam mencapai tingkat kematangan dan kedewasaan. Selain itu manusia memerlukan pasangan hidup untuk melanjutkan keturunannya.

2) Konsep Al-Insan
Manusia sebagai makhluk psikis (al-insan) mempunyai potensi rohani seperti fitrah, kalbu dan akal. Potensi itu menjadikan manusia sebagai makhluk yang mempunyai kedudukan tinggi dan berbeda dengan makhluk lainnya.20 Apabila manusia tidak menjalankan fungsi psikisnya ia tidak ubahnya seperti binatang bahkan lebih hina. Selain itu manusia termasuk makhluk yang lalai, sehingga sering lupa akan tugas dan tanggung jawabnya.21 sehingga mengakibatkan manusia terjerumus dalam penderitaan hidup.
3) Konsep Al-Nas
Manusia adalah makhluk sosial, ia diciptakan sebagai makhluk yang bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan wanita, kemudian berkembang biak menjadi suku bangsa untuk saling mengenal.22
Peranan manusia dititikberatkan pada upaya untuk menciptakan keharmonisan hidup bermasyarakat. Sedangkan masyarakat dalam ruang lingkup yang paling sederhana adalah keluarga, hingga keruang lingkup yang lebih luas yaitu antar negara dan bangsa.
4) Konsep Bani Adam
Manusia selaku bani adam dikaitkan dengan gambaran peran Nabi Adam As. saat awal diciptakan. Dikala Adam As akan diciptakan para malaikat seakan mengkhawatirkan kehadiran makhluk ini. Mereka memperkirakan dengan penciptaannya, manusia akan jadi biang kerusakan dan pertumpahan darah. Kemudian terbukti bahwa Adam As bersama istrinya Siti Hawa dikeluarkan karena terjebak hasutan syetan.
Mengacu dari latar belakang penciptaannya, tampak manusia selaku bani Adam memiliki peluang untuk digoda syetan. Namun lebih dari itu

konsep Bani Adam dalam bentuk menyeluruh menitikberatkan pada upaya pembinaan hubungan persaudaraan antara sesama manusia. Menyatukan visi bahwa manusia pada hakikatnya berawal dari nenek moyang yang sama, yaitu Nabi Adam As. dengan demikian apapun latar belakang sosial kultural, agama, bangsa dan bahasa harus dihargai dan dimuliakan.23
5) Konsep Khalifatullah
Hakikat penciptaan manusia dimuka bumi salah satunya adalah sebagai khalifatullah. Manusia sebagai khalifah Allah, menjadi wakil Tuhan di muka bumi, yang memegang mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi.24
Sebagai wakil Tuhan, maka Tuhan telah mengajarkan kepada manusia tentang kebenaran-kebenaran dalam segala ciptaan-Nya, dan melalui pemahaman serta penguasaan terhadap hukum-hukum kebenaran yang terkandung dalam ciptaan-Nya – semua yang ada dalam alam ini – maka manusia dapat menyusun konsep-konsep serta melakukan rekayasa membentuk wujud baru dalam alam kebudayaan.
Tugas kekhalifahan pada dasarnya adalah tugas kebudayaan yang berciri kreatif agar selalu dapat menciptakan sesuatu yang baru sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Manusia dianugerahkan kelebihan dan kemampuan dalam hal pengetahuan konseptual (berfikir), kemampuannya menerima pelajaran tentang nama-nama benda dan kemampuannya menegaskan nama-nama tersebut. Tujuannya adalah untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan hidup dimuka bumi ini.25

6) Konsep Abdillah
Kata ábd disamping mempunyai arti budak, dalam pengertian negatif, ia juga mengandung pengertian yang positif, yaitu dalam hubungan antara manusia dengan penciptanya. Seorang hamba Tuhan artinya orang yang taat dan patuh terhadap perintah-Nya . Kata ‘abid dalam Al-Qur’an dipakai untuk menyebut semua manusia dan jin.
Kata “ibadah” diartikan sebagai sesuatu kegiatan penyembahan, atau pengabdian kepada Allah. dalam pengertian sempit, kata ibadah hanya menunjuk pada segala aktifitas pengabdian yang sudah digariskan oleh syariat Islam, baik bentuknya, caranya, waktunya serta syarat dan rukunnya.26
Sedang dalam pengertian luas, ibadah tidak hanya terbatas pada hal-hal yang disebutkan diatas, namun mencakup segala aktivitas pengabdian yang ditujukan kepada Allah semata.
Ibadah dalam Islam lebih merupakan amal saleh dan latihan spiritual yang berakar dan diikat oleh makna yang hakiki dan bersumber dari fitrah manusia. 27
Dapat disimpulkan, bahwa hakikat penciptaan manusia dimuka bumi sebagai khalifah Allah dan juga sebagai ‘abd Allah, bukanlah dua hal yang bertentangan, tetapi merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Kekhalifahannya adalah realisasi dari pengabdiannya kepada Tuhan yang menciptakannya. Kedudukan manusia sebagai khalifah dan ‘abd pada dasarnya merupakan kesatuan pembentuk kebudayaan. Kebudayaan dibentuk oleh adanya pemikiran terhadap alam sekitarnya dan pemahaman terhadap hukum-hukumnya yang kemudian diwujudkan dalam tindakan.28

b. Kebebasan Manusia
Menurut Imam Al-Ghazali perbuatan merupakan suatu gerak, apabila dihubungkan dengan perbuatan manusia terdiri atas gerak yang tidak disadari (al-thabi’iyat) dan gerak yang disadari (al-iradiyat). Perbuatan juga terdiri atas kedua bentuk tersebut. Perbuatan yang disadari ini disebut perbuatan bebas (al-ikhtiyari). Perbuatan semacam ini terjadi setelah melalui tiga tahap peristiwa dalam diri manusia, yaitu pengetahuan (al-‘ilm), kemauan (al-iradat), dan kemampuan (al-qudrat). Adapun yang lebih dekat diantara ketiga tahap itu dengan wujud perbuatan adalah al-qudrat yaitu jiwa penggerak dari jiwa sensitif (al-muharrikat), yaitu makna yang tersimpan dalam otot-otot. Fungsi al-qudrat adalah menggerakan otot.
Meskipun perbuatan manusia yang bersifat ikhtiyari tidak memperlihatkan kebebasan manusia dan efektivitasnya dalam perwujudan perbuatan-perbuatan itu, namun perbuatan ikhtiyari senantiasa mempunyai prinsip, sarana dan tujuan.
Dalam memilih perbuatan “baik” dari yang “buruk” memerlukan al-ta’yid atau penguatan dari Tuhan, yaitu bagian dari inayat dan ta’lif dari Tuhan. Disini Tuhan sangat berkuasa dalam menetapkan wujud dan menentukan wujud perbuatan manusia, karena yang menciptakan gerak dan kekuasaan adalah Tuhan.
c. Fitrah Manusia.
Kata “fitrah” berasal dari kata kerja (fi’il) fathara yang berarti “menjadikan”. Secara etimologis fitrah berarti : kejadian, sifat semula jadi, potensi dasar, kesucian. Didalam kamus munjid ditemukan bahwa fitrah mempunyai arti yaitu sifat yang menyifati segala yang ada pada saat selesai di ciptakan.29.
Para ulama telah memberikan berbagai interpretasi tentang fitrah. Muzayyin menyimpulkan bahwa fitrah adalah suatu kemampuan dasar berkembang menusia yang dianugerahkan Allah kepadanya. Didalamnya

terkandung berbagai komponen psikologis yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menyempurnakan bagi hidup manusia.30
Salah satu fitrah di antara sekian banyak jenis fitrah adalah fitrah beragama. Dengan fitrah beragama itu manusia menerima Allah sebagai Tuhannya; atau dengan kata lain manusia dari asal kejadiannya mempunyai kecenderungan beragama, sebab agama itu sebagian dari fitrahnya.
2. Penciptaan Manusia dan implikasinya terhadap pendidikan Islam
Apabila dilihat dari proses kejadian manusia secara khusus, maka nuthfah merupakan titik awal yang terus berproses menjadi manusia sempurna (kejadiannya) secara fisik/materi. M. Quraish Shihab sewaktu menyitir ayat Al-Mu’minun ayat 12-14, beliau menyimpulkan bahwa proses kejadian manusia secara fisik/ materi ada lima tahap, yaitu (1) nuthfah; (2) ‘alaqah ; (3) mudlghah atau pembentuk organ-organ penting ; (4) ‘idham (tulang); dan (5) lahm (daging).31
Menurut Muhaimin, dalam proses kejadian manusia dapat ditemukan nilai-nilai pendidikan yang perlu dikembangkan dalam proses pendidikan Islam,32 yaitu :
(1) Salah satu cara yang ditempuh oleh Al-Qur’an dalam menghantarkan manusia untuk menghayati petunjuk-petunjuk Allah ialah dengan cara memperkenalkan jati diri manusia itu sendiri, bagaimana asal kejadiannya, darimana datangnya dan bagaimana ia hidup. Hal ini sangat perlu untuk diingatkan kepada manusia melalui proses pendidikan, sebab gelombang hidup dan kehidupan seringkali menyebabkan manusia lupa diri.
(2) Ayat-ayat yang berkaitan dengan penciptaan secara implisit mengungkapkan pula kehebatan, kebesaran dan keagungan Allah Swt.

dalam menciptakan manusia. Pendidikan dalam Islam antara lain diarahkan kepada peningkatan iman, pengembangan wawasan atau pemahaman serta penghayatan secara mendalam terhadap tanda-tanda keagungan dan kebesaran Allah sebagai Sang Khaliq.
(3) Proses kejadian manusia dalam Al-Qur’an melalui dua proses dengan enam tahap, yaitu proses fisik/materi/jasadi (dengan lima tahap),dan proses non fisik/immateri dengan satu tahap tersendiri yaitu tahap penghembusan/peniupan roh pada diri manusia oleh Tuhan. Pada saat itu manusia memiliki berbagai potensi, fitrah, hikmah yang hebat dan unik, baik lahir dan batin. Untuk itu pendidikan dalam Islam, antara lain diarahkan kepada pengembangan jasmani dan rohani secara harmonis, serta pengembangan fitrah manusia secara terpadu dan holistik.
(4) Proses kejadian manusia yang tertuang dalam Al-Qur’an ternyata semakin diperkuat oleh penemuan-penemuan ilmiah, sehingga memperkuat keyakinan manusia akan kebenaran Al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah Swt, bukan buatan atau ciptaan Nabi Muhammad Saw. Maka dengan hal ini pendidikan dalam Islam antara lain diarahkan kepada pengembangan semangat ilmiah untuk mencari dan menemukan kebenaran ayat-ayat-Nya.
Perbedaan tujuan pendidikan Islam dengan tujuan-tujuan pendidikan modern ala barat seperti pada mazhab kemanusiaan yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai perwujudan diri (self-actualization) sebagai tujuan tertinggi pendidikan, sedang menurut Islam pengembangan fitrah secara sempurna adalah salah satu aspek utama tujuan pendidikan Islam. Perkembangan spiritual (ruh), kebebasan kemauan dan akal (‘aql) adalah aspek-aspek lain yang perlu dikembangkan disamping perkembangan jasmani dan ruhani. 33Apabila dikaitkan pada tujuan pendidikan Islam, Al-Abrasyi membagi

tujuan pendidikan dalam Islam kepada dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus,34 yaitu :
a. Tujuan umum pendidikan Islam
1. untuk mengadakan pembentukan akhlak yang mulia
2. untuk mempersiapkan untuk kehidupan dunia dan akhirat
3. untuk mempersiapkan dalam mencari penghidupan yang baik, yaitu dalam segi profesional
4. untuk menumbuhkan semangat ilmiah pada pelajar/mahasiswa dan memuaskan keingin tahuan dan memungkinkan ia mengkaji ilmu itu sendiri.
b. Tujuan khusus pendidikan Islam
Yang dimaksud dengan tujuan khusus adalah perubahan-perubahan yang diinginkan. Dengan kata lain , gabungan pengetahuan, keterampilan, pola-pola tingkah laku, sikap nilai-nilai dan kebiasaan yang terkandung dalam tujuan akhir atau tujuan umum.
Diantara tujuan-tujuan khusus yang mungkin dapat diambil adalah menanamkan iman yang kuat kepad Allah pada diri peserta didik, perasaan dan semangat keagamaan dan akhlak pada diri dan menyuburkan hati mereka dengan rasa cinta, zikir, takwa, dan takut kepada Allah.
Menurut Muhaimin, implikasinya terhadap fungsi pendidikan Islam, antara lain untuk membimbing dan mengarahkan manusia agar mampu mengemban amanah dari Allah, yaitu menjalankan tugas-tugas hidupnya di muka bumi, baik sebagai ‘abdullah (hamba yang harus selalu tunduk dan taat terhadap segala peraturan dan kehendak-Nya serta mengabdi hanya kepada-Nya), maupun sebagai ,khalifatullah , yang menyangkut pelaksanaan tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri, dalam keluarga, dalam masyarakat, dan tugas kekhalifahan terhadap alam.35

C. Penutup
Pendidikan dan manusia selamanya tak kan pernah terpisah dan hilang dalam peradaban manapun dan kapan pun. Oleh karenanya diskursus mengeni keduanya merupakan sebuah kemestian untuk terus dikaji dan ditelaah secara komprehensif sehingga menciptakan keserasian ketika antara keduanya saling berinteraksi dalam dinamikanya. Pendidikan Islam jika dilihat sebagai suatu metode dan tujuan yaitu untuk mengenal dan mengembangkan fitrah manusia sebagai khalifatullah fi al-ard sudah selayaknya akan selalu mencerna semua perubahan disetiap peradaban yang terdapat dalam masa dan tempat yang berbeda.
Konsep manusia dalam pandangan Islam terdiri dari berbagai konsep-konsep dasar meliputi konsep khalifah Allah di muka bumi yang mengandung potensi seperti fitrah manusia, roh disamping pemenuhan kebutuhan jasmani, kebebasan kemauan manusia dan potensi akal pikiran. Adapun mengenai implikasi konsep manusia, pada intinya pendidikan Islam dalam tujuan akhirnya (ultimate aim) adalah pembentukan pribadi khalifah bagi anak didik yang ciri-cirinya terkandung dalam konsep ibadah dan amanah yaitu memiliki fitrah, roh disamping badan, kemauan yang bebas, dan akal. Dengan kata lain tugas pendidikan adalah mengembangkan keempat aspek ini pada manusia agar ia dapat menempati kedudukan sebagai khalifah.
Pendidikan dalam Islam tidak semata-mata pencarian keilmuan yang bersifat positivistik an sich, lebih dari itu sebuah pendidikan merupakan aktifitas ibadah dalam pembangunan akhlaq al-karimah yang mendorong manusia untuk bisa menempuh kehidupan yang bertauhid dan sesuai dengan norma-norma Islam. Oleh karena itu pendidikan dalam Islam bukan merupakan suatu tujuan akan tetapi suatu metode yang bertujuan untuk kebenaran (haq) dan kebahagiaan manusia itu sendiri.
Wallahu a’ lam bish showaab.



1 Pembantu Ketua I Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Tasikmalaya
2 Jalaluddin, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta : Raja Grafindo, 1994), hlm. 13
3 Syed Hussen, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam,(Crisis Muslim Education), terj. Rahman A,(Bandung: Gema Risalah, 1994) hlm. 58
4 Jalaluddin , Filsafat Pendidikan, Op.Cit. hlm. 14
5 Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Suatu Tinjauan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1997), hlm.12
6 Omar Muhammad At-Toumi Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), hlm. 10
7 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, pengantar kepada metafisika buku ke tiga, (Jakarta :Bulan Bintang, 1996) hlm. 150.
8 At-Toumi As-Syaibani, Op.Cit, hlm. 11
9 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidian, Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: AL Husna Zikra, 1986) hlm.5
10 Chabib Thoha, dkk, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Semarang: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 286
11 Hasan Langgulung, Asas-Asas pendidikan Islam, (Jakarta : Al-Husna Zikra, 2000), hlm. 1
12 Abdul Khaliq, dkk, Pemikiran pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) hlm.
13 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang pendidikan Islam, (Bandung :Pustaka AL-Ma’arif, 1995), hlm. 93
14 Hasan Langgulung, Manusia dan pendidikan ,Op.cit.hlm.3
15 Muhammad Yasir Nasution, op.cit hlm. 1
16 Musa Asy’ari, op.cit, hlm. 55
17 Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab (Mesir: Dar al-Misriyah li at-Ta’lif wa at-Tarjamah, 1968),
jilid 1,p.889
18 Jalaluddin, Teologi Pendidikan,(Jakarta: Rajawali Press, 2000) hlm. 18
19 Muhaimin, dan Abdul Mudjib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka dasar Operasionalnya.( Bandung : Tri Genta, 1993) hlm 10
20 Ibid, hlm. 11
21 Jalaluddin,Op.Cit. hlm. 21
22 Ibid, hlm.22
23 Ibid
24 Musa Asy’ari, op.cit. hlm. 43
25 ibid
26 Abu Tauhid, op.cit. hlm 28
27 Abdurrahman An Nahlawy, Pendidikan Islam di Rumah dan Masyarakat, (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hlm. 62
28 H. Musa Asyari,op.cit, hlm. 49
29 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam , ( Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hlm. 201
30 Muzayyin Arifin, Pendidikan Islam dan Arus Dinamika Masyarakat, (Jakarta:Golden Trayon Press, tt) hlm.54
31 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Jakarta, Mizan, 1995, hlm.
32 Muhaimin, Op.cit, , hlm. 11
33 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan . Op.cit, hlm. 58-59
34 Athiyah Al-Abrasyi, Al-Tarbiyah Al-Islamiyah wa Falasifatuha, Kahisan : Issa al-Babi al-Halabi, 1969, hlm. 70
35 Drs. Muhaimin, Paradigma..., Op.cit, hlm. 24
Sumber

HAKEKAT MANUSIA DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


HAKEKAT MANUSIA
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN
ISLAM
Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata kuliah
Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Prof.Dr.  H. Jamali, MAg


Oleh :
KARIRI


PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
 PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)SYEKH NURJATI
CIREBON
2014


BAB I
PENDAHULUAN

Manusia merupakan makhluk yang
sangat unik. Upaya pemahaman hakekat manusia sudah  dilakukan sejak dahulu. Namun, hingga saat
ini belum mendapat pernyataan yang benar-benar tepat dan pas, dikarenakan
manusia itu sendiri yang memang unik, antara manusia satu dengan manusia lain
berbeda-beda. Bahkan orang kembar identik sekalipun, mereka pasti memiliki
perbedaan. Mulai fisik, ideologi, pemahaman, kepentingan, dan lain-lain.
Para ahli pikir dan ahli filsafat
memberikan sebutan kepada manusia sesuai dengan kemampuan yang dapat dilakukan
manusia di bumi ini;
a.     
Manusia adalah Homo
Sapiens
, artinya makhluk yang mempunyai budi,
b.    
Manusia adalah Animal
Rational
, artinya binatang yang berfikir,
c.     
Manusia adalah Homo
Laquen
, artinya makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan
pikiran manusia dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun,
d.    
Manusia adalah Homo
Faber
, artinya makhluk yang terampil. Dia pandai membuat perkakas atau disebut
juga Toolmaking Animal yaitu binatang yang pandai membuat alat.
e.     
Manusia adalah Zoon
Politicon
, yaitu makhluk yang pandai bekerjasama, bergaul dengan orang lain
dan mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
f.     
Manusia adalah Homo
Economicus
, artinya makhluk yang tunduk pada prinsip-prinsip ekonomi dan
bersifat ekonomis,
g.    
Manusia adalah Homo
Religious
, yaitu makhluk yuang beragama.

            Berbicara tentang manusia   dalam
Islam adalah membicarakan sesuatu yang sangat klasik namun senantiasa aktual.
Berbicara tentang  hal tersebut sama saja
dengan berbicara tentang kita sendiri dan keyakinan asasi kita sebagai makhluk
Tuhan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
‘manusia’ diartikan sebagai ‘makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk
lain); insan; orang’ (1989:558). Menurut pengertian ini manusia adalah makhluk
Tuhan yang diberi potensi akal dan budi, nalar dan moral untuk dapat menguasai
makhluk lainnya demi kemakmuran dan kemaslahatannya. Dalam bahasa Arab, kata
‘manusia’ ini bersepadan dengan kata-kata nâs, basyar, insân, mar’u, ins dan
lain-lain. Meskipun bersinonim, namun kata-kata tersebut memiliki perbedaan
dalam hal makna spesifiknya. Kata nâs misalnya lebih merujuk pada makna manusia
sebagai makhluk sosial. Sedangkan kata basyar lebih menunjuk pada makna manusia
sebagai makhluk biologis. Begitu juga dengan kata-kata lainnya.






















BAB II
PEMBAHASAN
PANDANGAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP
MANUSIA

A.    GAMBARAN
TENTANG MANUSIA
Manusia
adalah subyek pendidikan, sekaligus juga obyek pendidikan. Manusia dalam proses
perkembangan kepribadiannya, baik menuju pembudayaan maupun proses kematangan
dan intregitas, adalah obyek pendidikan. Artinya mereka adalah sasaran
atau bahan yang dibina. Meskipun kita sadarai bahwa perkembangan kepribadian
adalah self development melalui self actifities, jadi sebagai subjek yang sadar
mengembangkan diri sendiri. [1]
[1]
Dalam
Al-Qur’an banyak ditemukan gambaran yang membicarakan tentang manusia dan makna
filosofis dari penciptaannya. Manusia merupakan makhluk-Nya paling sempurna dan
sebaik-baik ciptaan yang dilengkapi dengan akal pikiran. Dalam hal ini Ibn ‘Arabi
misalnya menggambarkan hakikat manusia dengan mengatakan bahwa,”tak ada makhluk
Allah yang lebih sempurna kecuali manusia, yang memiliki daya hidup,
mengetahui, berkehendak, berbicara, melihat, mendengar, berfikir, dan
memutuskan. Manusia adalah makhluk kosmis yang sangat penting, karena
dilengkapi dengan semua pembawaan atau fitrahnya dan syarat-syarat yang
diperlukan untuk mengemban tugas dan fungsinya sebagi makhluk Allah di muka
bumi.[2]
[2]
Sedikitnya ada empat konsep yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk pada
makna manusia, namun secara khusus memiliki penekanan pengertian yang berbeda.
Perbedaan tersebut dapat dilihat pada konsep berikut:
1.      Konsep al-Basyar
Kata al-Basyar
dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat. Secara
etimologi al-Basyar juga diartikan mulamasah,yaitu persentuhan
kulit antara laki-laki dan perempuan. Makna ini dapat dipahami bahwa manusia
merupakan makhluk yang memiliki segala sifat kemanusiaan yang terbatas, seperti
makan, minum, seks, keamanan, kebahagiaan, dan lain sebagainya. Penunjukkan
kata al-Basyar ditunjukan Allah kepada seluruh manusia tanpa kecuali. Demikian
pula halnya dengan para rasul-rasul-Nya. Hanya saja kepada mereka diberikan
wahyu, sedangkan kepada manusia umumnya tidak diberikan.[3]
[3]
Berdasarkan
konsep al- Basyar, manusia tak jauh berbeda dengan makhluk biologis
lainnya.  Dengan demikian kehidupan
manusia terikat kepada kaidah-kaidah prinsip kehidupan biologis lain seperti
berkembang biak, mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan dalam mencapai
tingkat kematangan serta kedewasaan.

2.      Konsep al-Insan
Kata al-Insan
yang berasal dari kata al-uns, dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak
73 kali dan tersebar dalam 43 surat. Secara etimologi, al-Insan dapat
diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa.  Dan ada juga dari akar kata Naus yang
mengandung arti “pergerakan atau dinamisme”. Merujuk pada asal kata al- Insan
dapat kita pahami bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi yang positif
untuk tumbuh serta berkembang secara fisik maupun mental spiritual. Di samping
itu, manusia juga dibekali dengan sejumlah potensi lain, yang berpeluang untuk
mendorong ia ke arah tindakan, sikap, serta perilaku negatife dan merugikan[4]
[4].

3.      Konsep an-Nas
Kata an-Nas
dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat. Kosa
kata An- Nas dalam Al- Qur’an umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia
sebagai makhluk social. Manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang
berawal dari pasangan laki-laki dan wanita kemudian berkembang menjadi suku dan
bangsa untuk saling kenal mengenal “berinterksi” .
Hal ini
sejalan dengan teori “strukturalisme” Giddens yang mengatakan bahwa manusia
merupakan individu yang mempunyai karakter serta prinsip berbeda antara yang
lainnya tetapi manusia juga merupakan agen social yang bisa mempengaruhi atau
bahkan di bentuk oleh masyarakat dan kebudayaan di mana ia berada dalam konteks
sosial.[5]
[5]

4.      Konsep Bani Adam
Manusia
sebagai Bani Adam, termaktub di tujuh tempat dalam Al-Qur’an (Muhammad Fuad Abd
al- Baqi:1989). Menurut al-Gharib al-Ishfahany, bani berarti keturunan dari
darah daging yang dilahirkan. Berkaitan dengan penciptaan manusia menurut
Christyono Sunaryo, bahwa bumi dan dunia ini telah diciptakan Allah SWT jutaan
tahun sebelum Nabi Adam as diturunkan dibumi, 7000 tahun yang lalu.
Adapun yang
dikatakan dalam kitab-kitab suci, ilmu pengetahuan ataupun teknologi dapat
membuktikan bahwa ada sisa-sisa “manusia” yang telah berumur jutaan tahun. Bahkan
teori Darwin-pun mengalami kesulitan dalam menghubungkan manusia purba dengan
manusia masa kini (The missing-linktheorema). Dalam konsep ini dapat ditarik
beberapa kesimpulan bahwa: “Jelaslah dengan penjelasan di atas bahwa Adam as
bukanlah merupakan hasil evolusi ataupun “keturunan monyet”, seperti dikatakan
Darwin.

B.     PROSES
PENCIPTAANNYA MANUSIA DALAM AL-QUR’AN
Dilihat dari
proses penciptaannya, Al-Qur’an menyatakan peroses penciptaan manusia dalam dua
tahapan yang berbeda, yaitu: pertama, disebut dengan tahapan primordial.
Kedua, disebut dengan tahapan biologi. Manusia pertama,  Adam as , diciptakan dari at-tin
(tanah), at-turob (tanah debu), min shal (tanah liat), min
hamain masnun
(tanah lumpur hitam yang busuk) yang dibentuk Allah dengan
seindah-indahnya, kemudian Allah meniupkan ruh dari-Nya kedalam diri (manusia)
tersebut.
Penciptaan
manusia selanjutnya adalah proses biologi yang dapat dipahami secara
sains-empirik. Di dalam proses ini, manusia diciptakan dari inti sari tanah
yang dijadikan air mani (nuthfah) yang disimpan di tempat yang kokoh (rahim).
kemudian air mani di jadikan darah beku (‘alaqah) yang menggantung dalam
rahim. Darah beku tersebut kemudian dijadikan-Nya segumapal daging (mudghah)
dan kemudian di balut dengan tulang belulang lalu kepadanya ditiupkan ruh.
(Q.S, Al Mu’minun/23:12-24). Hadist yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim
menyatakan bahwa ruh di hembuskan Allah SWT ke dalam janin setelah ia mengalami
perkembangan 40 hari nuthfah, 40 hari alaqah daan 40 hari mudghah.[6]
[6]
Al-Ghazali
mengungkapkan proses penciptaan manusia dalam teori pembentukan (taswiyah)
sebagai suatu proses yang timbul di dalam materi yang membuatnya cocok untuk
menerima ruh. Materi itu merupakan sari pati tanah liat nabi Adam as yang
merupakan cikal bakal bagi keturunannya. Cikal bakal atau sel benih (nuthfah)
ini yang semula adalah tanah liat setelah melewati berbagai proses akhirnya
menjadi bentuk lain (khalq akhar) yaitu manusia dalam bentuk yang
sempurna.
Tanah liat
menjadi makanan (melalui tanaman dan hewan), makanan menjadi darah, kemudian
menjadi sperma jantan dan indung telur. Kedua unsure ini bersatu dalam satu
wadah yaitu rahim dengan transformasi panjang yang akhirnya menjadi tubuh
harmonis (jibillah) yang cocok untuk menerima ruh. Sampai di sini
prosesnya murni bersifat materi sebagai warisan dari leluhurnya. Kemudian
setiap manusia menerima ruhnya langsung dari Allah disaat embrio sudah siap dan
cocok menerimanya. Maka dari pertemuan ruh dan badan, terbentuklah makhluk baru
manusia.[7]
[7]

C.    KEDUDUKAN
MANUSIA
Kesatuan
wujud manusia antara pisik dan pisikis serta didukung oleh potensi-potensi yang
ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan at-taqwim dan merupakan
manusia pada posisi yang strategis yaitu: Hamba Allah (‘abd Allah) dan
Khalifah Allah (khalifah fi al-ardh).
1.      Manusia Sebagai Hamba Allah (‘abd Allah)
2.      Manusia Sebagai Khalifah Allah fi al-Ardh.

D.    MANUSIA DAN
PROSES PENDIDIKAN
Paulo
freire, tokoh pendidikan Amerika Latin mengatakan bahwa tujuan akhir dari
proses pendidikan adalah memanusiakan manusia (humanisasi), tidak jauh berbeda
dengan pandangan diatas M. Arifin berpendapat, bahwa proses pendidikan pada
akhirnya berlangsung pada titik kemampuan berkembangnya tiga hal yaitu
mencerdaskan otak yang ada dalam kepala (head), kedua mendidik akhlak
atau moralitas yang berkembang dalam hati (heart) dan ketiga adalah
mendidik kecakapan/ketrampilan yang pada prinsipnya terletak pada kemampuan
tangan (hand) selanjutnya populer dengan istilah 3 H’s. Berangkat dari
arti pentingnya pendidikan ini, Karnadi Hasan memandang bahwa pendidikan bagi
masyarakat dipandang sebagai “Human investment” yang berarti secara
historis dan filosofis, pendidikan telah ikut mewarnai dan menjadi landasan
moral dan etik dalam proses humanisasi dan pemberdayaan jati diri bangsa.
Merujuk dari
pemikiran tersebut, Pendidikan adalah drajat hidup bagi setiap manusia. Karena
kita sadari bahwa tidak ada seorangpun yang lahir di dunia ini dalam keadaan
pandai (berilmu). Hal ini membuktikan bahwa segala sesuatu di dunia ini
merupakan proses berkelanjutan yang tidak asal jadi seperti bayangan dan impian
kita. Berkaitan adanya proses tersebut, penciptaan manusia oleh Allah SWT juga
tidaklah sekali jadi.
Ada proses
penciptaan (khalq), proses penyempurnaan (taswiyyah), dengan cara
memberikan ukuran atau hukum tertentu (taqdir), dan juga di berikannya petunjuk
(hidayah).
Dengan
demikian menurut Sunnatullah manusia sangat terbuka kemungkinannya untuk
mengembangkan segala potensi yang dia miliki melalui bimbingan dan tuntunan
yang tearah, teratur serta berkesinambungan yang semuanya merupakan proses
dalam rangka penyempurnaan manusia (insan kamil) yang nantinya dapat
memenuhi tugas dari kejadiannya yaitu sebagai Khalifah Fil Ardl.

E.     MANUSIA
MENURUT FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Pemikiran
filsafat mencakup ruang lingkup yang berskala makro yaitu: kosmologi, ontology,
philosophy of mind, epistimologi, dan aksiologi. Untuk melihat bagaimana
sesungguhnya manusia dalam pandangan filsafat pendidikan, maka setidaknya
karena manusia merupakan bagian dari alam semesta (kosmos). Berangkat dari situ
dapat kita ketahui bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang pada hakekatnya
sebagai abdi penciptanya (ontology). Agar bisa menempatkan dirinya sebagai
pengapdi yang setia, maka manusia diberi anugerah berbagai potensi baik
jasmani, rohani, dan ruh (philosophy of
mind
).
Sedangkan
pertumbuhan serta perkembangan manusia dalam hal memperoleh pengetahuan itu
berjalan secara berjenjang dan bertahap (proses) melalui pengembangan
potensinya, pengalaman dengan lingkungan serta bimbingan, didikan dari Tuhan
(epistimologi), oleh karena itu hubungan antara alam lingkungan, manusia, semua
makhluk ciptaan Allah dan hubungan dengan Allah sebagai pencita seluruh alam
raya itu harus berjalan bersama dan tidak bisa dipisahkan.
Adapun
manusia sebagai makhluk dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya insaninya
itu, manusia diikat oleh nilai-nilai illahi (aksiologi), sehingga dalam
pandangan Filsafat Pendidkan Islam, manusia merupakan makhluk alternatif (dapat
memilih), tetapi ditawarkan padanya pilihan yang terbaik yakni nilai illahiyat.
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa manusia itu makhluk alternatif (bebas)
tetapi sekaligus terikat (tidak bebas nilai).





BAB III
KESIMPULAN



Manusia menurut Islam adalah makhluk
ciptaan Allah (QS. 98: 2) dengan kedudukan yang melebihi makhluk ciptaan Allah
lainnya (QS. 95: 4). Selain itu manusia sudah dilengkapi dengan berbagai
potensi yang dapat dikembangkan antara lain berupa fitrah ketauhidan (QS.15:
29). Dengan fitrah ini diharapkan manusia dapat hidup sesuai dengan hakekat
penciptaannya, yaitu mengabdi kepada Allah swt (QS. 51: 56).
Mengacu pada ketentuan ini, maka
dalam pandangan Islam, menurut Jalaludin, manusia pada hakekatnya merupakan
makhluk ciptaan Allah yang terikat dengan “Blue prient” (cetak biru) dalam
lakon hidupnya, yaitu menyadari akan dirinya sebagai “Abdul Allah” sekaligus
mempunyai tugas sebagai khalifah Allah.
          

















DAFTAR PUSTAKA



Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip
dan Metode pendidikan Islam,
(Bandung:
CV. Diponogoro, 1992).

Ali Isa Othman, Manusia menurut
Al-Ghazali,
(Bandung: Pustaka Bandung, 1985).

Brian Fay, Filsafat Ilmu Sosial
Kontemporer
, Cet. I, (Yogyakarta: Jendela, 2002).

Ismai Raji’ Al-Faruqi, Islam dan
Kebudayaan,
(Bandung: Mizan, 1984).

Jalaludin, Teologi Pendidikan,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001).

Noor Syam, Mohammad, Filsafat
Pendidikan dan Dasar Filasafat Pendidikan Pancasila,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1986).

Ramayulis, Samsul Nizar, Filsafat
pendidikan Islam,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2009).
























[1][1] Noor Syam, Mohammad, Filsafat
Pendidikan dan Dasar Filasafat Pendidikan Pancasila,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1986),
hal. 153.

[2][2] Ismai Raji’ Al-Faruqi, Islam
dan Kebudayaan,
(Bandung: Mizan, 1984), hal. 37.

[3][3] Ramayulis, Samsul Nizar,
Filsafat pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hal. 48.

[4][4] Jalaludin,
Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal 21.

[5][5] Brian Fay, Filsafat
Ilmu Sosial Kontemporer
, Cet. I, (Yogyakarta: Jendela, 2002), hal. 69.

[6][6] Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip
dan Metode pendidikan Islam,
(Bandung:
CV. Diponogoro, 1992), hal. 31.

[7][7] Ali
Isa Othman, Manusia menurut Al-Ghazali, (Bandung: Pustaka Bandung,
1985), hal. 15-16.
Sumber