Selasa, 16 Desember 2014

Panduan Praktis Zakat Barang Perdagangan

PANDUAN PRAKTIS ZAKAT BARANG PERDAGANGAN

Oleh
Ustadz Muhammad Wasitho Abu Fawaz Lc, MA


Zakat Perdagangan atau Perniagaan ialah zakat yang dikeluarkan atas kepemilikan harta apa saja selain emas dan perak berupa barang, properti, berbagai jenis hewan, tanaman, pakaian, perhiasan dan selainnya yang dipersiapkan untuk diperdagangkan, baik secara perorangan maupun perserikatan (seperti CV, PT, Koperasi dan sebagainya).

Sebagian Ulama mendefenisikannya sebagai segala sesuatu yang dipersiapkan untuk diperjualbelikan dengan tujuan memperoleh keuntungan.

HUKUM ZAKAT PERDAGANGAN
Para Ulama berselisih pendapat tentang hukum zakat barang perdagangan dalam dua pendapat:

Pendapat Pertama : Wajib mengeluarkan zakat barang-barang perdagangan. Ini adalah pendapat mayoritas Ulama. Sebagian mereka mengatakan bahwa hal ini adalah ijma’ (konsensus) para sahabat dan tabi’in.

Mereka melandasi pendapatnya dengan dalil-dalil dari al-Qur’ân, as-Sunnah, atsar para sahabat, tabi’in serta qiyâs.

A. Dalil Dari Al-Qur’ân Yaitu Firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ

Hai orang-orang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allâh ) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu.” [al-Baqarah/2:267]

Imam al-Bukhâri telah membuat bab khusus tentang hal ini dalam kitab Zakat dalam Shahih-nya, yaitu: Bab Shadaqatu al-Kasbi wa at-Tijarati (bab zakat usaha dan perdagangan).

Firman Allâh Azza wa Jalla , “Dari hasil usahamu,” maknanya ialah perdagangan.[1]

B. Dalil Dari As-Sunnah yaitu hadits Samurah bin Jundab Radhiyallahu anhu , ia berkata: “Dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari apa yang kami persiapkan untuk diperjual-belikan.”[2]

Dan hadits Abu Dzar Radhiyallahu anhu secara marfu’:

فِى الإِبِلِ صَدَقَتُهَا ، وَفِى الْغَنَمِ صَدَقَتُهَا وَفِى الْبَزِّ صَدَقَتُهُ

Pada onta ada zakatnya, dan pada kambing ada zakatnya, dan pada pakaian ada zakatnya. [3]

Kata al-Bazz (di dalam hadits di atas) artinya pakaian, termasuk didalamnya kain, permadani, bejana dan selainnya. Benda-benda ini jika dipergunakan untuk kepentingan pribadi, maka tidak ada zakatnya tanpa ada perbedaan pendapat diantara para Ulama. Dari sini menjadi jelaslah bagi kita, bahwa yang dimaksud ialah jika benda-benda tersebut dijadikan obyek bisnis.

Hanya saja kedua hadits tersebut dha’if (lemah). Tetapi masih bisa berdalil tentang wajibnya zakat barang perdagangan dengan memasukkannya ke dalam keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu :

فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِى فُقَرَائِهِمْ

Beritahukan kepada mereka, bahwa Allâh mewajibkan atas mereka zakat yang diambil dari (harta-harta) orang-orang kaya diantara mereka…”.[4]

Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu tentang penolakan Khâlid bin Walid Radhiyallahu anhu membayar zakat, dan orang-orang (yakni para sahabat) mengadukannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَأَمَّا خَالِدٌ فَإِنَّكُمْ تَظْلِمُونَ خَالِدًا ، قَدِ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ

Adapun Khâlid, sesungguhnya kalian telah menzhaliminya. Dia menahan pakaian perangnya dan mempersiapkannya untuk perang fi sabilillah…”.[5]

Seolah-olah mereka menyangka bahwa barang-barang itu dipersiapkan untuk perdagangan, sehingga mereka bersikukuh untuk mengambil zakat dari hasil penjualannya. Lalu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kepada mereka bahwa tidak ada zakat pada harta yang ditahannya itu.[6]

C. Dalil Dari Atsar Para Sahabat
Diriwayatkan dari Ibnu Abidin al-Qari rahimahullah , ia berkata, “Dahulu aku bekerja di Baitul Mal pada masa (pemerintahan) Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu . Tatkala dia mengeluarkan pemberiannya, dia mengumpulkan harta-harta para pedagang dan menghitungnya, baik yang hadir maupun yang tidak hadir, kemudian mengambil zakat dari pemilik harta yang hadir dan tidak hadir.”[7]

Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , ia berkata, “Tidak ada zakat pada barang-barang kecuali jika dipersiapkan untuk diperdagangkan.”[8]

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Tidak mengapa menahan barang hingga dijual, dan zakat wajib padanya.”[9]

Tidak ada satu pun dari kalangan sahabat yang menyelisihi perkataan Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu , putranya dan Ibnu Abbas Radhiyallahu anhum. Bahkan hal ini terus diamalkan dan difatwakan pada masa tabi’in dan pada zaman Umar bin Abdul Aziz rahimahullah. Demikian pula para Ulama fiqih di masa tabi’in dan orang-orang yang datang sesudah mereka telah bersepakat tentang wajibnya zakat pada barang-barang perdagangan.

Pendapat Kedua: Tidak Wajib zakat pada barang-barang perdagangan. Ini adalah madzhab Zhâhiriyah dan orang-orang yang mengikuti mereka seperti imam Syaukani, Shiddiq Hasan Khan, dan syaikh al-Albâni. Mereka melandasi pendapatnya ini dengan dalil-dalil syar’i, diantaranya, dalil dari hadits:

1. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِى عَبْدِهِ وَلاَ فَرَسِهِ صَدَقَةٌ

Tidak ada zakat atas seorang Muslim pada budak dan kuda tunggangannya.[10]

Hadits yang dijadikan hujjah bagi pendapat kedua ini telah dijawab oleh mayoritas Ulama (penganut pendapat pertama), bahwa yang ditiadakan dalam hadits di atas yaitu kewajiban zakat dari budak yang biasa membantu dan kuda yang biasa ditungganginya. Keduanya merupakan kebutuhan yang tidak terkena beban zakat, menurut ijma’ para Ulama.

2. Hadits Qais bin Abu Gharzah Radhiyallahu anhu , ia berkata, "Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui kami, ketika kami menjual budak yang kami namakan as-Samasirah, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ إِنَّ ْبَيْعَكم يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلِفُ فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ

Wahai para pedagang, sesungguhnya penjualan kalian ini tercampur oleh perkara sia-sia dan sumpah, maka tutupilah dengan sedekah (zakat) atau dengan sesuatu dari sedekah. [11]

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, "Ini adalah sedekah yang difardhukan tanpa ditentukan, tetapi yang mereka keluarkan dengan kerelaan hati dan menjadi kafarat (penghapus kesalahan) bagi semua yang mengotori jual-beli berupa hal-hal yang tidak sah seperti kata-kata kotor dan sumpah.” Dan berbagai dalil atau argument lainnya yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (V/233 dan sesudahnya).

Itulah dua pendapat tentang hukum zakat perniagaan ini. Setelah kita paparkan kedua pendapat di atas beserta dalilnya masing-masing, maka yang nampak rajih (kuat dan benar) adalah pendapat pertama, yakni pendapat mayoritas Ulama yang menetapkan wajibnya mengeluarkan zakat harta perdagangan.” wallahu a’lam bish-showab.

SYARAT-SYARAT DAN KETENTUAN ZAKAT PADA BARANG-BARANG PERDAGANGAN
1. Barang-barang yang jadi obyek bisnis ini tidak termasuk barang yang asalnya wajib dizakati, seperti binatang ternak, emas, perak, dan sejenisnya. Karena menurut ijma’ para Ulama, dua macam kewajiban zakat tidak bisa berkumpul pada satu barang. Tetapi ia wajib mengeluarkan zakat barang-barang perdagangan itu –berdasarkan pendapat yang rajih-, karena zakat benda lebih kuat dalilnya daripada zakat perdagangan, karena telah terjadi ijma’ (konsensus para ulama) atas hal itu. Barangsiapa memperdagangkan barang-barang di bawah nishob benda-benda tersebut , maka ia harus mengeluarkan zakat perniagaan.[12]

2. Mencapai nishab, yaitu seukuran nishab uang (atau sama dengan nilai 85 gram emas murni).

3. Barang-barang tersebut telah berputar selama satu tahun Hijriyyah.

4. Kewajiban zakat ini dikenakan pada perdagangan maupun perseroan.

5. Pada badan usaha yang berbentuk serikat (kerjasama), maka jika semua anggota serikat tersebut beragama Islam, zakat dikeluarkan lebih dulu sebelum dibagikan kepada pihak-pihak yang berserikat. Tetapi jika anggota serikat terdapat orang yang non muslim, maka zakat hanya dikeluarkan dari anggota serikat Muslim saja (apabila jumlahnya telah mencapai nishab).

KAPAN DIHITUNG NISHAB PADA HARTA PERDAGANGAN
Berkenaan dengan waktu perhitungan nishab harta perdagangan ada tiga pendapat :

Pertama : Nishab dihitung pada akhir haul (ini pendapat imam Mâlik dan imam asy-Syâfi’i).

Kedua : Nishab dihitung sepanjang haul (putaran satu tahun hijriyyah), dengan pertimbangan sekiranya harta berkurang dari nishabnya sesaat saja, maka terputus haul itu (ini madzhab mayoritas ulama).

Ketiga : Nishab dihitung pada awal haul dan di akhirnya, bukan di tengahnya (madzhab Abu Hanîfah).

BAGAIMANA MENGHITUNG DAN MENGELUARKAN ZAKAT HARTA PERDAGANGAN ?
Jika telah tiba waktu mengeluarkan zakat, maka wajib bagi pedagang untuk mengumpulkan dan mengkalkulasi hartanya. Harta yang wajib dikalkulasi ini meliputi :

1. Modal usaha, keuntungan, tabungan (harta dan barang simpanan) dan harga barang-barang dagangannya.

2. Piutang yang masih ada harapan dan masih ada kemungkinan akan dilunasi.
Ia menghitung harga barang-barang dagangannya lalu ditambahkan dengan uang yang ada di tangannya dan piutang yang masih ada harapan dan masih ada kemungkinan akan dilunasi, lalu dikurangi dengan utang-utangnya. Kemudian dari nominal itu, ia mengeluarkan sebanyak dua setengah persen (2,5 %) berdasarkan harga penjualan ketika zakatnya hendak ditunaikan, bukan berdasarkan harga belinya.

Inilah pendapat mayoritas Ulama fiqih dan disepakati oleh imam Mâlik rahimahullah.

Berikut ini kami cantumkan rumus sederhana perhitungan zakat barang-barang perdagangan.

BESAR ZAKAT = [(Modal diputar + Keuntungan + Piutang yang dapat dicairkan) - (Hutang + Kerugian)] x 2.5%

Harta perniagaan, baik yang bergerak di bidang perdagangan, industri, agroindustri, ataupun jasa, dikelola secara individu maupun badan usaha (seperti PT, CV, Yayasan, Koperasi, Dll) nishabnya adalah 20 Dinar (setara dengan 85 gram emas murni). Artinya jika suatu badan usaha pada akhir tahun (tutup buku) memiliki kekayaan (modal kerja dan untung) lebih besar atau setara dengan 85 gram emas murni (asumsi jika per-gram Rp. 550.000,- = Rp Rp.46.750.000,-), maka ia wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5 %.

Contohnya : Sebuah perusahaan meubel pada tutup buku per Januari tahun 2012 dengan keadaan sbb :
• Meubel dan kusen yang belum terjual seharga Rp. 250.000.000 (Dua ratus lima puluh juta rupiah)
• Uang tunai Rp 50.000.000 (Lima puluh juta rupiah)
• Piutang Rp. 27.000.000 (Dua puluh tujuh juta rupiah)
• Jumlah Rp 327.000.000 (Tiga Ratus dua puluh tujuh juta rupiah)
• Utang Rp. 17.000.000 (Tujuh belas juta rupiah)
• Saldo Rp 310.000.000 (Tiga ratus sepuluh juta rupiah)
• Besar zakat = 2,5 % x Rp 310.000.000,- = Rp. 7.750.000,- (Tujuh juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). Inilah jumlah zakat barang dagangan yang harus dikeluarkan.

Catatan: Pada harta perniagaan, modal investasi yang berupa tanah dan bangunan atau lemari, etalase pada toko, dll, tidak termasuk harta yang wajib dizakati sebab termasuk kedalam kategori barang tetap (tidak berkembang).

APAKAH ZAKAT BARANG PERDAGANGAN DIKELUARKAN DALAM BENTUK BARANG DAGANGAN ATAU HARGANYA SAJA ?
Dalam masalah ini ada tiga pendapat Ulama :

Pertama : Wajib mengeluarkannya dalam bentuk harganya (uang), dan tidak boleh mengeluarkan barangnya, karena nishabnya dihitung berdasarkan harga barang. Ini pendapat mayoritas Ulama.

Kedua : Seorang pedagang diberi plihan antara mengeluarkan barang atau harganya (uang). Ini adalah pendapat Abu Hanifah rahimahullah dan asy-Syâfi’i –pada salah satu pendapatnya-.[13]

Ketiga : Memberikan rincian dengan melihat dan mempertimbangkan kemaslahatan orang yang akan menerima zakat. Ini adalah pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.[14]

Demikian penjelasan singkat tentang panduan praktis zakat harta perdagangan serta tata cara menghitung dan mengeluarkannya. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis dan pembacanya, amiin. Wallahu Ta’ala A’lam Bish-Showab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XV/1433H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Tafsir ath-Thabari (V/555), Ahkâmul Qur’an karya Ibnu al-‘Arabi (I/235), dan selain keduanya
[2]. HR. Abu Daud no.1562, al-Baihaqi I/97, dan ad-Daruquthni , dan selainnya dengan sanad dha’if. Lihat Irwâ’ al-Ghalîl karya Syaikh al-Albâni no.827
[3]. HR. Ahmad dalam al-Musnad V/179 no.7848, al-Baihaqi IV/147 no.7389, dan ad-Daruquthni II/101. Lihat Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îfah karya syaikh al-Albâni III/177 no.1178
[4]. HR. al-Bukhâri II/505 no.1331, dan Muslim I/50 no.29.
[5]. HR. al-Bukhâri II/534 no.1399, dan Muslim II/676 no.983.
[6]. Lihat Fathul Bâri III/392. al-Hâfizh Ibnu Hajar t berkata, “Perkara ini membutuhkan penukilan khusus sehingga dapat dijadikan hujjah."
[7]. al-Amwâl, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah dan al-Muhalla. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hazm
[8]. Sanadnya shahih. Diriwayatkan oleh imam asy-Syâfi’i dalam kitab al-Umm II/68, Abdurrazzaq, IV/97, dan al-Baihaqi IV/147, dengan sanad shahih
[9]. al-Amwâl, hlm.426, Ibnu Hazm dalam al-Muhalla V/234
[10]. HR. al-Bukhâri II/532 no.1395, dan Muslim II/675 no. 982.
[11]. HR. Ahmad dalam al-Musnad IV/6 no.16184, an-Nasai VII/247 no.4463, Abu Daud II/262 no.3326, dan Ibnu Mâjah II/726 no.2145, dan selainnya.
[12]. Lihat al-Majmû’ karya imam an-Nawawi VI/50, dan al-Mughni karya Ibnu Qudâmah III/34.
[13]. Lihat al-Badâ'i II/21, dan al-Mughni karya Ibnu Qudâmah III/31.
[14]. Lihat Majmû’ al-Fatâwâ XXV/80.
SUMBER

Zakat Perdagangan/Perniagaan

toko

Muqoddimah.
Harta perniagaan/perdagangan adalah semua yang diperuntukkan untuk diperjual-belikan dalam berbagai jenisnya, baik berupa barang seperti alat-alat, pakaian, makanan, perhiasan, dll. Perniagaan tersebut di usahakan secara perorangan atau perserikatan seperti CV, PT, Koperasi, dan sebagainya.
Hukumnya.
Pada perkara yang disepakati oleh para ulama disebut Ijma’. Dan perkara yang tidak atau belum disepakati oleh para ulama karena ulama masih berbeda dalam menetapkan hukumnya disebut khilafiyah. Ternyata diantara para ulama terjadi perbedaan pendapat tentang ada atau tidaknya zakat perniagaan (tijarah) yang membuat membuat masalah ini menjadi masalah khilafiyah.
Menurut Jumhur ulama sejak zaman shahabat, tabi’in, dan ahli fiqh sesudah mereka, barang dagangan wajib dizakati (Fiqhus Sunnah 1/291). Pendapat ini diriwayatkan dari shahabat Umar dan putranya ra, juga dari Ibnu Abbas ra. Dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Hasan Al-Bashri, Jabir bin Zaid, Maimun bin Mihran, Thawus, Nakha’i, Tsauri, Auza’i, Abu Hanifah, Ahmad, Ishaq dan Abu Ubaid. [Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 25/15].
Dasar mereka yang mewajibkan zakat perniagaan.
-         Firman Allah swt.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآَخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.  (Qs. Al Baqarah 2: 267).
Mujahid mengatakan: “Ayat ini diturunkan mengenai masalah perdagangan/tijarah”. [Subulus Salam 2/277; Kifayatul Akhyar 1/177; Syarhus Sunah 3/349; Sunan Kubra 4/146; Sunan Sughra 1/319; Aunul Ma’bud 4/425]
-         Firman Allah swt.
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[1]dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.  (Qs. At Taubah 9: 103).
Berdasarkan ayat ini maka seluruh harta benda harus dizakati kecuali harta yang telah ditetapkan oleh Sunnah dan Ijma’. [Muwaththo’ Syarhu Zarqani 2/148]
-         Sabda Rasulullah saw.
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنْ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ
Dari Samurah bin Jundab ra: berkata: Amma ba’du: Maka sesungguhnya Rasulullah saw memerintahkan kami untuk mengeluarkan sedekah dari barang yang kami sediakan untuk perniagaan” (HR. Abu Dawud no. 1587, Baihaqi 4/141-147. Lihat Irwa’ no. 827).
-         Sabda Rasulullah saw.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي الْإِبِلِ صَدَقَتُهَا وَفِي الْغَنَمِ صَدَقَتُهَا وَفِي الْبَقَرِ صَدَقَتُهَا وَفِي الْبُرِّ صَدَقَتُهُ
Dari Abu Dzar ra, berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Unta ada zakatnya, kambing ada zakatnya, sapi ada zakatnya, dan pada gandum juga ada zakatnya”. (HR. Ahmad, Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan Ibnu Syaibah di dalam Mushannafnya).
-         Atsar Umar bin Khattab ra.
عَنْ أَبِي عَمْرِو بْنِ حِمَاسٍ عَنْ أَبِيْهِ قال : مَرَّ بِيْ عُمَرُ فَقَالَ يا حِمَاس أدِّ زَكَاةَ مَالِكَ فَقُلْتُ : مَالِيْ مَالٌ إِلاَّ جِعَابٌ وَ أُدُم ! فَقَالَ : قَوِّمْهَا قِيْمَةً ثُمَّ أدِّ زَكَاتَهَا
“Dari Abi ‘Amr bin Himas dari bapaknya: “Pada suatu hari Umar melewatiku, lalu berkata: “Hai Himas tunaikan zakat hartamu!”. Aku menjawab: “Aku tidak punya harta kecuali kulit dan tempat panah”. Umar berkata: “Taksirlah nilainya lalu tunaikanlah zakat!” (HR. Syafi’I, 1/236, Daruqutni no. 213, dan Baihaqi4/147)
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ القَارِي قَالَ : كُنْتُ عَلَى بَيْتِ الْمَالِ زَمَانَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَكَانَ إِذَا خَرَجَ الْعَطَاءُ جَمَعَ أَمْوَالَ التُجَّارِ ثُمَّ حَسَبَهَا غَائِبَهَا وَ شَاهِدَهَا ثُمَّ أَخَذَ الزَّكَاةَ مِنْ شَاهِدِ الْمَالِ عَنْ الْغَائِبِ وَالشَّاهِدِ
“Dari Abdurrahman bin Abdul Qari’: “Aku adalah bendahara baitul maal pada masa Umar bin Khattab, maka jika beliau mengeluarkan pemberian, beliau mengumpulkan harta para pedagang, kemudian menghitung baik yang pedagangnya sedang bepergian, maupun yang muqim lalu mengambil zakat tersebut “. (HR. Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 4/40).
عن أبِي قِلاَبة إنَّ عمَّالَ عُمَرَ قالُوا : يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمنِينَ إِنَّ التُّجَّارَ شَكَوْا شِدَّةَ التَّقْوِيْمِ فَقَالَ عُمَرُ : هاه هاه, هاه ! خفِّفُوا
“Dari Abu Qilabah: “Para juru ambil zakat pada masa Umar berkata: “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya pada pedagang mengeluhkan tingginya penaksiran!” Umar berkata: ”Hah, hah ringankanlah!” (HR. Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 4/40).
Dan inilah dasar yang dipilih oleh Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunah 1/2912-923, Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi dalam Minhajul Muslim hal. 243, Syaikh Shalih bin Fauzan dalam Mulakhosh al-Fiqh 1/241, A. Hasan dalam Tarjamah Bulughul Maram hal. 275, Hasbi Ash-Shiddiqi dalam Pedoman Zakat hal. 97-100, juga Dr. Yusuf Qardhawi dalam Fiqh Zakat, dan Imam Syafi’i dalam salah satu qaul (pendapat) nya.
Yang mereka menganggap tidak ada zakat perdagangan.
Adapun Dawud Azh-Zhahiri dan shahabatnya menyatakan tidak ada zakat terhadap tijarah (Fiqhussunah 1/292) dan juga diriwayatkan pendapat seperti ini dari Malik (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah hal. 15), namun penisbatan ini bertentangan dengan perkataan beliau dalam Al-Muwattha’. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 4/39-47, Shidiq Hasan Khan dalam Ar-Raudah An-Nadiyah 1/192-193, Asy-Syaukani dalam As-Sailul Jarar 2/26-27 dan Ad-Durari al-Mudhiyah 2/182-183 dan Al Muhaddits Al-Albani dalam Tamamul Minnah 363-368. Pendapat ini dipelopori oleh Atho’ bin Rabah dari ulama’ salaf.
Alasan mereka adalah:
1. Sabda Rasulullah saw:
فَإِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا ألاَ هَلْ بَلَّغْتُ
“Sabda Nabi saw pada khutbah haji wada’: “Ingatlah, sesungguhnya Allah telah mengharamkan darah kalian dan harta kalian seperti keharaman hari ini, dinegeri ini, dan dibulan ini. Adakah aku sudah menyampaikannya?” (HR. Bukhari 8/106 (Al-Fath), Muslim no. 65, lihat Bahjatun Nazhirin 1/300 dan Irwa’ no. 1458).
2. Hadits Samurah bin Jundab Dhaif.
(Lemah) karena perawi yang bernama Ja’far bin Said, Khabib bin Sulaiman dan bapaknya seluruhnya majhul (tidak dikenal). Adz-Dzahabi berkata: “Ini adalah sanad yang gelap yang tidak bisa dijadikan sandaran hukum”. Al-Hafizh dalam At-Talkhish 2/217 berkata: “Di dalam sanadnya ada kemajhulan”. (untuk lebih rinci, lihat Al-Irwa’ no. 827). Al-Hafizh dalam Bulughul Maram no. 642 menyatakan: “Isnadnya layyin (tidak kuat)”. Hal ini di setujui oleh Ash-Shan’ani dalam Subulus Salam 2/276. Asy-Syaukani berkata di dalam Sailul jarar: “Di dalam sanadnya ada beberapa rawi yang majhul”. Ibnu Hazm berkata dalam Al-Muhalla 4/40: “Adapun hadits Samurah adalah hadits yang gugur, karena seluruh perawinya kecuali Sulaiman bin Musa dan Samurah adalah majhul.
3. Hadits Abu Dzar juga Dha’if.
Lihat Dhaif Jamius Shaghir no. 3992, Silsilah Adl-Dla’ifah no. 1178, dan juga Faidlul Qadir 4/445 no. 5905. Ibnu Hajar berkata: “Isnadnya tidak shahih, perawi yang dipermasalahkan adalah Musa bin Ubaidah”. [Sailul Jarar 2/26].
4. Adapun atsar dari Umar dari Abi Amr bin Himas juga Dha’if, karena Abi Amr bin Himas majhul (tidak dikenal). Lihat Irwa’ no. 828 dan Al-Muhalla 4/41.
5. Adapun hadits Abu Qilabah maka ia adalah mursal atau dhaif, karena Abu Qilabah tidak semasa dengan Umar. Lihat Al-Muhalla 4/41.
6. Adapun hadits Abdurrahman bin Abdul Qari, maka dalam Al-Muhalla 4/41 Ibnu Hazm berkata: “Tidak ada hujjah bagi mereka untuk berdalil dengan atsar ini, karena disana tidak ada keterangan bahwa harta itu berupa barang dagangan. Jika barang itu barang dagangan, maka terkadang pedagang memiliki barang dagangan yang wajib dizakati, seperti emas, perak dll. Tidak boleh menambahkan penjelasan yang tidak terdapat dalam hadits. Barangsiapa yang melakukannya maka ia telah berbohong”.
Kesimpulan:
Karena terjadi khilafiyah dalam masalah ada zakat pada barang perdagangan atau tidak, untuk kehati-hatian dan menurut jumhur (mayoritas) ulama sejak zaman shahabat, tabi’in, dan ahli fiqh sesudah mereka, barang dagangan wajib dizakati (Fiqhus Sunnah 1/291), maka hendaklah mengeluarkan zakatnya karena Allah swt juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآَخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.  (Qs. Al Baqarah 2: 267).
Ibnu Taimiyah Rahimahullah juga berkata, “Para ulama empat madzhab dan ulama lainnya –kecuali yang keliru dalam hal ini- berpendapat wajibnya zakat barang dagangan, baik pedagang adalah seorang yang bermukim atau musafir. Begitu pula tetap terkena kewajiban zakat walau si pedagang bertujuan dengan membeli barang ketika harga murah dan menjualnya kembali ketika harganya melonjak. … ” (Majmu’ Al Fatawa, 25: 45).
Barang Perniagaan Yang Wajib Zakat.
Sabda Rasulullah saw.
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنْ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ
Dari Samurah bin Jundab ra: berkata: Amma ba’du: Maka sesungguhnya Rasulullah saw memerintahkan kami untuk mengeluarkan sedekah dari barang yang kami sediakan untuk perniagaan” (HR. Abu Dawud no. 1587, Baihaqi 4/141-147. Lihat Irwa’ no. 827). Hasan. Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram hadits no.513 Jilid III hal. 394. Ibnu Abdil Barr menyatakan hasan dan Abdul Ghani Al Maqdisi menyatakan hasan gharib. Wallahu A’lam.
Berdasarkan hadits diatas, maka semua barang yang dihalalkan diperdagangkan dalam Islam wajib dikeluarkan zakatnya. Barang dagangan (‘urudhudh tijarah) yang dimaksud di sini adalah yang diperjual-belikan untuk mencari untung.
Syarat Zakat Barang Dagangan.
  • Barang tersebut dimiliki atas pilihan sendiri dengan cara yang mubah baik lewat jalan cari untung (mu’awadhat) seperti jual-beli dan sewa atau  secara cuma-cuma (tabaru’at) seperti hadiah dan wasiat.
  • Barang tersebut bukan termasuk harta yang asalnya wajib dizakati seperti hewan ternak, emas, dan perak. Karena tidak boleh ada dua wajib zakat dalam satu harta berdasarkan kesepakatan para ulama. Dan zakat pada emas dan perak –misalnya- itu lebih kuat dari zakat perdagangan, karena zakat tersebut disepakati oleh para ulama. Kecuali jika zakat tersebut di bawah nisab, maka bisa saja terkena zakat tijarah.
  • Barang tersebut sejak awal dibeli diniatkan untuk diperdagangkan karena setiap amalan tergantung niatnya.  Dan tijarah (perdagangan) termasuk amalan, maka harus ada niat untuk didagangkan sebagaimana niatan dalam amalan lainnya.
  • Nilai barang tersebut telah mencapai salah satu nisab dari emas atau perak, mana yang paling hati-hati dan lebih membahagiakan miskin. Sebagaimana dijelaskan bahwa nisab perak itulah yang lebih rendah dan nantinya yang jadi patokan dalam nisab.
  • Telah mencapai haul (melalui masa satu tahun hijriyah). Jika barang dagangan saat pembelian menggunakan mata uang yang telah mencapai nisab, atau harganya telah melampaui nisab emas atau perak, maka haul dihitung dari waktu pembelian tersebut.
Nisab Barang Perdagangan dan Besar Zakatnya.
Nisab barang yang diperdagangkan disamakan dengan zakat emas dan perak. Emas wajib dizakati bila telah mencapai 20 Dinar[2] dan zakatnya 1/40 atau ½ Dinar[3](2,5%). Sabda Rasulullah saw.
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ … وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ يَعْنِي فِي الذَّهَبِ حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا فَإِذَا كَانَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ… وَلَيْسَ فِي مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ … =رواه ابو داود واحمد والبيهقي=
Dari Ali bin Abi Thalib ra, dari Nabi saw: … Tidak ada kewajiban bagimu yakni mengenai emas hingga engkau memiliki 20 Dinar. Maka apabila engkau telah memiliki 20 Dinar dan sudah memncapai satu tahun, maka zakatnya adalah ½ Dinar. Dan kelebihannya maka perhitungannya seperti itu. … Tidak wajib zakat pada suatu harta hingga menjalani masa satu tahun.  (HR. Abu Daud, Ahmad dan Baihaqi)
Perak nisabnya 200 dirham = 624 gram, zakatnya 1/40 = 5 dirham = 2,5 % = 15,6 gram. Sabda Rasulullah saw:
عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَام قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ عَفَوْتُ عَنْ الْخَيْلِ وَالرَّقِيقِ فَهَاتُوا صَدَقَةَ الرِّقَةِ مِنْ كُلِّ أَرْبَعِينَ دِرْهَمًا دِرْهَمًا وَلَيْسَ فِي تِسْعِينَ وَمِائَةٍ شَيْءٌ فَإِذَا بَلَغَتْ مِائَتَيْنِ فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ  =رواه اصحاب السنن=
Dari Ali ra, berkata: Bersabda Rasulullah saw: Aku telah membebaskan dari zakat kuda dan hamba sahaya, maka keluarkanlah zakat perak yakni dari setiap 40 Dirham 1 dirham. Tapi tidak wajib kalau banyaknya bari 190 Dirham. Jika telah cukup 200 (Dirham), barulah kamu keluarkan 5 Dirham. (HR. Abu Dawud, An Nasa’i, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Catatan: 1 dirham = 3,12 gram. 200 dirham x 3,12 gram = 624 gram.
Modal Terkena Zakat atau Tidak.
Jika nilai modal itu masih tetap menjadi harta kekayaan misal sudah menjadi barang dagangan, maka modalnya terkena zakat. Namun bila modalnya adalah nilai yang hilang seperti membayar kontrak tempat usaha atau membangun ruko, maka modal tidak terkena zakat. Wallahu A’alm.
Cara Menghitung Zakatnya.
Perhitungan zakat barang dagangan = nilai barang dagangan[4] + uang yang ada + piutang yang diharapkan – hutang yang jatuh tempo[5].
Misalnya:
Nilai barang dagangan                   : Rp. 40.000.000,-
Uang tunai yang ada                     : Rp. 10.000.000,-
Piutang yang diharapkan               : Rp. 10.000.000,-
Hutang yang akan jatuh tempo       : Rp. 20.000.000,-
(40.000.000 + 10.000.000 + 10.000.000) – 20.000.000) x 2,5% = Rp. 1.000.000,-
Maka zakatnya pada tahun itu adalah Rp. 1.000.000,-
Dengan Barang Atau Nilainya?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa wajib mengeluarkan zakat barang dagangan dengan nilainya karena nisab barang dagangan adalah dengan nilainya. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i dalam salah satu pendapatnya berpandangan bahwa pedagang boleh memilih dikeluarkan dari barang dagangan ataukah dari nilainya. Adapun Ibnu Taimiyah memilih manakah yang lebih maslahat (baik) bagi golongan penerima zakat.
Ancaman Bagi Yang Enggan Membayar Zakatnya
Firman Allah swt.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (34) يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ (35)
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”  (Qs. At Taubah 9: 34-35).

[1] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda.
[2] Dinar Islam adalah uang emas 22 karat. 1 Dinar = 4.25 gram.
[3] Bila mengukur dengan gram, maka 20 Dinar = 85 gram dikeluarkan 1/40 = 2,125 gram.
[4] Dengan harga saat jatuh haul, bukan harga saat beli.
[5] Hutang yang dimaksud adalah hutang yang jatuh tempo pada tahun tersebut (tahun pengeluaran zakat). Jadi bukan dimaksud seluruh hutang pedagang yang ada. Karena jika seluruhnya, bisa jadi ia tidak ada zakat bagi dirinya.

PENGERTIAN NIKAH SIRI DAN NIKAH MUT’AH

Makalah Materi Fiqh
“NIKAH SIRI DAN NIKAH MUT’AH”
Oleh Team www.seowaps.com
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang Masalah
Pernikahan adalah ibadah, sesuatu yang telah diteladani oleh Rasulullah SAW. Namun meski pun demikian, tidak semua pernikahan itu bernilai ibadah, ada juga pernikahan yang tergolong makruh, bahkan haram (bathil).
Untuk itu, dalam makalah ini kami mencoba sedikit mengulas tentang pernikahan, khususnya tentang “nikah Siridan Nikah Mut’ah”.
1.2.       Rumusan Masalah
Terkait dengan uraian di atas, kami merumuskan beberapa masalah, yakni:
a.         Apa yang dimaksud dengan nikah siri dan bagaimana menurut hukum (Hukum Negara dan  Syari’at Islam) ?
b.        Apa pula yang dimaksud dengan nikah mut’ah serta bagaimana menurut pandangan Islam ?
1.3.       Tujuan Penulisan
Adapun tujuan kami menulis makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan dan wawasan keberagamaan kita, khususnya dalam masalah pernikahan (siri dan mut’ah).


BAB II
PEMBAHASAN
2.1.    Nikah Siri
a.        Pengertian Nikah Siri
Nikah secara bahasa adalah berkumpul atau bercampur, sedangkan menurut syariat secara hakekat adalah akad (nikah) dan secara majaz adalah al-wath’u (hubungan seksual) menurut pendapat yang shahih, karena tidak diketahui sesuatupun tentang penyebutan kata nikah dalam kitab Allah -Subhanahu wa ta’ala- kecuali untuk maknaat-tazwiij (perkawinan). Kata “siri” berasal dari bahasa Arab sirrun” yang berarti rahasia, atau sesuatu yang disembunyikan. Melalui akar kata ini Nikah siri diartikan sebagai Nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan Nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan.
Nikah siri sah secara agama dan atau adat istiadat, namun tidak diumumkan pada masyarakat umum, dan juga tidak dicatatkan secara resmi dalam lembaga pencatatan negara, yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi yang beragama non Islam. Ada kerena faktor biaya, tidak mampu membiayai administrasi pencatatan; ada juga disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri menikah lebih dari satu (poligami) tanpa seizin pengadilan, dan sebagainya. Ketiga; Nikah yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya karena takut menerima stigmanegatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu Nikah siri atau karena pertimbangan-pertimbangan lain yang akhirnya memaksa seseorang merahasiakannya.
Nikah siri kadang-kadang diistilahkan dengan nikah “misyar”Ada ulama yang menyamakan pengertian kedua istilah ini, tetapi tidak sedikit pula yang membedakannya. Nikah siri kadang-kadang diartikan dengan nikah “urfi”, yaitu Nikah yang didasarkan pada adat istiadat, seperti yang terjadi di Mesir. Namun nikah misyar dan nikah urfi jarang dipakai dalam konteks masyarakat Indonesia. Persamaan istilah-istilah itu terletak pada kenyataan bahwa semuanya mengandung pengertian sebagai bentuk Nikah yang tidak diumumkan (dirahasiakan) dan juga tidak dicatatkan secara resmi melalui pejabat yang berwenang.
Nikah siri yang tidak dicatatkan secara resmi dalam lembaga pencatatan negara sering pula diistilahkan dengan Nikah di bawah tangan. Nikah di bawah tangan adalah Nikah yang dilakukan tidak menurut hokum negara. Nikah yang dilakukan tidak menurut hukum dianggap Nikah liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum, berupa pengakuan dan perlindungan hukum.
b.        Nikah Siri Menurut Hukum Negara
Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 2 [2] disebutkan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sedang dalam PP No 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan, pasal 3 disebutkan:
1.         Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinannya dilangsungkan.
2.         Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
3.         Pengecualian dalam jangka tersebut dalam ayat 2 disebabkan sesuatu alasan yang penting diberikan oleh Camat (atas nama) Bupati Kepala Daerah.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa negara dengan tegas melarang adanya nikah siri dan setiap upacara pernikahan harus memberitahukan kepada pegawai negara yang berwenang. Bahkan negara akan memberikan sanksi pidana kepada para pelaku nikah siri dengan alasan pernikahan siri telah menimbulkan banyak korban, yang mana anak yang lahir dari pernikahan siri akan sulit mendapatkan surat lahir, kartu tanda penduduk, hak-hak hukum seperti hak waris, dan sebagainya.
Hanya dengan alasan itu pemerintah melarang sesuatu yang sah menurut syariat Islam, sementara disisi lain pemerintah seakan lupa berapa persen dari anak Indonesia yang lahir dari hubungan zina dalam setiap tahunnya. Dengan kata lain, perutaran pemerintah yang melarang nikah siri ini secara tidak langsung ikut berperan menyuburkan praktek zina di Indonesia.
c.         Nikah Siri Menurut Islam
Hukum nikah siri dalam Islam adalah sah sepanjang hal-hal yang menjadi dan rukun nikah terpenuhi, dimana rukun nikah dalam agama Islam adalah sebagai berikut :
1.          Adanya calon mempelai pria dan wanita
2.          Adanya wali dari calon mempelai wanita
3.          Adanya dua orang saksi dari kedua belah pihak
4.          Adanya ijab ; yaitu ucapan penyerahan mempelai wanita oleh wali kepada mempelai pria untuk dinikahi
5.          Qabul; yaitu ucapan penerimaan pernikahan oleh mempelai pria (jawaban dari ijab)
Jika dalam pelaksanaan nikah siri rukun nikah yang tertera di atas terpenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat agama Islam, hanya saja tidak tercatat dalam buku catatan sipil. Dan proses nikah siri lainnya yang tidak memenuhi rukun-rukun diatas maka pernikahan tersebut tidak dianggap sah menurut syariat Islam, dalam hadits disebutkan :
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil”
(HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa’ no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami’ no. 7556, 7557)
2.2.    Nikah Mut’ah
a.        Pengertian
Mut’ah secara bahasa diambil dari bahasa arab Al-Tamattu’ artinya bersenang-senang. Sedangkan Nikah Mut’ah menurut istilah adalah perkawinan yang dilakukan untuk waktu tertentu dengan memberikan sesuatu sesuai dengan kesepakatan dan berakhir sesuai waktu yang telah ditentukan tanpa adanya talak. Dinamakan Nikah Mut’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja.
Ada beberapa pendapat ulama mengenai defenisi nikah mut’ah ini, di antaranya yakni:
1.        Ibnu Qudamah:
نِكَاحُ اْمُتْعَةِ اَنْ يَتَزَوَّجَ اْلمَرْأَةَمُدَّةً, مِثْلُ اَنْ يَقُوْلَ زَوَّجْتُكَ ابْنَتِى شَهْرًا اَوْسَنَةً اَوْاِلى انْقِضَاءِ اْمُوْسِمِ اَوْقُدُوْمِ اْلحَاجِّ وَشِبْهِهِ سَوَاءٌ كَانَتِ اْلمُدَّةُ مَعْلُوْمَةً اَوْ مَجْهُوْلَةً.
Artinya: “nikah mut’ah adalah adanya seseorang mengawini wanita (dengan terikat) hanya waktu yang tertentu saja; misalnya (seorang wali) mengatakan: saya mengawinkan putriku dengan engkau selama sebulan, atau setahun, atau sampai habis musim ini, atau sampai berakhir perjalan haji ini dan sebagainya. Sama halnya dengan waktu yang telah ditentukan atau yang belum.
2.         Sayyid Saabiq mengatakan:
نِكَاحُ اْلمُتْعَةِ: اَنْ يَعْقِدَ الرَّجُلُ عَلَى اْلمَرْأَةِ يَوْمً اَوْ اُسْبُوْعًااَوْشَهْرًا. وَيُسَمّى  بِالْمُتْعَةِ: لِاَنَّ الرَّجُلَ يَنْتْفِعُ وَيَتَبَلَّغُ بِالزَّوَاجِ وَيَتَمَتَّعُ اِلَى اْلاَجْلِ الَّذِىْ وَقَّتَهُ.
Artinya: “perkawinan mut’ah adalah adanya seseorang pria mengawini wanita selama sehari, atau seminggu, atau sebulan. Dan dinamakan mut’ah karena laki-laki mengambil manfaat serta merasa cukup dengan melangsungkan perkawinan dan bersenang-senang sampai kepada waktu yang telah ditentukannya.
Bertolak dari definisi di atas, maka pengertian nikah mutah adalah suatu ikatan perkawinan yang terikat dengan waktu tertentu, sehingga bila waktu tersebut sudah habis, maka
b.        Nikah Mut’ah Menurut Hukum Islam
Untuk menentukan status hukum tentang nikah mut’ah maka dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam pendapat; yaitu:
1.         Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Al-Laits dan Imam al-Auzaa’iy mengatakan; “Perkawinan mut’ah itu hukumnya haram”.
Pendapat ini didasarkan pada beberapa Hadits yang antara lain berbunyi:
اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَليْهِ وَسَلَّمَ حَرَّمَ اْلمُتْعَلةَ فَقَالَ: يَااَيُّهَ النَّاسُ اِنِّى كُنْتُ اَذَّنْتُ لَكُمْ فِى الْاِسْتِمْتَاعِ, اَلاَوَاِنَّ اللهَ قَدْحَرَّمَهَا اِلَل ىَوْمِ الْقِيَامِةِ. رواه ابن ماجه.
Artinya: “bahwasanya Rasulullah SAW mengharamkan kawin mut’ah, maka ia berkata: hai manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kamu sekalian kawin mut’ah. Maka sekarang ketahuilah, bahwa Allah mengharamkannya sampai hari kiamat”. (H.R. Ibnu Majjah).
اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لحُوُمِ اْلحُرُوْمِ اْلاَهْلِيَّةِ. رواه النسائى.
Artinya: “bahwasanya Rasulullah SAW telah melarang perkawinan mut’ah terhadap wanita pada peperangan Khaibar dan (melarang pula) makan daging keledai peliharaan”. (H.R. An-Nasaa’i)
2.         Imam Zufar berkata: perkawinan mutah hukumnya sah, meskipun syaratnya batal. Oleh karena itu, dibolehkan dalam ajaran Islam. Dikatakan sah karena keterangan hadits yang dikemukakan oleh pengikut kaum Syi’ah (“bahwasanya ‘Umar berkata: dua macam perkawinan mut’ah (yang pernah terjadi) di masa Rasulullah SAW. Maka dapatkah aku melarangnya dan memberikan sangsi hukum terhadap pelakunya? (keduanya itu) adalah perkawinan mut’ah terhadap wanita (diwaktu tidak bepergian) dan kawin mut’ah (pada waktu bepergian) menunaikan ibadah hajji. Karena hal itu, merupakan perkawinan yang berguna (pada saat tertentu), maka perlu menentukan waktu berlakunya seperti halnya sewa-menyewa.) tetapi syaratnya batal karena tidak disertai dengan niat kawin untuk selama-lamanya, kecuali hanya waktu sementara saja. Bertolak dari beberapa pendapat di atas, maka penulis mengikuti pendapat Imam Abu hanifah beserta Imam Madzhab yang sependapat dengannya, karena memandang bahwa kebolehan kawin mut’ah telah dihapus oleh larangan melakukannya, sebagaimana keterangan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah dan An-Nasaa’i di atas.


BAB III
PENUTUP
3.1.       Kesimpulan
Nikah secara bahasa adalah berkumpul atau bercampur, sedangkan menurut syariat secara hakekat adalah akad (nikah) dan secara majaz adalah al-wath’u (hubungan seksual) menurut pendapat yang shahih, karena tidak diketahui sesuatupun tentang penyebutan kata nikah dalam kitab Allah -Subhanahu wa ta’ala- kecuali untuk makna at-tazwiij(perkawinan). Kata “siri” berasal dari bahasa Arab sirrun” yang berarti rahasia, atau sesuatu yang disembunyikan. Melalui akar kata ini Nikah siri diartikan sebagai Nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan Nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan.
Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 2 [2] dan pasal 3 PP No 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan, pemerintah melarang pernikahan siri. Namun, Islam sebagai agama yang di anut mayoritas rakyat Indonesia membolehkannya sepanjang memenuhi persyaratan menurut syari’at Islam.
Mut’ah secara bahasa diambil dari bahasa arab Al-Tamattu’ artinya bersenang-senang. Sedangkan Nikah Mut’ah menurut istilah adalah perkawinan yang dilakukan untuk waktu tertentu dengan memberikan sesuatu sesuai dengan kesepakatan dan berakhir sesuai waktu yang telah ditentukan tanpa adanya talak. Dinamakan Nikah Mut’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja.
Menurut pendapat jumhur ulama, nikah mut’ah itu pada mulanya hukumnya sah (halal), tetapi kemudian diharamkan, hal itu berdasarkan dari beberapa hadits yang dengan tegas mengharamkan nikah mut’ah. Namun demikian, nikah mut’ah masih tetap dilestarikan khususnya oleh kalangan pengikut Syi’ah.
3.2.       Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami menyarankan kepada teman-teman yang ingin lebih memahami tentang nikah siri dan nikah mut’ah untuk mencari referensi tambahan melalui buku-buku yang sekarang mudah didapat.


DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Warson Munawwir.1997. Al Munawir: Kamus arab Indonesia (Cet. XIV).Surabaya: Pustaka Progressif
Happy Susanto. 2007. Nikah Siri Apa Untungnya? (Cet I). Jakarta: Visimedia
Zuhaili, Wahbah. 2008. Fiqih Imam Syafi’I (terjemahan). Jakarta: Almahira